Select Page


[Download PDF KONTAN WEEKLY Mengatasi Penolakan]

oleh Jennie M. Xue

Sesungguhnya, satu unsur terpenting dalam sukses adalah kemampuan mengatasi penolakan (rejection). Dan ini adalah kemampuan (skill) yang dapat dipelajari. Anda tidak perlu dilahirkan dengan “kulit tebal” atau berstatus sosial tinggi.

Kunci dari kemampuan mengatasi penolakan adalah resilience atau “ketangguhan.” Tangguh di sini bukan dalam arti kaku dan tegang, namun fleksibel dan adaptif.

Tangguh di sini mempunyai arti berkesinambungan, tidak terputus-putus. Ada jeda untuk beristirahat, namun tidak pernah berhenti dalam menjalankan jalur yang telah dipilih. Setelah jeda selesai dan semangat kembali dipulihkan, berjalanlah kembali.

Tangguh di sini juga mempunyai arti strategik. Bukan hanya maju terus pantang mundur, namun mengenali bagaimana dunia bekerja dan menyesuaikan jalan yang telah dipilih dengan berbagai pilihan. Juga, “strategik” di sini artinya mengenali pilihan-pilihan baik, lebih baik, dan terbaik.

Lima langkah untuk mengatasi penolakan dengan ketangguhan diri.

Satu, Sit with fear and accept it.
Terimalah bahwa ada rasa takut untuk memulai. Lakukan desensitisasi sedapat mungkin dengan menjalankan dan menghadapi rasa takut itu. Dalam Ilmu Psikologi, bahkan fobia-fobiapun dapat diatasi dengan desensitifikasi.

Lakukan proses desensitifikasi dengan sungguh-sungguh oleh diri sendiri, bukan dengan meyuruh orang lain atau bawahan karena Anda sendiri “segan.” Jujurlah dengan keahlian Anda. Dengan jujur dengan diri sendiri, fondasi sukses semakin kuat dan tebal.

Criticize yourself but do it objectively.
Terkadang kita didera oleh “impostor syndrome,” alias “sindrom kepalsuan.” Anda bisa saja berkata dalam hati, “Saya tidak bisa menjalankannya dengan baik.” Padahal, sesungguhnya yang sedang berbicara hanyalah “noise” emosi, bukan fakta.

Anda perlu mengenali fakta bahwa Anda kapabel dan punya kemampuan untuk menjalankan apa yang ditakuti tersebut. Apabila didera sindrom ini, gunakan “cermin Leonardo Da Vinci” untuk menilai secara obyektif kemampuan Anda. Ingat, Anda adalah sahabat diri sendiri, bukan lawan yang ingin “menjatuhkan.”

Do it anyway.
Jalankan saja, walaupun rasa takut masih ada. Ini memang lebih mudah diucapkan daripada dijalankan, namun jutaan orang telah melakukannya dengan baik dan berhasil. Mengapa Anda tidak?

Catatlah alasan-alasan “mengapa” Anda “merasa” tidak mampu menjalankannya. Buat daftarnya dengan obyektif dan tanpa rasa malu. Toh daftar ini tidak untuk publik.

Lantas, baca dan cermati. Kenali mana yang fakta dan mana yang hanya “perasaan doang.” Gunakan obyektivitas Anda, sebagaimana mencermati orang lain. Sekali lagi, ini merupakan proses menjadi 100% jujur dengan diri sendiri. Super obyektif.

Pitch it strategically.
“Pitch” atau “kirimkan proposal” mempunyai arti kiasan, karena tidak semua aktivitas membutuhkan proposal. Namun, Anda pasti perlu memperkenalkan atau menjelaskan apa yang sedang atau akan dikerjakan kepada orang lain. Ini termasuk proses “pitch.”

Untuk memperkenalkan aktivitas atau proyek Anda, lakukan dengan strategis. Tidak semata-mata hanya dengan perasaan “sudah waktunya” atau “feeling berbicara.” Perhatikan tempat, waktu, dan momentum untuk melakukannya.

Be a Shakespeare.
Jadilah seorang Shakespeare. Ia bukan hanya seorang penulis drama, namun juga pemilik panggung drama. Dengan kata lain, Shakespeare ini adalah wirausahawan panggung. Di masa kini, mungkin posisinya mirip dengan seorang produser film yang merangkap seorang penulis skenario.

Ketika Anda perlu memperkenalkan aktivitas Anda kepada orang lain, lakukan dengan semangat entrepreneurship. Karena, Anda bukan hanya seorang ahli masak, namun juga pemilik restoran, penulis buku resep, dan produsen acara masak di televisi. Begitu analoginya.

Sukses membutuhkan ketebalan “kulit muka” yang berarti Anda mampu mengelola penolakan ketika melakukan pitching. “Mengelola” penolakan bukan berarti Anda lepas dari rasa takut atau kebal.

Setiap orang tidak pernah lepas dari rasa takut atau kerentanan (sebagai antitesis dari “kebal”). Bahkan “impostor syndrome” sangat sering dialami siapapun. Yang penting adalah bagaimana mengelolanya.

Mengatasi penolakan memang membutuhkan latihan terus-menerus. Proses desensitisasi terkadang memerlukan waktu bertahun-tahun. Namun ketika Anda telah menemukan “strategi”-nya, proses “hacking” alias “mendapatkan jalan pintas” pun mengkristal.

Akhir kata, ketrampilan mengatasi penolakan merupakan faktor pembeda penting dalam perjalanan menuju sukses. Semakin sukses seseorang, semakin banyak penolakan yang telah ia lalui. Dan ini membuatnya semakin jujur dan semakin strategik.[]

KONTAN WEEKLY, 29 Januari – 4 Februari 2018

Pin It on Pinterest

Share This