Select Page


[Download PDF KONTAN DAILY Membangun Bisnis Baik dan Benar]

oleh Jennie M. Xue

Bagaimana sih cara berbisnis yang baik dan benar? Berbondong-bondonglah para mahasiswa dan mahasiswi belajar bisnis di Sekolah Bisnis dan program-program MBA.

Banyak jalan menuju Roma. Banyak jalan menuju bisnis sukses dan profitable. Namun membangun bisnis yang baik dan benar membutuhkan kesungguhan ekstra dan menggunakan etika dan pola-pola pikir dan komunikasi positif dengan semua stakeholder.

Jauhkan dari niat jahat apapun, baik dalam mengambil pangsa pasar maupun eksekusi manajemen lainnya.

Pengusaha hotel butik di San Francisco bernama Chip Conley di era Great Recession 2008-2011 mendapat pencerahan dari Abraham Maslow mengenai bagaimana bertahan dan tetap bertumbuh dalam segala sikon. Intinya, lebih penting membangun hubungan baik dengan customer dan stakeholder lainnya dibandingkan dengan mengejar profit.

Ketika investor hanya termotivasi oleh profit dan angka-angka kuantitatif, perspektif yang dipakai hanyalah berjangka pendek. Padahal, untuk bertahan dengan longevity yang baik, faktor-faktor kualitatif lebih berperan.

Namun tentu saja faktor kuantitatif merupakan penggerak kasat mata yang tidak mungkin ditinggalkan. Dan penulis tidak menyarankan untuk melupakannya.

Empat faktor kualitatif terpenting dalam membangun bisnis.

Bahagia bekerja.
SDM (sumber daya manusia) adalah sumber daya terpenting. Tanpa manusia yang bekerja dengan baik dan dalam atmosfir positif, hampir mustahil sumber-sumber daya lainnya dapat diolah dan dikelola untuk kepentingan bisnis apapun.

Untuk itu, kultur perusahaan yang penuh kepercayaan dan ketulusan hati sangat menentukan unsur kebahagiaan para pekerja. Bisa dipahami mengapa perusahaan-perusahaan global dan multinasional mempunyai kultur yang positif dan mendukung kemajuan setiap individu pekerja.

Berbagai reward non uang, misalnya pendidikan formal dan berbagai training, dapat diberikan. Juga bertamasya ke berbagai negara dan daerah wisata sangat membangun morale.

Kepuasan pelanggan.
Selain SDM yang bahagia dan positif, kepuasaan pelanggan merupakan kunci longevity suatu bisnis. Hal-hal kecil dapat meningkatkan dan menurunkan kepuasan pelanggan. Misalnya, sedikit ketidaksopanan dalam customer service dapat membuat pelanggan “segan” berhubungan kembali.

Baik produk maupun jasa pelayanan perlu setara dalam kualitas. Ini perlu dijalankan dengan kesadaran bahwa tanpa kepuasan pelanggan, loyalitas akan mustahil dicapai. Tanpa loyalitas, referral dan repeat order tidak akan terjadi. Dan ini langsung mempengaruhi bottom line (profit).

Rasa syukur (gratitude).
Bangunlah produk dan bisnis yang kehadirannya sendiri merupakan berkat bagi pelanggan. Ketika kehadiran tersebut menjadi bagian dari wish list dan doa penuh syukur, bisa dipastikan loyalitas telah tercapai dan posisi branding telah mencapai titik kultus.

Namun, bagaimana cara mewujudkan tiga faktor ini?

Pertama, kesungguhan pemilik dan pemegang saham.
Dalam politik ada istilah “political will.” Dalam bisnis, ini serupa dengan “the investors’ will.”

Kedua, memberi sebagian kontrol kepada pekerja dan pelanggan.
Memiliki sebagian kontrol, seseorang lebih menghargai pekerjaan dan produk. Misalnya, komunikasi dua arah yang dihargai dan masukan-masukan yang diaplikasikan dalam eksekusi.

Ketiga, tulus dan tidak menyembunyikan apapun.
Transparansi merupakan kunci bisnis yang etis. Hindari menyembunyikan atau merekayasa omzet, prosedur, konten, dan sebagainya. Terbukalah dalam berbisnis, sehingga ketulusan dapat dirasakan oleh stakeholder sehingga mereka merasa memiliki dan lebih loyal.

Keempat, menggunakan komunikasi dewasa.
Ini berlaku dalam publisitas maupun pelayanan bagi pelanggan. Sering kali, gaya komunikasi manajemen dan staff customer service terdengar tidak ramah atau meremehkan. Gantilah dengan gaya bicara komunikatif dan dewasa.

Kelima, menginternalisasi nilai-nilai positif produk dan filosofi bisnis.
Nilai-nilai positif yang membangun karakter, gaya hidup etis, dan ramah lingkungan sangat membantu kepercayaan (trust) terhadap perusahaan. Ini bukan sekedar image belaka.

Keenam, membangun hubungan (relationship) baik dengan etika kerja (work ethics) dan tata krama (mannerism) baik secara universal.
Berbicaralah sebagaimana orang dewasa terpelajar. Jaga hubungan baik, etika kerja, dan tata krama sehingga tidak ada yang merasa dikecilkan dan di-bully.

Ketujuh, gunakan kisah narasi (storytelling) yang menginspirasi dan memotivasi berdasarkan kisah nyata.
Narasi punya kekuatan superpower, karena struktur otak manusia memang didesain bekerja baik dengan kisah. Bisa dimengerti di zaman lampau nenek moyang kita mempunyai oral histori yang diwarnai dengan narasi.

Kedelapan, hilangkan praduga (prejudice) dalam setiap ucapan dan aktivitas di dalam dan di luar perusahaan.
Ketika kita berujar, “Dasar pemalas” atau sejenis, praduga dalam bentuk sumpah serapah telah terlontar. Jauhkan ini dari setiap tindakan Anda.

Akhir kata, membangun bisnis yang baik dan benar membutuhkan kesadaran akan etika, praduga, dan relasi dan pikiran positif dengan konsumen dan stakeholder lainnya. Niscaya, growth positif dan longevity dapat tercapai.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 22 Juni 2018

Pin It on Pinterest

Share This