Select Page

Kontan

Download KONTAN artikel Mengkritisi Program CSR

oleh Jennie S. Bev

(Versi yang belum diedit.)

CSR (Corporate Social Responsibility) sudah sangat sering kita dengar. Berbagai bentuk aksi sosial diselenggarakan oleh korporasi sebagai bentuk solidaritas kepada publik. Bentuk-bentuk karitas sebenarnya hanyalah salah satu dari serangkaian ekspektasi publik terhadap korporasi. Tidak kalah pentingnya proses internalisasi kesadaran tinggi akan akuntabilitas sosial dalam proses manufacturing dan pendistribusian produk. 

Di Indonesia, sudah menjadi “kebiasaan” pemerintah yang meminta korporasi untuk ikut serta memajukan kesejahteraan publik dengan kegiatan-kegiatan karitas. Ini sebenarnya suatu kerancuan. Dalam sistem yang kurang berjalan dengan semestinya, pengalihan kewajiban-kewajiban pemerintah kepada korporasi memberikan kesempatan bagi para oknum untuk menggunakan “celah” CSR ini.

Di kawasan Tebet Barat Jakarta, misalnya, taman publik yang nyaman dibangun bukan oleh pemerintah daerah namun oleh korporasi sebagai bentuk CSR. Taman ini kalau tidak salah dibangun dengan dana oleh salah satu perusahaan otomobil Jepang.

Dalam aktivitas-aktivitas bisnis dalam kerangka kapitalisme, eliminasi social debt (hutang sosial) semestinya dijadikan acuan dalam setiap tahapnya. Ini merupakan nafas bisnis yang semestinya disadari setiap korporasi. Salah satu pilar dari CSR adalah HAM (Hak Azasi Manusia), yang termasuk hak-hak para stakeholders, termasuk hak akan kesehatan jangka panjang. Sebagai contoh, sepotong hamburger di AS dijual seharga $3-$5, namun dampak jangka panjang terhadap kesehatan konsumen dan perusakan lingkungan mencapai $1,000 atau bahkan lebih.

Coba Anda perkirakan berapa social debt yang ditimbulkan oleh pembuangan limbah kimiawi secara sembarangan? Berapa besar kerugian kesehatan dan opportunity loss yang Anda akan rasakan di kemudian hari hanya karena suatu korporasi semena-mena dalam menjalankan bisnis mereka? Jelas di negara yang perlindungan konsumennya masih lemah, social debt yang ditanggung publik bisa jadi menjulang setinggi Gunung Himalaya. 

SA8000 merupakan sertifikasi CSR yang dikeluarkan oleh Social Accountability International mengevaluasi dan menginvestigasi HAM di setiap titik kegiatan bisnis dari pengambilan dan pengolahan bahan mentah, proses manufacturing, hingga segala macam penyediaan infrastruktur dan saluran distribusi. Ini berobyektif meminimalkan hutang sosial dengan awareness pelanggaran HAM pada setiap titik kegiatan. 

George Brenkert dalam Corporate Integrity and Accountability mempertanyakan apakah CSR merupakan kewajiban maupun sebaiknya berdasarkan sukarela atas dasar kepantasan belaka. Juga bahwa korporasi-korporasi yang menjalankan program-program CSR akan bertahan dengan baik sebenarnya merupakan mitos belaka. Enron, misalnya, sangat aktif menjalankan program-program CSR, namun kelemahan sistem internal mereka jelas tidak bisa diselamatkan dengan kesadaran akan pentingnya CSR bagi kepentingan publik. Dalam kasus-kasus serupa denan Enron, CSR hanya merupakan saluran altruisme dan tanggung jawab strategis.

Dalam SA8000, CSR merupakan nafas dari korporasi, di mana setiap titik kegiatan tidak pernah terlepas dari kesadaran akan tanggung jawab sosial HAM demi eliminasi hutang sosial. Sembilan elemen yang diukur adalah: tenaga kerja di bawah umur (child labor), tenaga kerja yang dipaksa (forced and compulsory labor), kesehatan dan keselamatan (health and safety), kebebasan berorganisasi dan berserikat, diskriminasi, praktek pendisiplinan (disciplinary practices), jam kerja, remunerasi, dan sistem manajemen.

Jadi, CSR bukanlah kegiatan-kegiatan altruistik eksternal yang terpisah. Menjalankan bisnis dengan integritas tinggi dan akuntabel sendiri merupakan urat nadi CSR utama.

Dalam hubungan antara HAM dengan korporasi, bisa dijumpai paling tidak empat jenis hubungan: korporasi sebagai pelanggar HAM, korporasi sebagai pelaku tambahan dari pelanggaran HAM oleh negara, korporasi sebagai penjaga kesadaran dan perlakuan HAM yang baik, dan korporasi sebagai pendukung HAM. Kasus lumpur Lapindo, misalnya merupakan kasus kolosal pelanggaran HAM berat oleh korporasi yang semestinya dihukum oleh negara.

Proses pereduksian CSR sebagai kegiatan-kegiatan karitas semata sudah waktunya untuk direvisi. Bisa dimulai dengan meningkatkan integritas korporat internal dan eksternal. Brenkert menyarankan integritas akan nilai, integritas akan moralitas, integritas akan mempertahankan posisi tertentu yang cukup meningkatkan resiko penurunan popularitas korporasi.

Pelaksanaan konsep CSR, akuntabilitas korporat dan hutang sosial di Indonesia masih semrawut yang seyogyanya sudah diperbaiki, direvisi dan proses pereduksian dihentikan. Bisa dimulai dengan shift of consciousness paradigma yang digunakan internal korporat. Bisnis bukanlah sekedar mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan kapital seminimal mungkin. Berbisnis sebenarnya memberikan nilai lebih bagi konsumen dan memberikan kesejahteraan jangka panjang bagi para stakeholders.

Kapitalisme linear sudah saatnya direvisi dan revisi ini perlu diimplementasikan sebaik mungkin dengan kapitalisme sirkular berkesinambungan dan renewable. Ekonom Harvard Umair Haque dalam Betterness: Economics for Humans dan The New Capitalist Manifesto memberikan alternatif yang sangat masuk akal dengan integrasi CSR yang seamless sehingga setiap simpul dalam kapitalisme dapat diperbaharui sebagai benih kapitalisme yang akuntabel, sosial, dan tidak bermuara kepada anihilasi kemanusiaan.[]

Kontan, 25 Juni-1 Juli 2012

Pin It on Pinterest

Share This