Select Page

flowers-650

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN WEEKLY Mengenali EQ Tinggi]

oleh Jennie M. Xue

IQ (Intelligent Quotient) dapat diukur dengan berbagai tes. Salah satu standar pengukuran IQ yang cukup dikenal adalah Stanford-Binet Original Classification (90-110 normal, 110-120 superior, 120-140 sangat superior, 140 ke atas mendekati genius atau genius). Penulis kenal beberapa individu secara pribadi yang hasil tes IQ-nya mencapai 140 bahkan 145, namun ternyata kehidupan mereka kurang memadai dalam hal pencapaian akademis maupun finansial.

Memang ada pepatah berkata, “Lebih penting EQ tinggi daripada IQ tinggi.” Sayangnya, EQ (Emotional Quotient) tidak bisa dites dan dikuantifikasi semudah IQ. Bahkan konsepnya sendiri masih berbau “pseudo science.” Apakah yang dimaksud dengan seseorang ber-EQ tinggi? Dan bagaimana kita dapat mengamati EQ seseorang?

Menurut Profesor Psikologi Bisnis di University College London Dr. Tomas Chamorro-Premuzic, “IQ sulit berubah, namun EQ bisa ditingkatkan dengan praktek dan latihan.” Dengan kata lain, coaching dapat meningkatkan EQ sepanjang coach-nya mempunyai pengalaman dan memberikan feedback akurat. Feedback akurat sangat penting artinya mengingat tidak semua individu mempunyai kemampuan menilai EQ.

Menurut pengalaman HR L’Oreal di AS, seorang salesperson yang mempunyai EQ tinggi mendapatkan omzet lebih tinggi USD 90.000 daripada yang ber-EQ rata-rata. Di sini jelas terlihat pentingnya EQ tinggi dalam suksesnya karir.

Walaupun ini merupakan generalisasi, penulis percaya bahwa mereka yang sukses di dalam masyarakat besar kemungkinannya ber-EQ tinggi, walaupun IQ-nya bisa saja tidak seberapa tinggi.

Dalam proses perekrutan pegawai, bagaimana kita dapat mengenali seseorang ber-EQ tinggi? Ujilah dengan berbagai permasalahan yang membutuhkan penyelesaian secara nyata.

Ada lima elemen utama yang perlu diperhatikan dalam proses penyelesaian masalah.

Satu, perbuatan dan kata-kata.
Apakah perbuatan seseorang sama dengan apa yang dikatakannya? Cek dan ricek. Tentu saja ini bisa dimulai dengan rekam jejak. Apa yang tertera di CV atau resume sangat mudah diverifikasi.

Lakukan terhadap posisi, lama bekerja, prestasi, dan hubungan dengan kolega. Lakukan juga cek dan ricek terhadap karakter dan nilai-nilai yang dipegangnya. Tentu ini memerlukan komunikasi yang cukup mendalam tidak semata-mata dengan wawancara dan observasi sekejap.

Dua, hari baik dan hari buruk.
Tentu saja tidak setiap hari adalah “hari baik” bagi seseorang. Terkadang kita mengalami “hari buruk” di mana prestasi kerja tidak seberapa baik. Sebaiknya hal ini mendapat perhatian agar proses seleksi lebih obyektif.

Beri kesempatan memperbaiki diri dengan “benefit of the doubt.” Amati kembali hingga berkali-kali dan ambillah performance rata-rata. Ini memerlukan observasi netral dan tidak terburu-buru. Kerendahan hati untuk memberi kesempatan mengulang beberapa kali niscaya memberikan hasil lebih akurat tentang EQ individu yang sedang diamati.

Tiga, orientasi gol.
Bagaimana dengan orientasi gol? Apakah seseorang mudah terdistraksi? Salah satu bentuk minimnya “orientasi gol” adalah berpindah-pindahnya seseorang dari satu profesi ke profesi lainnya dalam waktu singkat.

Apabila masih dalam bidang yang sama, berpindah tempat kerja bisa dipandang positif karena meningkatkan pendapatan dan posisi. Namun, ketika bidang kerjanya sudah berbeda jauh, ini merupakan indikator kurang jelasnya orientasi gol.

Empat, mengeliminasi toksin.
“Toksin” alias “racun” merupakan hal-hal di luar diri kita yang dapat menurunkan prestasi, motivasi, dan konsentrasi kerja. Bisa saja bentuknya adalah individu, kondisi, situasi, maupun hal-hal lainnya.

Seseorang ber-EQ tinggi mempunyai kapasitas mengenali dan mengeliminasi toksin-toksin tersebut dengan berbagai cara. Kinerja kerja positif merupakan tujuan utama dan pencapaian gol tidak dapat dibendung.

Lima, kontak dengan koneksi.
Sesorang ber-EQ tinggi biasanya mempunyai hubungan baik dengan orang-orang yang mempunyai arti penting bagi profesi, karir, dan kehidupan pribadinya. Namun, ia juga berani bersikap ketika dikelilingi oleh individu-individu bernuansa “toksin.” Perhatikan apakah seseorang mempunyai sahabat lama dari masa kecil dan tempat kerja lama. Semakin banyak, semakin baik.

Kemampuan seseorang ber-EQ tinggi sebenarnya cukup mudah diamati, sepanjang pengamat juga memiliki EQ memadai. Dalam tekanan, seseorang ber-EQ tinggi mempunyai kemampuan mempertahankan prestasi, bahkan memimpin rekan-rekannya. Bukan hanya motivasi mereka yang stabil, namun juga kemampuan mendeteksi karakter dan kehendak orang-orang di sekeliling.

Dalam proses merekrut para individu ber-EQ tinggi, amatilah daya fokus dan “kekenyalan” mental (mental toughness) dalam mengatasi masalah. Dua hal ini merupakan inti dari EQ seseorang, walaupun seseorang yang mempunyai gejala ADHD (Attention Deficit and Hyperactivity Disorder) bisa dipastikan berdaya fokus rendah.

Selamat mengamati orang-orang di sekitar Anda. Dunia penuh dengan beraneka ragam individu dengan tingkat IQ dan EQ berbeda. Setiap individu punya tempat dan fungsi masing-masing.[]

KONTAN WEEKLY, 29 Februari – 6 Maret 2016

Pin It on Pinterest

Share This