[Download PDF KONTAN DAILY Mengubah Hasil dengan Mengubah Kultur]
oleh Jennie M. Xue
The Great Recesssion AS di tahun 2008 telah mengubah kultur General Motors. GM menggunakan strategi baru “Make decisions. Take risks. Move fast. Be accountable.”
Filosofi ini berbeda jauh dengan kultur lama yang telah kadaluwarsa. Ternyata, perubahan kultur ini sangat menentukan kesuksesan GM pasca resesi AS.
Ini sejalan dengan pemikiran Roger Connors dan Tom Smith, para pakar kepemimpinan Partners in Leadership consulting firm. Mereka memperkenalkan konsep adanya “tiga kaki kultur” yang menentukan hasil, yaitu pengalaman, keyakinan, dan aksi.
Intinya, dengan mengubah kultur korporasi atau organisasi, hasil akan ikut berubah. Dan prakteknya mengandalkan pergeseran dari tiga kaki ini.
Pertama, pengalaman membentuk kebiasaan dan nilai (keyakinan). Kedua, keyakinan selanjutnya mencetus aksi. Dan ketiga, aksi yang terakumulasi memberi hasil dengan kualitas baru.
Perubahan kultur merupakan salah satu jalan dalam Change Management alias Manajemen Perubahan yang dapat diandalkan. Bayangkan saja, seseorang di suatu negara dengan kultur tertentu bertindak berbeda ketika berada di kultur lainnya.
Misalnya, ketika di Singapura, biasanya teman-teman kita asal Indonesia akan sangat tertib, bahkan menyeberangi jalan pun dengan menggunakan zebra cross dan tidak membuang sampah sembarangan karena denda yang selangit. Ketika kembali di Jakarta, orang yang sama akan berjalan dengan seenaknya tidak di atas trotoar dan membuang sampah sembarangan di jalan.
Mengapa? Pertama, karena di Jakarta, banyak trotoar yang tidak dapat digunakan oleh pejalan kaki karena penuh dengan pedagang asongan dan sering kali penuh lubang. Kedua, tempat sampah jarang ditemui di jalan-jalan Jakarta. Kalaupun ada, cukup jauh lokasinya dari satu tempat sampah ke tempat sampah yang lain.
Jika ditelusuri, mengapa Jakarta punya masalah dengan trotoar dan tempat sampah? Kultur yang kurang menghargai pejalan kaki dan kurang menghargai kebersihan. Dan kultur ini merupakan kerangka penerapan keputusan dari atas hingga ke bawah.
Peran “atas” di sini adalah pemda yang semestinya menertibkan trotoar-trotoar dan menyediakan lebih banyak tempat sampai. Peran “bawah” di sini adalah para pengguna trotoar dan jalan, yaitu kita semua.
Kesimpulannya, seseorang dapat berperilaku berbeda di dalam situasi dan organisasi berbeda. Sebagaimana kita sangat mematuhi hukum di Singapura namun “santai saja” ketika di Jakarta.
Diterapkan dalam suatu bisnis, dapat dibayangkan efek positif (atau negatif) dari kultur organisasi terhadap hasil (results). Belajar dari GM, mulailah dari atas (top-bottom) dengan proses pengambilan keputusan beresiko dengan cepat dan akuntabilitas merupakan kerangka kultur positif yang produktif.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam proses mengubah kultur organisasi.
Pertama, kenali kultur yang ada saat ini. Hindari “denial” alias “tidak mengakui adanya problem.”
Untuk mengenali kultur yang ada, diperlukan kejujuran dan keterbukaan.
Kedua, putuskan dan catat kultur seperti apa yang dituju.
Misalnya, ketika kultur yang ada sangat memungkinkan ketidakjujuran untuk berkembang, putuskan bahwa kejujuran semua pihak merupakan segi kultur terpenting.
Ketiga, desain pendekatan yang akan digunakan.
Kejujuran memerlukan transparansi. Desainlah sistem yang sangat mengandalkan transparansi agar dapat bekerja dengan baik.
Keempat, sosialisasikan perubahan yang diharapkan.
Sosialisasikan perubahan yang diharapkan ini, namun tidak hanya dengan menempelkan slogan-slogan belaka. Gunakan mentoring dan coaching dalam lingkungan aman tanpa praduga, sehingga masalah apapun dapat diselesaikan dengan perasaan lega tanpa dihakimi.
Kelima, lakukan pelatihan dan komunikasikan apa yang perlu diubah.
Komunikasikan apa yang perlu diubah dan bagaimana penerapannya dengan jelas dalam pelatihan-pelatihan dan sesi-sesi mentoring dan coaching. Gunakan skenario dan simulasi, sehingga peserta dapat memahami secara jernih seperti apa yang diharapkan.
Keenam, aplikasikan perubahan serentak dalam setiap divisi customer facing dan back office.
Ketika “transparansi” merupakan perubahan yang dituju, terapkan dan laksanakan serentak di setiap divisi yang langsung berhadapan dengan customer maupun di back office. Tujuannya agar kultur ini dapat menjangkau setiap segi.
Namun perlu diingat bahwa mengubah apapun perlu waktu dan kesepakatan semua pihak. Perubahan perlu dilakukan dalam diri setiap individu, tanpa kecuali. Dan ini memerlukan bantuan para mentor dan coach dalam aplikasinya. Silakan mencoba. Ketika kultur berubah, hasil (output) juga pasti berubah.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 23 Maret 2018