Select Page

 Kontan

Download KONTAN Daily Memecahkan Masalah dengan Design Thinking

oleh Jennie S. Bev, Santa Clara

Design thinking (DT) merupakan konsep
yang luar biasa, namun sebenarnya mitos atau realita? Konsep-konsep bisnis
tidak semuanya bisa diterapkan dengan baik dan manis di lapangan. Untuk
membuktikan “kehebatan” konsep ini, The Design Management Institute dan
University of Virginia Darden School of Business mengadakan penelitian untuk
menguji relevansi dan efek dari konsep ini di dalam organisasi-organisasi
bisnis. Selain itu, Batten Institute, suatu pusat studi entrepreneurship dan inovasi di Darden juga turut mensponsori studi
ini. 

Mungkin
di antara para pembaca ada yang sedikit grogi karena merasa tidak punya bakat
artistik apapun, termasuk “visualisasi” berpikir ala desainer. Garis besarnya,
DT merupakan proses berpikir untuk memecahkan masalah yang dipelopori oleh para
desainer yang penuh dengan inovasi dan kreativitas. Dalam penerapan di dalam
bisnis, DT merupakan proses sederhana yang dapat digunakan dalam akselerasi
pertumbuhan organik serta berbagai problem lainnya di bidang sales,
operasional, dan sebagainya. 

Kekuatan
DT yang terbesar adalah membangun proses pemecahan masalah kreatif dengan
menjembatani beberapa proses yang digabungkan, dibentuk, dan didefinisikan
ulang dengan empat pertanyaan utama. Empat pertanyaan yang membentuk suatu
bingkai pemikiran dalam pemecahan masalah adalah: What is? What if? What wows? What works?


What is? Apa saja yang menjadi “inventaris”
hari ini, alias di mana kita berada sekarang. Mencari pengertian akan keadaan
saat ini yang menjadi kekuatan, kelemahan, serta masalah yang perlu dipecahkan.
What if? Menggunakan berbagai
pertanyaan sebagai hipotesis yang perlu dicari jawabannya dengan berbagai cara “di
luar kotak” (out-of-the-box). What wows?
Menemukan titik pertemuan antara kebutuhan stakeholder
dengan kapasitas memenuhi kebutuhan tersebut. What works? Menguji prototype
yang ada dengan pemakaian sebenarnya. 

Dalam
Solving Problems with Design Thinking oleh
Jeanne Liedtka, Andrew King, dan Kevin Bennett dari Columia Business School,
didiskusikan bagaimana DT sangat membantu 10 perusahaan raksasa dunia dalam
memecahkan berbagai masalah. Mereka menjadi case studies dalam sekolah-sekolah
bisnis dan benchmark bagi bisnis-bisnis lainnya.

Salah
satu kekuatan DT termasuk tahap-tahap yang tidak harus berurutan. Berbagai
gabungan instrumen bisa digunakan secara simultan maupun bergantian:
visualisasi, pengembangan konsep dengan assembly,
journey mapping,
pengujian asumsi,
value chain analysis, rapid prototyping, mind mapping, customer co-creation,
brainstorming,
dan learning launch. Bahkan
bagi yang mempunyai learning style
bernarasi, menambahkan unsur penyampaian cerita (story telling) juga telah digunakan di universitas-universitas
internasional.

Dalam
kasus merger dua perusahaan asuransi komersial Australia yaitu Suncorp dan
Promina, aliasi strategik dibangun dengan visualisasi, metafor, dan bernarasi. Gabungan
kedua perusahaan bernilai beberapa ratus USD per tahun profit.

Pendiri
Second Road bernama Tony Golsby-Smith menulis untuk Harvard Business Review,
bahwa di era sekarang yang sudah pasca-Aristoteles dengan “first road”-nya,
bisnis-bisnis bervisi ke masa depan mengadopsi jalur-jalur humanis. Ini bisa
saja merupakan salah satu bentuk realisasi dari pendefinisian kembali
kapitalisme yang lebih lembut dan bersifat “menjaga” daripada “mengeksploitasi.”
Dunia bisnis dan Ilmu Manajemen dari Barat terkenal sarat dengan logika dan
analitiks. Golsby-Smith menawarkan alternatif yang sejalan dengan DT, yaitu
lebih intuitif dan lembut serta bersifat “menjaga” (caretaker).

Beberapa
alternatif yang ditawarkannya antara lain yang diterapkan dalam merger Suncrop
dan Promina: menundang eksekutif dari berbagai tingkatan vertikal dan
horisontal dengan variasi diversifikasi dan spektrum terlepas dari senioritas,
menggantikan agenda dengan berbagai pertanyaaan sehingga terjadi dialog alami, tempat
duduk diubah-ubah sehingga demokratisasi tercipta, dan mencatat dengan seksama
percakapan dan dialog sehingga bisa menjadi knowledgebase
yang baik untuk pemecahan masalah di kemudian hari.

Tentu
diperlukan suatu kerangka yang jelas sehingga dialog tidak menjadi debat kusir
dan bargaining position menjadi
kacau. Dalam merger, kedua belah pihak memang seyogyanya mempunyai kedudukan
yang sama, paling tidak seimbang dengan persentase kepemilikan. Apakah DT dan “second
road” bisa digunakan di Indonesia secara efektif masih menjadi tanda tanya
mengingat kultur patrilinial dan top-bottom. Namun tidak ada salahnya untuk
dicoba sebagai proses pembelajaran. 

Bagi yang
ingin mendalami DT dengan kelas online gratis dari Stanford University, silakan
mengikutinya di sini: http://dschool.stanford.edu/dgift/
[]

KONTAN Daily, Jumat 23 Agustus 2013

Pin It on Pinterest

Share This