Download PDF: KONTAN Daily Mengapa Kegagalan Penting
oleh Jennie M. Xue
Kebanyakan para coach dan motivator menghembuskan prinsip bahwa setiap keberhasilan diawali oleh beberapa kali kegagalan. Dan berbagai cara dilakukan agar mengubah mindset bahkan kebiasaan sehingga “pecundang” bisa menjadi “pemenang.”
Namun pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Mengapa kegagalan penting untuk keberhasilan? Jawaban yang sederhana adalah: dari kegagalan kita belajar banyak sehingga suatu hari bisa berhasil. Tapi benarkah jawabannya sesederhana itu? Jika “tidak,” apa yang berada di dalam black box setelah input dan output terdeteksi?
Mari kita simak dari berbagai studi tentang bisnis dan manajemen.
Selama “gagal” merupakan suatu stigma, maka para coach dan motivator akan tetap laris, sebagaimana di Indonesia. Namun di negara-negara maju seperti di AS dan Eropa Barat, konsep “gagal” semakin berevolusi sehingga “stigmatisasi” semakin menipis. Kegagalan hanya merupakan beberapa babak awal dari suatu kontinuum aktivitas yang bermuara kepada pencapaian target.
Dalam banyak kasus, “anti gagal” merupakan posisi yang diambil sebagai refleksi ego. Bukan dalam konteks growth mindset-nya Dr. Dweck dari Stanford. Padahal, suatu keputusan perlu diambil dalam keadaan kognitif prima dan mempertahankan rasionalitas. Bukan atas desakan ego atau “rasa kawatir” akan solidaritas dan dianggap sebagai “team player.”
“Go Fever” adalah terminologi yang terinspirasi dari NASA. Ketika seorang pemimpin menetapkan tanggal launching pesawat luar angkasa, maka seluruh jajaran akan mendukung, walaupun ada saja kemungkinan kegagalan karena ketidaksiapan teknis. Terdorong dari rasa satu tim, biasanya anggota tim “mengabaikan” resiko tersebut dan tetap fokus ke tanggal peluncuran.
Dalam salah satu peluncuran pesawat ulang-alik NASA, pernah terjadi ketidaksiapan teknis. Namun peluncuran tetap dilakukan sehingga terjadilah ledakan yang menewaskan awak pesawat. “Go Fever” sangat membahayakan karena pada prinsipnya ini merupakan perwujudan dari “ego tidak mau gagal” yang “mengabaikan” segala kekurangsiapan.
Gary A. Klein, seorang psikologi peneliti dengan PhD dari University of Pittsburg, mempelopori metode penelitian Pre-Mortem alias “sebelum mati” atau “sebelum gagal.” Setiap anggota tim memberikan masukan akan hal-hal yang menurutnya bisa menyebabkan kegagalan suatu proyek. Jadi, ada kesempatan khusus dalam menyampaikan concern daripada sekedar rapat untuk melancarkan tanggal peluncuran.
Menurut Klein, kemampuan suatu institusi, proyek, tim, dan individu untuk mengakui adanya kemungkinan terjadinya kegagalan dan mengalami sendiri kegagalan sangat membutuhkan keberanian. Dan suatu “kegagalan” sesungguhnya mempunyai nilai yang lebih penting dari sebagai proses belajar belaka.
Pengalaman akan berbagai kegagalan memungkinkan untuk mendeteksi kegagalan dari awal, jauh sebelum ada tanda-tanda. Nilai dari kegagalan terbesar selain sebagai proses belajar adalah membentuk fleksibilitas kognitif di mana stigmatisasi diubah menjadi spirit positif.
Metode Pre-Mortem ini sangat membantu dalam mengantisipasi masalah. Apalagi yang bisa mengakibatkan kegagalan fatal dan mengancam nyawa. Jadi pada intinya, dengan mengalami dan mengantisipasi kegagalan, keberhasilan suatu tim dan proyek bisa diperkirakan dengan lebih tepat.
Dengan kata lain, setiap kegagalan yang dicatat dengan seksama diperlukan dalam proses pematangan. Nilai “proses pematangan” ini sangat besar dan menjustifikasi kegagalan-kegagalan di tahap awal.
Jadi, bagaimana sebaiknya kita menghadapi suatu kegagalan? Dengan memandangnya sebagai sesuatu yang positif, sebagaimana Prof. Klein sarankan. Yang penting adalah menyadari bahwa sesuatu yang berbeda daripada yang diharapkan telah terjadi. Dan ini merupakan bagian dari mata rantai proses mencapai suatu tujuan alias “keberhasilan mencapai target.”
Tentu diperlukan perubahan mindset di dalam diri setiap anggota tim, sebelum perspektif ini bisa diterapkan sepenuhnya. Dan ini merupakan “kelebihan” dari kegagalan. Apabila suatu rangkaian perjalanan menuju target sangat mudah dilalui, maka proses belajar dan pelatihan dengan resilience tidak terjadi. Bahkan bisa jadi segala sesuatu malah dipandang “mudah” dan “lancar.”
Dengan analisis Pre-Mortem dan memperbaiki hal-hal yang “mencurigakan” dari berbagai segi, maka persiapan untuk berhasil semakin kuat dan pencatatan semakin mendalam dan menyeluruh untuk dijadikan dasar empiris dan historis knowledge management di masa mendatang. Silakan menyambut “kegagalan.”[]
KONTAN Daily, Jumat 25 Juli 2014