Select Page

hand 450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN WEEKLY Mengenali Orang Baik]

oleh Jennie M. Xue

Seperti apakah seorang “baik” itu? Cukupkah dengan bertata krama baik dan tampak dari luar sebagai seseorang yang dapat dipercaya, maka ia adalah seseorang yang “baik”?

Jawabannya: tidak.

Apabila Anda seorang pebisnis, manajer, atau team leader, Anda perlu mengenali apakah seseorang sungguh-sungguh “baik” atau hanya “tampak baik” dari luar.

Beberapa indikator yang bisa digunakan.

Satu, verifikasi masa lalu dengan presentasi terkini. Ini sangat penting. Kenali setiap individu berdasarkan “resume” atau “CV”-nya. Apabila Anda hanya kenal secara lisan, catat kronologi hidup orang tersebut untuk Anda verifikasikan.

Misalnya, seseorang yang mengaku pernah kuliah di Sastra Perancis, semestinya masih ingat beberapa prinsip Bahasa Perancis hingga bertahun-tahun kemudian. Intinya, apapun yang dikatakannya, catat dengan mata hati dan di buku catatan. Verifikasi secara organik sehingga tidak menyinggung perasaan. Setelah Anda simpulkan sendiri, putuskan apakah Anda masih mau berhubungan dengannya.

Dua, apakah perkataan sama dengan perbuatan. Penulis mengenal beberapa laki-laki yang sangat pandai berkata-kata tentang cinta dan setia kepada pasangan. Namun, ia pernah terbukti meninggalkan istrinya tersebut untuk seorang perempuan lain yang lebih cantik dan muda. Dan proses meninggalkan istrinya tersebut tanpa penjelasan memadai dan tanpa usaha terapi apapun sebelumnya.

Beda “perkataan” dengan “perbuatan” sangat lazim di dalam kultur yang mengutamakan materi, karena unsur gengsi sangat bermain. Dalam dunia bisnis, ini merupakan indikator buruknya etika.

Tiga, afiliasi dengan organisasi. Apakah organisasi tersebut mempunyai rekam jejak yang baik akan prinsip-prinsip kebaikan yang diaplikasikan. Penulis mengenal beberapa organisasi yang punya rekam jejak “mencurigakan.”

Sebagai anggota, apakah ia mengenali rekam jejak yang tidak baik tersebut? Apa pendapatnya? Tanyakan mengapa ia masih menjadi anggota. Apabila jawabannya merupakan dukungan terhadap rekam jejak tersebut (apologis) atau ungkapan “tidak mau tahu,” maka Anda dapat simpulkan kualitas dirinya yang terbatas. Bahkan bisa jadi sebagai pendukung etika buruk.

Empat, rekam jejak kredit dan kriminal. Apabila Anda bekerja di bank atau lembaga keuangan, Anda pasti kenal dengan credit score alias nilai kredit berdasarkan ketepatan pembayaran hutang. Di AS, nilai kredit ini disebut FICO score dan semakin tinggi nilainya, semakin baik.

Kondisi finansial seseorang dan bagaimana ia menangani keuangannya merupakan indikator tanggung jawab dan kompetensi berkarya. Dengan kata lain, tanpa tanggung jawab dan kemampuan berkarya yang baik, maka mustahil seseorang akan mampu membertahankan nilai kredit.

Rekam jejak kriminal di Indonesia masih sulit ditelusuri mengingat belum ada database yang memberikan informasi real-time. Namun ini bisa diatasi dengan melakukan background check seseorang yang sedang Anda pelajari.

Misalnya, dengan menanyakan kepada komunitas dekatnya apakah ia berhutang kepada mereka dan apakah ia pernah terdengar melakukan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Apabila seorang laki-laki pernah melakukan KDRT, ini merupakan bukti bahwa ia mempu melakukan kekerasan kepada siapapun.

Lima, apakah kemarahannya beralasan kuat berdasarkan prinsip-prinsip kebaikan atau semata-mata karena ego belaka. Penulis sering mengamati bahwa kemarahan seseorang sering kali tanpa alasan yang jelas. Ketika ada indikasi demikian, sebaiknya telusuri apakah ini beralasan kuat atau tidak. Apabila kemarahan ini berdasarkan prinsip, maka termasuk bisa dipahami.

Enam, apakah ia merendahkan orang lain, siapapun itu. Di Indonesia yang bertingkat-tingkat status sosialnya, sering kali kita melihat seseorang “kurang ramah” terhadap mereka yang berstatus sosial lebih rendah atau lebih tinggi. Idealnya, kita memandang setiap orang sebagai makhluk yang sama berharganya. Mereka melayani kita karena pekerjaan, bukan karena mereka “lebih rendah” daripada kita. Semestinya, merit berbicara, bukan kelas sosial dan ekonomi.

Tujuh, bagaimana seseorang menjalankan agamanya bukanlah indikator “baik” atau “tidak baik”-nya seseorang. Tidak ada korelasi sama sekali. Bahkan sains dalam evolutionary psychology mengemukakan bahwa setiap manusia dibekali oleh programming akan moralitas dan kebaikan merupakan bagian dari alam untuk bertahan hidup (survival of the fittest).

Akhir kata, siapakah orang yang “baik” itu? Adakah? Semoga banyak orang baik di sekitar Anda. Jika tidak banyak, pelopori dari diri Anda.[]

KONTAN DAILY, 5-11 September 2016

Pin It on Pinterest

Share This