Select Page


[Download PDF KONTAN WEEKLY Mendisrupsi Diri Sendiri]

oleh Jennie M. Xue

Terminologi “disrupsi” sudah sangat umum digunakan di kalangan IT, terutama di Silicon Valley. Uber, AirBnB, dan Go-Jek, misalnya, telah mendisrupsi dunia bisnis dengan model bisnis mereka dalam sharing economy.

Disrupsi sebenarnya adalah bentuk interupsi yang menggoncangkan status quo. Ini dapat terjadi di berbagai level, termasuk diri sendiri. Mendisrupsi diri sendiri merupakan salah satu cara paling jitu untuk meningkatkan kualitas diri, baik kualitas intelektual, finansial, maupun skill.

Apa saja bentuknya? Bisa macam-macam, seperti pindah kerja, pindah kota, migrasi ke luar negeri, pindah rumah, mempelajari sesuatu yang baru, memulai bisnis baru, memulai produk baru, mempelopori jenis servis baru, dsb.

Yang perlu diperhatikan dalam mendisrupsi diri sendiri adalah memperhatikan competitive advantage, competitive risk, dan market risk.

Apa value dari kelebihan-kelebihan Anda? Cukup kompetitifkah di pasar? Bagaimana situasi pasar itu sendiri dan kondisi makro? Menjanjikan atau perlu menunggu waktu yang lebih tepat?

Filsuf Henry David Thoreau pernah membandingkan diri kita dengan Christopher Columbus, “Jadilah Columbus dengan diri sendiri sebagai dunia baru. Bukalah kanal-kanal pikiran baru di dalamnya.”

Ketika Anda siap untuk menggoncang status quo dengan melakukan manuver disrupsi, identifikasikan kelebihan-kelebihan Anda yang dapat memenuhi permintaan pasar yang belum terpenuhi. Dengan kata lain, apa yang mudah bagi Anda, belum tentu mudah bagi orang lain dan bisa jadi malah sangat dibutuhkan oleh pasar.

Ketika tiga garis (competitive advantage, competitive risk, dan market risk) ini memotong di satu titik, Anda telah menemukan output disrupsi yang bisa dijalankan. Next, Anda perlu menemukan input dan proses disrupsi tersebut.

Apa input disrupsi tersebut tergantung skill, talenta, dan pengalaman dalam dunia bisnis dan non-bisnis. Bisa saja hobi atau interes non-bisnis diubah bentuknya untuk berbagai kepentingan, termasuk bisnis.

Proses disrupsi di era teknologi ini pasti melibatkan automasi real-time, seperti aplikasi smartphone dan data analitiks. Jadi, diperlukan kemampuan untuk mengenali langkah-langkah dan skill yang diperlukan. Setidaknya untuk dapat menjalankan proses disrupsi dengan mulus.

Sayangnya, mereka yang telah merasa “cukup,” sering kali menghindari disrupsi. Mereka memilih untuk berdiam diri di dalam comfort zone atau zona nyaman. Ini sesungguhnya membuat mereka “ketinggalan kereta.”

Padahal, untuk mencapai tangga berikut dalam sukses, diperlukan pengalaman dalam mengatasi kegagalan. Kegagalan yang disebabkan oleh kesalahan maupun bad timing merupakan proses belajar.

Berbagai kelas MOOC (massive open online course) tingkat dunia kini telah dapat diikuti dari mana pun. Sungguh sangat memudahkan bagi pembelajar seumur hidup.

Jadi, tidak ada lagi alasan mengapa Anda belum melakukan disrupsi. Minimal bagi diri sendiri.

Berbagai skill yang dua puluh tahun lalu sama sekali belum dikenal, kini dapat dipelajari via MOOC dan berbagai institusi online learning. Di tahun 1994, penulis termasuk salah satu penulis pertama yang mengenali tren belajar online learning yang kini telah menjamur.

Lantas, apa lagi yang diperlukan untuk mendisrupsi diri sendiri? Drive luar biasa dari dalam yang mendorong semangat menggoncang status quo diri sendiri.

Ini memerlukan lebih dari “sekedar niat” dan “sekedar kemauan” belaka. Juga lebih dari sekedar retorika atau narasi. Mendisrupsi diri sendiri membutuhkan semangat eksekusi yang tidak kunjung padam.

Sebagaimana bisnis startup, diri Anda juga merupakan “startup” yang terus-menerus berubah bentuk, model bisnis, model revenue, dan fleksibel mengikuti pasar dan kondisi makro. Jadi, perlu ada keseninambungan antara konsep dengan aplikasi.

What you talk, you must walk. Apa yang Anda ungkapkan dengan kata-kata perlu dibuktikan dengan aksi. Bukan hanya “omong doang.” Dan sebaiknya Anda belajar dari mereka yang sungguh-sungguh menjalankan apa yang dibicarakan.

Akhir kata, mendisrupsi diri sendiri membutuhkan obyektivitas akan apa yang telah diraih, akan diraih, dan metriks yang dipakai. Tujuannya agar Anda mampu mengenali sampai tahap apa disrupsi telah berjalan. Dan apakah arahnya telah tepat.

Jadilah seseorang yang pandai mengaplikasikan apa yang telah dipelajari secara formal maupun informal. Hidup ini bukanlah panggung tempat beretorika belaka. Intelek memang penting, namun tanpa eksekusi yang baik, intelektualitas tinggi hanyalah penghasil ijasah belaka.

Kagumi mereka yang pandai berkonsep namun juga cerdas bekerja dengan menyingsingkan lengan baju.[]

KONTAN WEEKLY, 6-12 November 2017

Pin It on Pinterest

Share This