Yang perlu Indonesia pelajari adalah bagaimana me-manage perang antar kelas supaya tidak bermuara kepada kekerasan.
CALIFORNIA, Jaringnews.com - Di setiap masyarakat, class warfare atau perang antar kelas terjadi dan sangat menarik untuk diamati. Indonesia sendiri adalah masyarakat yang terstratifikasi secara signifikan, di mana kaum feudal aristokrat, para feodal modern, dan para rakyat jelata baik yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak, membentuk struktur sosial yang beragam, lengkap dengan kecenderungan-kecenderungan religiositas yang berbeda-beda intensitas nuansanya. Berbagai variabel, seperti kekuatan ekonomi dan mindset akan entitlement terhadap kekayaan dan pemerataannya turut membentuk dan mengarahkan pertentangan antar kelas.
Di Amerika Serikat, class warfare terjadi antara one-percenters dengan 99-percenters yang diwarnai dengan Occupy Movement, antara pendukung republikan dengan demokrat, antara pembayar pajak berdasarkan pendapatan yang diraih (earned income) dengan para pembayar pajak berpendapatan berdasarkan capital gain dan passive income (unearned income), antara mereka yang bermindset “sukses finansial diperoleh dengan kerja keras, bukan dengan meminta bantuan pemerintah” dan mereka yang bermindset “distribusi kekayaan wajib dilakukan untuk pemerataan kesejahteraan.” Indahnya, di Negeri Paman Sam ini, economic equalitymempersatukan konservatisme filosofis dengan liberalisme operasional, sehingga perang antar kelas ini terbatasi secara elegan.
Namun sebenarnya perang antar kelas di dalam masyarakat AS terjadi dalam relativitas yang tinggi, artinya tidak sedahsyat yang diumbar oleh para politisi dan pengamat politik dan ekonomi. Ide-ide tentang class warfare kebanyakan terjadi dalam skala diskursus, sehingga ini lebih merupakan “perang pemikiran” daripada realitas fisik. Ini bisa diamati dari suasana politik yang tidak mempunyai konflik keras yang berarti. Konflik kebanyakan terjadi dalam tingkat konseptual dan debat yang bisa diikuti alur pemikirannya.
Di Indonesia, perang antar kelas serupa juga terjadi, namun dengan parameter yang lebih kabur, karena jumlah pendapatan seorang wajib pajak, misalnya, tidak bisa diverifikasi dengan sederhana. Underground economy memungkinkan seseorang yang berpenghasilan upah minimum untuk gonta-ganti telpon selular, misalnya. Jadi, apakah benar terjadi perang antara kelas pembayar pajak dengan para “wong cilik” bebas pajak? Ini tidak bisa diamati dengan mudah.
Perang ideologi horisontal yang kasat mata bisa diamati dengan religiositas yang semakin mengental dengan simbol-simbol yang anti pluralisme dan anti sekularisme. Perang ideologi ekonomi juga membenturkan antara populisme dengan ketamakan kapitalisme dengan berbagai penggunaan jargo “neolib” yang terkadang sangat berlebihan hanya untuk menyerang pihak-pihak tertentu.
Perang antar kelas di Indonesia lebih condong ke konflik yang bisa diamati secara kasat mata. Penunggangan-penunggangan politik juga memperkeras perang antar kelas yang vertikal maupun perang ideologi yang horisontal. Di Maluku, jelas berbagai kepentingan politik memperdalam dan mempertahankan status quo konflik, sembari mengeksploitasi unsur-unsur religiositas.
Konsep pembayaran pajak di Indonesia, misalnya, malah mempertegas perang antar kelas karena mereka yang melabelkan diri “wong cilik” berkeras untuk membebaskan diri mereka dari membayar pajak dan didukung oleh para politisi yang menggunakan jargon-jargon “pro rakyat.” Dan cukup banyak kandidat eksekutif dan legislatif yang menggunakan situasi ini sebagai platform mereka, seperti membebaskan para pedagang warteg dan asongan dari membayar paja.
Para pedagang warteg dan asongan dimasukkan ke dalam kategori tidak resmi bahwa mereka adalah para pedagang kecil dengan omzet yang diasumsikan kecil pula, sehingga atas dasar populisme, mereka dibebaskan dari membayar pajak. Ini bertentangan dengan UU No. 28/2007 pasal 1 yang berbunyi, “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun tentu saja kita tahu bahwa legal enforcement di Indonesia masih sangat terbatas dan para eksekutif bisa dengan mudah mengeluarkan maupun menerapkan suatu peraturan yang mengecualikan atau mengatur lebih lanjut pelaksanaan pasal-pasal tertentu.
Dibandingkan dengan sistem perpajakan di AS, di mana suatu akun wajib pajak mempunyai dua kolom: debit dan kredit, pembayaran pajak memungkinkan pemindahan kekayaan secara otomatis dengan berbagai mekanisme yang menghitung earned income credit, deduction, and other credits. Ini membuat pembayaran pajak bukanlah momok menakutkan bagi para “wong cilik” dan mereka yang melabelkan diri sebagai “wong cilik.”
Terlepas dari adanya dua kolom yang mempermudah transfer kekayaan, apakah suatu pendapatan berasal dari kegiatan-kegiatan aktif (earned income) atau kegiatan-kegiatan pasif atau residual (unearned income) menentukan presentase pemotongan pajak. Yang pertama lebih tinggi dan biasanya dijumpai di antara mereka yang bekerja aktif (biasanya berkelas ekonomi lebih rendah) daripada mereka yang tidak bekerja aktif (biasanya berkelas ekonomi lebih tinggi). Jadilah mereka yang “lebih miskin” membayar lebih pajak lebih tinggi daripada mereka yang “lebih kaya.” Dan ini menimbulkan rasa ketidakdilan dan ketidaknyamanan.
Singkat kata, perang antar kelas selalu ada di dalam suatu masyarakat dan berpotensi untuk mencetuskan konflik dengan berbagai skala, termasuk konflik-konflik berdarah. Yang perlu Indonesia pelajari adalah bagaimana memanage perang antar kelas supaya tidak bermuara kepada kekerasan, sebagaimana di AS yang lebih bersifat diskursus belaka.[]
Jaring News, 14 Juni 2012