Select Page

Kontan

Download KONTAN Weekly Mengingat Resiko Bear Sterns

oleh Jennie S. Bev

Lima
tahun sudah Bear Stearns runtuh. Pada tanggal 16 Maret 2008, kepercayaan
masyarakat runtuh amblas sehingga pemerintah federal mendorong JP Morgan Chase
untuk mengakuisisi Bear Stearns dengan hanya $2 per saham, walaupun akhirnya
dibeli dengan $10 per saham. Bandingkan dengan harga Januari 2007 yang $170 per
saham dan kemudian turun hingga $70 di awal Maret 2008. 

Bear
Stearns runtuh karena leverage.
Sebelum pemindahan tangan, bank tersebut di-leverage 34:1. Ada juga yang
menyebutkan 40:1. Pra-krisis 2008, bank-bank investasi semakin bermain dengan
resiko besar, termasuk permainan balance sheet yang dilakukan oleh Bear Stearns.
Selama satu dekade sebelum runtuh, Bear Sterns selalu bermain dengan leverage di atas 30 kali.

Sejarah
Bear Stearns sendiri sudah panjang sejak pasca 1929 stock market crash dan Great
Depression
. Dibangun sebagai equity trading firm oleh Joseph Bear, Robert
Stearns dan Harold Mayor di tahun 1923. Mereka bisa mengarungi Great Depression bahkan tanpa perlu
mem-PHK-kan pegawai dan masih menelurkan bonus. 

Kebijakan
New Deal-nya Theodore Roosevelt
membantu perkembangan dahsyat firma tersebut dengan menjual bond pemerintah dan korporasi ke
bank-bank lain. Ketika perusahaan-perusahaan private utilities tidak lagi
diperbolehkan dan pemerintah AS mewajibkan mereka untuk go public di 1935, Bear Stearns mengeruk keuntungan besar.

Tradisi
tumbuh kembang pesat Bear Stearns berlangsung selama beberapa dekade, termasuk
mengeruk keuntungan ketika New York City mengalami masalah di tahun 1970an.
Kota New York mengeluarkan securities yang menghasilkan profit bagi mereka.

Kepemimpinan
Bear Stearns yang agresif selama itu dipimpin oleh Salim Lewis dan di tahun
1978 digantikan oleh Alan Greenberg. Di masa Greenberg, Bear Stearns go public.
Tahun 1992 adalah tahun terindah bagi Bear Stearns dengan earning $295 juta.

Setahun
kemudian, firma raksasa ini dipimpin oleh James Cayne yang lebih berani dalam
mengambil resiko. “Kemenangan” besar firma ini ketika Laurence Tisch, pemilik
CBS memindahkan akunnya ke Cayne.

Cayne
semakin berani berspekulasi dan ketika Community Reinvestment Act 1997
disetujui, ia bermain di arena subprime
mortgage
. Subprime mortgage
inilah yang menjadi biang keladi implosi dunia finansial 2008.

Subprime mortgage singkatnya adalah KPR
yang diberikan kepada individu atau entitas non-individu yang tidak memiliki
daya bayar yang memadai berdasarkan perhitungan underwriting conservative. Dengan kata lain, mereka tidak mampu
membayar cicilan bulanan namun tetap diberikan kredit.

Bagi
bank investasi seperti Bear Stearns, setiap mortgage bisa dipaket dan dijual
kembali ke pasar investasi sebagai produk investasi. Betapa berbahayanya,
mengingat produk investasi ini adalah produk kosong alias beresiko luar biasa
tinggi.

Cayne
mendirikan dua hedge funds sebagai subsidiary firma. Mereka menjual
produk-produk investasi derivatif yang berisi KPR-KPR subprima. Produk-produk
ini dikenal sebagai High-Grade Structured Strategies Fund. 

Terhitung
2006, kerugian mulai terasa karena KPR-KPR subprima tersebut mulai bermasalah
dalam pembayaran. Ketika Merrill Lynch mendapatkan $850 juta kolateral dari
Bear Stearns, aset-aset tersebut sudah tidak berguna. Maret 2008, Cayne dan tim
manajemen semakin tidak berdaya dan tidak lagi bisa menyembunyikan kegagalan
mereka. 

Federal
Reserve mengalirkan dana ke JPMorgan untuk mengakuisisi Bear Stearns dalam misi
penyelamatan. Cayne dimintakan pertanggung jawaban oleh Kongres di tahun 2010.
Ia mengakui melakukan leverage terlalu tinggi, yaitu 40 kali. Di masa lampau,
bank-bank me-leverage 4 sampai 6 kali dari dana simpanan dan kolateral yang
dipegang. Ini berarti sudah 7 sampai 10 kali lipatnya. 

Kini
Cayne sudah menamatkan karirnya di bidang finansial. Bahkan Wall Street pun
sudah sulit untuk memaafkannya.

Pelajaran
apa yang bisa didapatkan dari keruntuhan Bear Stearns? Pertama, me-leverage
sebaiknya sebatas wajar, yaitu 4 sampai 5 kali. Kedua, KPR subprima mempunyai
resiko yang luar biasa tinggi dan justifikasi matematis apa pun tidak bisa mengingkari
perhitungan underwriting konservatif.

Ketiga,
penggabungan fungsi bank retail dan bank investasi jelas meningkatkan resiko
korup, mengingat sulitnya perilaku tim manajemen bank untuk dikendalikan secara
juridis dan etis. Celah-celah hukum bisa dengan mudah dipakai untuk kepentingan
beresiko tinggi yang ujung-ujungnya bisa mencelakakan konsumen. Bagaimana
dengan di Indonesia? Adakah resiko kolaps ala Bear Stearns?[]

 KONTAN Weekly, 15-21 April 2013

Pin It on Pinterest

Share This