Download KONTAN Daily Mencermati Indikator Ekonomi
oleh Jennie S. Bev, Santa Clara
Berbicara
mengenai ekonomi, situasi ekonomi saat ini, dan perkembangan ekonomi positif
maupun negatif, tidak pernah terlepas dari indikator-indikatornya. Cukup banyak
mitos yang beredar tentang ekonomi yang “maju” maupun yang “mundur.”
Pembangunan ekonomi yang kini kita nikmati sesungguhnya sangat parsial dan
tidak bisa digeneralisasikan sebagai “luar biasa” hebat, walaupun Indonesia
sudah menjadi anggota G20 dan diharapkan menjadi ekonomi raksasa dunia tahun
2050 mendatang.
Pertumbuhan
ekonomi regional dan spesifik di wilayah-wilayah tertentu bisa sangat berbeda
dengan yang berada di region dan wilayah lainnya. Sebagai contoh, pertumbuhan
di Bogor, Jawa Barat tidak bisa disamakan dengan pertumbuhan di Uluwatu, Bali
atau di Medan, Sumatera Utara. Demikian pula di negara lain, kita tidak bisa
menyamakan pertumbuhan ekonomi di San Jose, Silicon Valley dengan di Des
Moines, Iowa, walaupun sama-sama di AS.
Beberapa
indikator ekonomi yang populer diterangkan berikut. Pertama, jumlah jam kerja
per minggu. Di kota manufaktur, jumlah jam kerja bisa lebih panjang daripada di
kota pelajar, misalnya. Ini normal dan dari sampling ratusan bahkan ribuan data
poin dan data set, bisa dicari median dan rata-ratanya. Apabila terjadi PHK,
maka akan bisa terlihat jelas penurunan jumlah jam kerja.
Kedua,
klaim PHK dan pesangon yang dikeluarkan. Baik besar jumlah maupun jumlah
pekerja yang menerimanya bisa dijadikan indikator yang tepat. Jumlah ini dikurangi
dari jumlah pekerja periode lampau. Di negara-negara yang bersistem sosialis,
ini bisa dengan sangat mudah didata mengingat klaim-klaim ini langsung
ditangani oleh negara. Di AS, ini disebut unemployment
benefit yang berbeda dengan severance
package. Yang pertama dibiayai oleh pajak dan yang kedua dibiayai oleh
profit perusahaan.
Ketiga,
jumlah order yang masuk di perusahaan-perusahaan manufaktur. Komponen ini
merupakan indikator utama mengingat jumlah order biasanya memberikan jumlah jam
kerja dan jumlah pekerja yang positif. Ini juga merupakan acuan untuk omzet di
masa depan.
Keempat,
performance dari supplier. Kecepatan dan ketepatan kualitas dan kuantitas
supplier bahan mentah dan setengah jadi merupakan penentu siklus bisnis yang
patut diperhitungkan. Tentu setiap industri berbeda, sehingga ini merupakan
tantangan bagi para periset.
Kelima,
izin pendirian bangunan baru, terutama izin untuk properti di kompleks-kompleks
perumahan dan di distrik-distrik finansial urban. Tentu ini juga mempunyai resiko
bahwa data yang disampaikan mempunyai cacat validitas mengingat bubble properti
bisa membuat data tidak mempunyai makna yang sesungguhnya. Namun indikator
lainnya seperti harga rata-rata penyewaan properti dan buying multiplier
membantu kejernihan informasi.
Keenam,
suplai uang. Ini jelas erat hubungannya dengan bank sentral, inflasi, dan nilai
tukar. Berapa banyak uang yang beredar menentukan nilai dan kelangkaannya.
Semakin banyak yang beredar, nilai uang semakin menurun. Yang dimaksud dengan
jumlah peredaran uang bisa dibedakan atas: peredaran uang yang dipegang oleh
individu maupun institusi dan peredaran uang yang dipegang oleh bank dalam
berbagai bentuk program seperti tabungan, giro, deposito, pinjaman dan
sebagainya.
Ketujuh,
suku bunga. Suku bunga juga ditentukan oleh bank sentral, namun suku bunga yang
dikenakan kepada konsumen ditentukan oleh bank-bank yang bersangkutan. “Uang
murah” ditawarkan bank ketika suku bunga diturunkan untuk meningkatkan
pinjaman. “Uang mahal” terjadi ketika bank menawarkan suku bunga yang tinggi.
Yang menarik di Indonesia adalah masyarakat sudah terbiasa dengan “uang mahal”
yang meninggikan economic cost
keseluruhan. Indonesia sudah lama berkultur “high cost economy” dan tampaknya masih bisa diterima oleh para konsumen
sehingga menjadi “surga” para pengusaha perbankan.
Kedelapan,
harga sewa properti rata-rata. Harga sewa yang tinggi menunjukkan kebutuhan (demand) yang tinggi yang berbanding
terbalik dengan suplai. Demand yang tinggi properti-properti
komersial merupakan indikator valid akan cerahnya kondisi ekonomi. Demikian
pula properti-properti tempat tinggal yang berada di wilayah-wilayah yang
sedang naik perekonomiannya.
Akhir
kata, memang Indonesia terkadang membingungkan dengan berbagai
anomali-anomalinya. Namun diperhatikan seksama, tampak jelas bahwa prinsip-prinsip
ekonomi sederhana seperti supply and
demand mewarnai setiap langkah kondisi ekonomi yang akhirnya bisa dibaca
dengan indikator-indikatornya.
Jadi,
kalau ada yang berpendapat bahwa “kalau harga properti naik di Indonesia, tidak
bakal turun lagi” hanyalah mitos belaka. Jangan termakan mitos. Perhatikanlah
indikator-indikator ekonomi. Jadilah pelaku ekonomi yang cerdas.[]
KONTAN Daily, Jumat 19 April 2013