Select Page

pinocchio-450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN WEEKLY Memahami Kebohongan]

oleh Jennie M. Xue

Berhubungan dengan seseorang yang sering berbohong pasti menyebalkan. Dan sering kita jumpai, bahkan anggota tim dan rekan-rekan kerja kita sendiri pun penuh dengan kebohongan. Seseorang dapat dikategorikan secara klinis sebagai “patological liar” apabila memang ia sangat sering berbohong, membentuk identifikasi diri yang bukan dirinya, dan tidak bisa tidak berbohong sama sekali.

Ada saja kebohongannya, dari bohong putih (white lies), bohong sopan (polite lies) hingga bohong yang menipu (criminal lies). Fitnah merupakan salah satu bentuk kebohongan yang menipu (criminal lies). Seorang “patological liar” sangat terbiasa hidup dalam dunia fantasi di dalam benaknya, sehingga ia tidak lagi realistis dan terbuai akan impian.

Sebenarnya, mengapa manusia berbohong? Ya, manusia. Binatang tidak berbohong. Ketika binatang lapar, mereka akan siap menerkam. Ketika binatang terusik keamanannya, mereka akan siap menghancurkan dengan cabikan mematikan. Ketika binatang bersahabat, mereka sungguh tidak bermuka dua.

Sebaliknya, ketika manusia lapar, sering kali ia menunjukkan dirinya sedang kekenyangan, sehingga ia bisa mendekati sumber kekayaan tanpa banyak dicurigai sebagai “kandidat pencuri.” Ketika manusia merasa terusik kemanannya, sering kali ia menunjukkan dirinya “jagoan” alias “jangan macam-macam dengan saya” padahal itu hanyalah “gertak sambal.” Belum lagi seorang sahabat bermuka dua atau lebih.

Kita tidak pernah bisa sungguh-sungguh mengenal orang lain seratus persen. Kita hanya mengenal persepsi kita akan dirinya. Apa yang kita kenal dan rasakan akan seseorang, sebenarnya tergantung bagaimana otak dan pikiran kita bekerja. Bagaimana pengalaman kita di masa lalu membentuk gambaran seseorang di benak kita.

Bagaimana dengan rekan kerja, kolega, anggota tim, bahkan anggota keluarga sendiri yang tampaknya dipenuhi oleh kebohongan? Bagaimana kita menghadapi mereka? Bagaimana agar kita tidak terseret dalam putaran kebohongan mereka?

Pertama, kenali sebenarnya apa “kebohongan” itu. Pada dasarnya, ketika seseorang tidak berkata yang sebenarnya, ia telah berbohong. Ada kebohongan yang bermaksud untuk menipu dan mengelabui. Ada juga kebohongan yang hanya bermasuk untuk tampak “lebih sesuai” daripada realita.

Dengan berbohong, persepsi kita telah dipengaruhi oleh sesuatu yang bukan sebenarnya. Semakin mendasar kebohongan, semakin besar efeknya terhadap kehidupan nyata. Kemampuan kita dalam “mengenali” suatu kebohongan merupakan survival skill yang amat penting.

Kedua, tiga alasan klasik mengapa seseorang berbohong: menghindari rasa malu akan sesuatu yang memalukan, membesar-besarkan kemampuan dan pencapaian, dan menutupi kesalahan. Ketiganya cukup sering dijumpai agar mereka bisa luput dari hukuman, menutupi masalah, dan mengarahkan persepsi sehingga lebih menguntungkan.

Sekalipun tujuan akhir dari suatu kebohongan adalah untuk kebaikan, berbohong jelas bukan cara yang tepat. Karena, setiap kebohongan yang ditimpa oleh lapisan-lapisan kebohongan baru akan menciptakan “gunung kebohongan” yang siap runtuh seketika.

Ketiga, suatu tujuan baik tidak bisa dicapai dengan berbohong (tidak berbicara tentang sebenarnya), betapapun pahitnya. Tujuan baik dapat dicapai dengan memilah-milah tahapan komunikasi sehingga setiap bagian diselesaikan dengan baik.

Honesty is the best policy. Kebenaran pahit jauh lebih baik daripada kebohongan manis.

Dengan kebenaran, hubungan baik akan terjalin. Tentu saja, untuk kebenaran pahit, diperlukan hati yang besar untuk menghargainya. Sebaliknya, kebohongan merupakan jembatan yang sangat rapuh untuk suatu hubungan.

Keempat, kekuatan terbesar dari seseorang yang selalu berbicara sebenarnya adalah integritas yang akurat. Mereka merupakan pilihan pertama dan terakhir ketika orang lain memerlukan cermin yang jernih. Ketika mereka memuji, itu bukan basa-basi. Kritikan mereka juga punya substansi, tidak asal cablak.

Akhir kata, selalu berkata yang sebenarnya merupakan hadiah kita bagi orang lain, karena ini merupakan refleksi kekuatan diri (power) dan kesederhanaan hakiki (simplicity). Tanpa perlu berpura-pura, kita dapat menjalani hidup apa adanya.

Semua nilai yang kita kenal tidak terdistorsi. Juga kita berkomitmen untuk membina hubungan baik jangka panjang, walaupun mungkin sesekali keterbukaan bisa saja menunjukkan realita yang menyakitkan.

Kebohongan merupakan usaha menutup informasi sebenarnya untuk berbagai alasan, baik maupun buruk. Ada berbagai ragam kebohongan, namun sebaiknya dikenali sebagai akar dari berbagai bencana di dunia.

Berbohong bisa menjadi adiksi di mana dunia fantasi lebih berperan daripada dunia sebenarnya. Dan dalam kasus-kasus tertentu, bisa menjadi momok yang mengganggu hubungan baik, status hukum, dan etika bisnis atau kerja. Berbicaralah yang sebenarnya. Sepahit apapun itu untuk hal sekecil apapun.[]

KONTAN WEEKLY, 18-24 Januari 2016

Pin It on Pinterest

Share This