Select Page

Kontan

Download KONTAN Weekly Memilih Model Waralaba

oleh Jennie S. Bev

Franchising
dan licensing memungkinkan pertahanan terhadap segala cuaca ekonomi, termasuk
dalam keadaan resesi. Dalam lima dekade terakhir, bisnis-bisnis berbasis franchise mencakup 50 persen dari semua
penjualan retail. Franchising adalah sistem manajemen, juga sistem pemasaran,
sistem distribusi dan pemicu pertumbuhan bisnis secara eksponensial.

Kapan
sebaiknya dan apakah suatu bisnis sudah waktunya untuk go franchise? Apa saja
resiko-resikonya? Apa fondasi yang baik bagi franchisor? Sebaiknya tipe franchise
seperti apa yang ditawarkan kepada franchisee?

Kematangan
suatu bisnis perlu diamati dari berbagai segi, tidak hanya dari pertumbuhan per
tahun, market share, saturasi pasar,
dan kesiapan ekspansi lainnya. Tidak jarang kita temui franchisor yang sesungguhnya belum mempunyai sistem yang baik untuk
di-franchise-kan. Ini hanya menimbulkan kekecewaan dan litigasi atas
wanprestasi dan ketimpangan antara janji dengan realita.

Berbagai
alasan to go franchise dari
perspektif franchisor. Mencapai
efisiensi operasional dan skala ekonomi. Meningkatkan market share dan ekuitas merek. Membangun loyalitas konsumen.
Mencapai target market yang lebih
besar dengan iklan kolektif. Mencapai penetrasi pasar dengan pengeluaran
relatif rendah. Mendelegasikan sebagian tugas ekspansi bisnis kepada franchisee.

Menurut
buku referensi Franchising and Licensing:
Two Powerful Ways to Grow Your Business in Any Economy
oleh Andrew Sherman,
fondasi terbaik bagi program franchising
mencakup sistem pemilihan lokasi, sistem pengoperasian dan manajemen,
kapitalisasi yang cukup, identitas kekayaan intelektual seperti merek dan
paten, program pelatihan yang komprehensif, staf lapangan sebagai trouble shooter, kemampuan menganalisa
kompetitor, hubungan kerja yang baik dengan para vendor dan peminjam modal, sistem pembukuan yang transparan dan
menyeluruh, kapasitas pengembangan dan riset, sistem komunikasi inklusif, dan sistem
pemasaran kolektif.

Bentuk-bentuk
franchise sendiri bisa dibedakan dari
besar kapital yang dibutuhkan dan penekanan format. Yang paling murah dan mudah
didirikan adalah jenis-jenis jasa, seperti jasa pelayanan manula dan jasa
pencucian pakaian, seperti senior home care. Kapital yang diperlukan relatif
sangat kecil. 

Tipe
kedua berbentuk pemasaran dan distribusi produk dengan eksklusivitas geografis
tertentu, seperti Ace Hardware. Tipe ketiga berbentuk toko-toko ritel, di mana
format bisnis menjadi penekanan utama, seperti Seven-Eleven. 

Tipe
keempat berbasis manajemen dan eksklusif geografis tertentu dan cukup luas,
seperti kios-kios di mal dan toko-toko satelit. Tipe kelima berbasis investasi
kapital yang besar bahkan raksasa, seperti pembangunan hotel, gedung
perkantoran, dan mal.

Apapun
tipe franchise yang ditawarkan kepada
franchisee, strategi penerapan
manajemen operasional dalam suatu prototype dan tingkat keberhasilan
penduplikasian merupakan kunci sukses. Tanpa kejelasan konsep, format, dan
sistem terstandarisasi, identitas franchise
akan sulit untuk ditransfer.

Dengan
sistem yang terstandarisasi dengan baik pun, franchise bukan jaminan sukses dalam waktu singkat. Franchise system mempermudah penetrasi
pasar dengan ekuitas merek, sudah jelas. Namun ini juga mengandung resiko
ketika ekuitas merek kehilangan popularitas. Magnifikasi dan akselerasi sukses serta
kegagalan juga sama besarnya.

Di
AS, sekitar 75 sampai 100 franchisors
gagal alias mengundurkan diri dari dunia bisnis. Tentu ini tidak termasuk para franchisor papan atas seperti
McDonald’s, KFC, Pizza Hut, Dairy Queen, dan Domino’s Pizza. Ekuitas merek
mereka sudah hampir tidak diragukan lagi, terlepas dari beberapa kasus landmark tentang konsumen yang terseduh
kopi panas di McDonald’s dan potongan jari yang ditemukan di salah satu Burger
King beberapa tahun lalu.

Banyak
jenis franchise yang kedengarannya agak “muluk” mungkin di telinga Indonesia
termasuk: jasa pengecatan tembok rumah dan kantor, jasa penyewaan pembantu
rumah tangga jam-jaman, jasa penitipan anak, dan jasa penurunan hutang (debt reduction consultant). Jasa-jasa
seperti ini sangat mudah diduplikasikan bahkan tanpa sistem franchise sekalipun. Ini jadi salah satu
faktor kegagalan franchisor. Kurang
uniknya suatu ekuitas merek dan sistem merupakan momok.

Lantas
bagaimana sebaiknya kandidat franchisee memandang
franchisor itu? Sebagai mitra alias
partner tempat mendapatkan mentoring dan training, juga sebagai rekan sukses
bersama. Franchisor perlu menunjukkan
kepemimpinan produk, manajemen, sistem, dan pola kerja sama yang bisa
diduplikasikan dan dipertanggungjawabkan.

Akhir
kata, kesiapan suatu bisnis untuk go
franchise
tergantung banyak hal, termasuk kesiapan layanan mentoring dan training, yang sering kali menjadi kendala. Inovasi dan kreativitas
dalam memenangkan kompetisi global juga menjadi tantangan utama franchisor.[]

KONTAN Weekly, 4-10 Maret 2013

Pin It on Pinterest

Share This