Select Page

hand-450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Daily Melek Kesehatan Mental Psikis]

oleh Jennie M. Xue

Setiap hari kita berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain. Dimulai dari keluarga sendiri, di tempat belajar, hingga di tempat kerja atau berbisnis. Dan Anda pasti melek huruf, melek personal finance, melek teknologi, melek kesehatan, dan melek budaya. Namun, melekkah Anda akan keadaan mental dan psikis?

Apakah rekan kerja dan bawahan Anda sehat secara mental dan psikis sehingga mampu menjalankan aktivitas dengan optimal sehingga mencapai gol secara optimal pula? Tugas setiap manajer termasuk memastikan bahwa timnya sehat secara mental dan psikis. Bukan hanya tugas seorang manajer human resources belaka.

Mengapa melek kesehatan mental dan psikis ini penting?

Pertama, agar kita tidak mudah “menstigma” atau “menghakimi” suatu perilaku yang dimata kita “aneh.” Ini membangun positivitas dalam interaksi, membangun kebersamaan teamwork, dan membangun empati. Dua, agar masalah psikis bisa diatasi dengan tepat dan benar, seperti dengan terapi maupun obat-obatan klinis seperti antidepresan tanpa berlarut-larut. Tiga, supaya individu tersebut tidak terlalu banyak menginterupsi tugas-tugas dan merugikan bottom line alias profit.

Yang penulis maksud di sini adalah kepekaan akan kesehatan mental dan psikis diri sendiri dan orang-orang di sekitar. Anda pasti tahu ketika Anda atau anggota keluarga Anda sehat atau sakit secara fisik. Karena ini sangat kasat mata.

Kesehatan mental dan psikis lebih rumit untuk diamati, karena tidak langsung dapat didiagnosa oleh para ahli sekalipun. Ini memerlukan observasi, karena faktor-faktor resikonya bisa berbentuk fisiologis (kondisi otak dan hormonal), lingkungan (semasa kecil maupun sekarang), kondisi prenatal (ketika di dalam rahim ibu), trauma pencetus (kematian, perceraian, kesulitan finansial), penyakit syaraf (neurologis), penyakit kronis dan terminal, dan adiksi (obat-obatan, rokok, alkohol, seks, dsbnya).

Secara garis besar, kesehatan mental berhubungan dengan rasa bahagia dan motivasi kerja. Sedangkan kesehatan psikis berhubungan dengan ada atau tidaknya kelainan (disorder) dan penyakit (disease) yang mempengaruhi psikis seseorang. Stigma bahwa suatu disorder atau disease adalah “gila” perlu dibuang jauh-jauh.

Salah satu penyakit psikis yang sering diabaikan adalah depresi klinis (clinical depression). Depresi klinis bisa dicetuskan oleh trauma kejadian, seperti kematian, perceraian, dan masalah keuangan. Dan disebabkan oleh ketidakseimbangan kimiawi dan hormon (chemical and hormonal imbalance) di dalam otak yang tersalurkan melalui neurotransmiter. Hubungan antara trauma, ketidakseimbangan kimiawi dan hormon, serta kondisi fisik dan mental juga sangat mempengaruhi.

Ketika seseorang merasa sedih untuk jangka waktu yang lama, lesu, tidak termotivasi bekerja dan berinteraksi secara sosial, maka bisa jadi ia sedang mengalami depresi klinis yang memerlukan intervensi oleh seorang terapis, baik psikolog maupun psikiater. Ia memerlukan bantuan dan empati, bukan dihakimi dan distigma sebagai seseorang yang lemah, tidak berterima kasih, dan berpikiran negatif.

Seorang manajer yang bijak semestinya mampu mengobservasi para anggota tim yang mengalami gangguan kesehatan psikis dan melakukan intervensi seperlunya untuk kepentingan bersama.

Beberapa kondisi (disorder) yang berhubungan dengan perbedaan sistem nilai dan perilaku individu dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain adalah: ADD (attention deficit disorder), ADHD (attention deficit and hyperactivity disorder), dyslexia, narcissistic disorder, bipolar disorder, dan schizophrenia. Empat kondisi pertama termasuk umum dijumpai di dalam masyarakat, termasuk di Indonesia.

ADD dan ADHD ditandai dengan “tidak bisa diam” alias bicara terus, bergerak terus, ganti-ganti topik pembicaraan terus, dan sering berganti pikiran. Banyak hal dilakukannya secara spontan tanpa pertimbangan matang. Bahkan berganti pikiran secara tiba-tiba setelah lama direncanakan. Dalam bisnis dan komunikasi, individu ber-ADD/ADHD cukup mengganggu dan memerlukan terapi profesional.

Dyslexia ditandai dengan kesulitan belajar termasuk membaca. Beberapa tanda lain: sering salah sebut nama orang, nama tempat, tanggal, jam, hari, kanan/kiri, dan “yakin” akan suatu perkataan namun akhirnya “disangkalnya.” Dyslexia mengganggu jalannya pelatihan sehingga individu tersebut tampak seakan-akan “tidak fokus” dan “tidak mau belajar.” Terapi belajar bagi para dyslexia mestinya sangat membantu.

Akhir kata, kenali dengan baik kondisi mental dan psikis kolega dan anggota tim Anda. Optimalkan kesehatan. Maka bisnis berjalan optimal.[]

KONTAN Daily, 30 Oktober 2015

Pin It on Pinterest

Share This