Select Page

 Kontan

Download KONTAN Weekly Memimpin Dengan Narasi

by Jennie S. Bev, Santa Clara

Kita semua dibesarkan dengan
“kisah,” “cerita,” atau “narasi” dari orang tua, kakek nenek, dan guru. Kita
membaca berita di koran Internet, mendengarkan radio podcast, menonton berita
di CNN online atau TV, bahkan sharing dari teman blogger kita. Semua itu adalah
cerita, walaupun dibungkus sebagai reportase, analisis, maupun sekedar ringan
dan lucu. Twitter, Facebook, dan Tumblr semua mengandung kisah. Setiap tulisan,
pembicaraan, dan gambar visual hidup maupun statis mengandung cerita.

Hidup kita pun dari lahir hingga
hari ini penuh dengan kisah. Tahukah Anda bahwa sekolah bisnis di Notre Dame
University dan De Paul University sudah memasukkan storytelling ke dalam
kurikulum mereka? Narasi yang sukses adalah narasi yang mengubah seseorang atau
institusi menjadi lebih baik.

Bisnis-bisnis raksasa telah lama
menggunakan storytelling sebagai salah satu metode kepemimpinan. Manajemen
sendiri lebih merupakan “seni” daripada “sains.” Kemampuan bernarasi alias
storytelling merupakan salah satu instrumen dalam bentuk skill (ketrampilan),
disamping instrumen-instrumen lainnya baik yang berbentuk tangible maupun
intangible, manusia maupun non-manusia.

Di antara institusi-instituti
raksasa tersebut termasuk The World Bank, NASA, Disney, Microsoft, Nike,
Motorola, Berkshire Hathaway, May Kay, Southwest Airlines, FedEx, dan P&G.
Nike, misalnya memilih eksekutif-eksekutif C-level yang ahli bernarasi.
Kimberly-Clark perusahaan consumer products misalnya mengadakan pelatihan-pelatihan
bagi C-level sebagai narator ulung. Mereka menggunakan konsep “narasi
strategik.”

Dalam sejarah manusia dari zaman
batu hingga ke masa suku-suku primitif, pemimpin kelompok alias kepala suku
biasanya merupakan narator ulung. Belum tentu mereka adalah orator ulung karena
“orasi” merupakan ketrampilan public speaking tersendiri. Seorang narator ulung
bisa saja seseorang yang pemalu namun mempunyai kekuatan besar ketika
bercerita. Dalam budaya Indonesia, wayang merupakan salah satu bentuk narasi
kultural yang sangat kuat perannya dalam mempertahankan suatu tradisi.

Tahun 1900an, para profesional
bisnis mulai meninggalkan narasi. Digantikan dengan berbagai bentuk memo dan
laporan. Program-program MBA juga mempopulerkan analisis dalam laporan, daripada
seni bernarasi. Seni bernarasi semakin berkurang pamornya. Tahn 1970an, narator
profesional Doug Lipman di Tennessee mengadakan festival bernarasi pertama,
sehingga dunia kembali diingatkan untuk bercerita.

Suatu cerita bisa menjadi kisah
yang hebat dengan enam elemen: metafora, emosi, realisme, kejutan, gaya, dan
memasukkan audiens ke dalam cerita. Ini menurut Paul Smith dalam Lead with a
Story. Sedangkan lima tema kepemimpinan dengan bernarasi ini adalah: envision,
environment, energize, educate, dan empower.

Jack Welch dari GE misalnya
memasukkan 4E dalam gaya kepemimpinannya: energy, energize, edge, dan execute.
P&G memasukkan 5E yaitu: envision, engage, energize, enable, dan execute.
Soft skills ini merupakan skills yang patut dimiliki oleh siapa saja, baik
supervisor, manajer, direktur, maupun C-level. Bahkan seorang siswa pun.

Howard Gardner dikenal dengan
konsep multiple intelligences-nya adalah professor psikologi dari Harvard yang
mengakui kehebatan kepemimpinan dengan narasi. Every great leader is a great
storyteller. Dan ini bisa diasah dengan lingkungan yang nyaman bagi
kreativitas.

Seorang pemimpin yang sesungguhnya
bisa “membaca” seseorang dari kisah-kisah yang dilontarkannya. Demikian pula
seorang pemimpin bisa “terbaca” dari kisah-kisahnya. Ini bukan berarti mereka
yang kurang pandai bercerita berarti kurang “bermutu.”

Storytelling is a universal skill.
Mempunyai ketrampilan ini bisa membuka banyak kesempatan di masa depan. Selain
mampu menyelesaikan masalah dan menciptakan lingkungan positif untuk berkarya.

Jim Bangel, seorang periset di
P&G memutuskan untuk tidak menuliskan laporan riset yang kering, namun
menuliskan laporan dalam bentuk cerita. Ternyata, dalam 40 tahun ia berkarya,
ia dikenal sebagai influencer terbesar di P&G. Komunikasi horizontal,
vertikal, dan dengan konsumen berjalan lancar dengan kekuatan narasinya. Berita
terakhir, narasi-narasinya selalu dibaca 10.000 orang di perusahaan.

Paul Smith menambahkan sepuluh
alasan mengapa bernarasi sangat efektif: simpel, tanpa tenggat waktu, disukai
siapa saja tidak terbatas demografi, menyebar, mudah diingat, menginspirasi,
mudah dicerna dengan berbagai learning style, proses belajar bisa terjadi di
tempat, membuka learning mode seketika, dan tanpa menggurui memberi respek atas
inteligen audiens. Narasi yang baik memberikan opsi bagi audiens untuk
mengambil kesimpulan sendiri.

Bob Johansen CEO dari The Institute
for the Future menyimpulkan, “Suatu masalah bisa disimpulkan dengan formula
atau algoritma. Namun suatu dilema hanya bisa dipahami dengan narasi. Dilema
akan banyak dijumpai di masa depan dan narasi-narasilah yang akan memberi
jawaban.”[]

KONTAN Weekly, 29 Juli-4 Agustus 2013

Pin It on Pinterest

Share This