[Download PDF file artikel FMPM September-Oktober 2015 Generasi Milenial oleh Jennie M. Xue]
Generasi Milenial: Berkat atau Kutuk?
oleh Jennie M. Xue
Generasi Milenial (GM) membawa berbagai perubahan mengingat default state mereka yang berbeda daripada generasi-generasi sebelumnya. Ini merupakan berkat dan tantangan (pro and con) tersendiri dalam mengelola talenta mereka (talent management). Dunia telah berubah dan secara cepat sehingga kecanggihan teknologi berlipat ganda dalam sekejap mata. Para GM ini merupakan orang-orang paling tepat yang mampu mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi.
Satu studi kasus. Best Buys adalah peritel barang-barang elektronik dengan 400 lebih cabang di seluruh Amerika Serikat. Mereka dikenal sebagai salah satu pelopor dalam mempekerjakan para GM. Para GM dipekerjakan dari tingkat terbawah hingga manajemen, sehingga kultur korporasi pun kini terbawa arus GM.
Apa ciri-cirinya? Cepat, rileks, independen, serba digital, berani, dan outspoken alias “mengeluarkan isi hati dengan lantang tanpa ragu.” Fenomena ini menempatkan Best Buys sebagai salah satu peritel dan tempat kerja favorit para milenial, mengingat produk-produk elektronik sendiri merupakan salah satu karakteristik GM yang tidak terlepaskan sebagai digital native alias “terlahir dengan berbagai fasilitas digital.”
Dalam artikel ini, akan dibahas lima hal berkenaan dengan pengelolaan talenta GM. Pertama, siapa GM dan psikografi mereka. Kedua, beberapa perbedaan utama antara GM dengan Generasi Baby Boomers (GB)* dan Generasi X (GX)**. Ketiga, karakteristik gaya kerja (working style) dan gaya berkomunikasi (communication style) GM. Keempat, karakteristik gaya memimpin GM (leadership style). Kelima, kunci memimpin GM dengan resistensi minimal.
*Generasi Baby Boomers dilahirkan antara 1946 dan 1964
**Generasi X dilahirkan antara 1964 dan 1980
Satu: Siapa GM dan Psikografi Mereka
Menurut data dari Goldman Sachs Investment Research, di AS sendiri para GM yang lahir antara tahun 1980 dan 2000 menempati urutan pertama dalam segi jumlah yaitu 92 juta orang. Ini jauh melampaui GB yang hanya 77 juta orang dan GX yang hanya 61 juta orang. Menurut data dari CIA Worldbook, komposisi penduduk Indonesia terbesar adalah para GM. Usia rata-rata penduduk Indonesia adalah 28,2 tahun (data tahun 2011) dan ini adalah para GM dengan jumlah sekitar 160an juta jiwa.
GB sebagai generasi terbesar sepanjang sejarah manusia hanyalah mitos. GM-lah generasi terbesar sepanjang sejarah manusia. Dan ini merupakan berkat dan tantangan bagi dunia bisnis yang mengikuti perkembangan kemajuan zaman.
Para GM yang kenal betul dengan resesi dan overpopulation dunia, memilih untuk tidak menikah di usia 20an, namun menundanya hingga “mapan” di usia 30an bahkan bisa jadi hingga di usia 40an kelak. Mereka juga tidak begitu gandrung dengan barang-barang bermerek (branded products) dan mobil. Dalam penampilan, mereka bersahaja ala Mark Zuckerberg yang sehari-hari hanya mengenakan t-shirt abu-abu dan celana jins. Prestasi berbicara lebih lantang daripada menggunakan barang-barang bermerek yang lebih digandrungi oleh GX.
GM juga menunda pembelian rumah sebagai tempat tinggal mereka, mengingat mereka melajang hingga usia 30an. Mereka memilih untuk tinggal di apartemen bersama beberapa orang kawan atau di rumah orang tua untuk menghemat biaya. Mereka tidak perlu ownership, namun hanya memerlukan akses dalam penggunaan. Dengan kata lain, GM melihat fungsi lebih penting daripada kepemilikan.
Dalam spiritualitas, ini merupakan tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan GB dan GX yang mementingkan kepemilikan. GM sangat konfiden bahwa mereka bisa memiliki segala sesuatu pada waktunya, namun mereka sangat realistis untuk hanya mengaksesnya saja ketika dibutuhkan. Mereka menyadari tanggung jawab atas suatu kepemilikan, sedangkan penggunaan lebih utama daripada kepemilikan. Pilihan yang cerdas, bukan?
Mereka juga sangat peka akan harga, sehinga price comparison merupakan salah satu aktivitas penting sebelum berbelanja. Perhatikan situs-situs perbandingan harga ala Priceline dan Trivago. Mereka juga menggunakan beberapa aplikasi iPhone dan Android ala RedLaser dan PriceGrabber yang bisa membandingkan harga secara online dan offline dengan skan SKU harga saja. Namun hanya 34 persen dari mereka yang berusia 18 hingga 35 tahun yang berbelanja atas “saran” teman-teman di media sosial.
Dilahirkan ketika dunia telah mengalami overcrowdedness dan resesi global yang silih berganti, mereka menjadi getol menabung dan berinvestasi saham, sehingga mereka termasuk salah satu generasi yang paling melek secara finansial. Mereka sadar akan sulitnya menimba profit, sehingga mereka kenal betul cara-cara untuk berhemat. Bahkan taksi sharing ala Uber dan gaya akomodasi ala AirBnB melahirkan kembali GM yang bergaya hidup semi-nomadis ala generasi hippy di tahun 1960an dan 1970an. Ya, GM adalah Generasi Hippy teranyar!
Mereka juga sangat intens dalam belajar, sehingga lokasi tempat belajar tidak lagi merupakan halangan. Mereka bisa belajar di mana saja dengan menggunakan aplikasi-aplikasi dan Web-based learning, sehingga universitas-universitas papan atas sekalipun seperti Harvard, Stanford, University of California Berkeley, dan Columbia menyediakan kelas-kelas online dan opensource. What you know is more important than where you study (apa yang Anda tahu lebih penting daripada di mana Anda mempelajarinya) merupakan moto belajar mereka. Ini telah menjadi kebiasaan (habit) sejak masa pra-sekolah dengan berbagai produk belajar digital seperti Leapfrog yang diberikan oleh para orang tua mereka yang GX. Bahkan di AS, gerakan “no college education” sedang digalakkan mengingat besarnya gelembung kredit pinjaman uang kuliah (student loan bubble).
Kepekaan ekstra para GM tidak terbatas dalam hal bekerja, belajar, memilih pekerjaan, dan pilihan-pilihan dalam berbelanja. Mereka juga merupakan generasi yang peka akan pilihan-pilihan hidup yang sehat dan peka akan lingkungan. Mereka kenal dengan makanan-makanan sehat organik dan diet-diet ketat dan 83 persennya anti rokok dan minuman beralkohol. Ini sangat mempengaruhi bagaimana mereka menjalankan hidup, memilih pekerjaan, dan memilih bagaimana menggunakan waktu luang mereka.
Dua: Perbedaan Utama antara GM dengan GB dan GX
Baik Generasi Baby Boomers (GB) maupun Generasi X (GX) memiliki beberapa keunikan tersendiri mengingat latar belakang politik, ekonomi global, dan kondisi-kondisi khusus yang mewarnai cara pandang dan perilaku kedua generasi ini. Beberapa buku tentang GM membahas perbedaan-perbedaan antar generasi ini secara detil: The Millennials, Connecting to America’s Largest Generation oleh Thom S. Rainer dan Jess W. Rainer, Millennials and Management: The Essential Guide to Making It Work at Work oleh Lee Caraher, Marketing to Millennials oleh Jeff Fromm dan Christie Garton, dan Millennials with Kids oleh Jeff Fromm dan Marissa Vidler.
Secara garis besar, GB dikenal sebagai generasi terbesar, paling didiskusikan, dan paling diperdebatkan daya jualnya. GB diingat sebagai generasi yang memperkenalkan celana cutbray dan mobil van VW serta kaum hippy pecinta damai. GB dibesarkan oleh ibu mereka yang berfungsi sebagai ibu rumah tangga dan ayah yang bekerja di kantor. Mereka mempunyai spirit dan etika kerja luar biasa dengan kesetiaan terhadap atasan yang bisa dipuji. Generasi ini percaya bahwa profesi seseorang adalah pilihan sepanjang hayat, sehingga berganti-ganti pekerjaan bukanlah sesuatu yang terpuji.
GX merupakan generasi yang kecil jumlahnya mengingat para GB tidak mempunyai banyak anak, tidak seperti generasi kakek-nenek mereka yang baru selesai PD II sehingga cepat mempunyai bayi dalam jumlah besar (GB). Terminologi “Generation X” dipakai pertama kali dalam novel yang ditulis oleh Douglas Coupland. GX dikenal dengan etika kerja yang biasa-biasa saja, namun sama-sama pekerja keras sebagaimana didikan orang tua mereka (GB). Namun para GX dikenal lebih pesimistis mengingat mereka mengalami fase resesi ekonomi ketika baru mulai meniti karir.
Perbedaan cara pandang akan dunia di sekitar sangat mempengaruhi bagaimana seseorang atau suatu generasi memandang pekerjaan dan etika kerja. GB, GX, dan GM memiliki gaya tersendiri dalam menjalani hidup dan bekerja, sehingga bagaimana perusahaan memperlakukan mereka pun akan ditanggapi secara berbeda. Idealnya, setiap perusahaan melek akan keunikan setiap generasi yang masih dalam usia produktif yaitu GX dan GM. Beberapa individu GB masih aktif bekerja di C-level dan ini memberi warna tersendiri dalam interaksi dinamika.
Tantangan bagi Divisi HR perusahaan adalah mengenali keunikan dan kelebihan setiap generasi untuk digunakan sebagai point of reference, namun bukan untuk mengeneralisasikan setiap individu. Generalisasi berdasarkan generasi maupun elemen-elemen lain bukanlah pilihan dalam pertimbangan pengambilan keputusan. Kenali bahwa setiap keputusan memerlukan point of reference.
Tiga: Karakteristik Gaya Kerja dan Gaya Berkomunikasi GM
Sebelum terminologi “Generasi Milenial” (GM) populer, Thom S. Rainer penulis The Millennials: Connecting to America’s Largest Generation pernah menamakan generasi ini sebagai generasi: builders, boomers, busters, dan bridgers. Dari keempat nama tersebut, “bridgers” merupakan favoritnya, namun akhirnya “Milenial” merupakan pilihan yang paling banyak digunakan.
Istilah “Generasi Milenial” paling sesuai mengingat generasi ini bukanlah semata-mata generasi penghubung Generasi X dengan generasi setelahnya. Juga bukan generasi “baby boomers yang baru.” GX merupakan generasi yang memang sangat dekat dengan teknologi, namun ini bukanlah satu-satunya faktor pembeda dan penentu. “Milenial” terdengar netral dan tidak memihak maupun merupakan kontinuasi generasi-generasi sebelumnya. “Milenial” membawa keunikan tersendiri yang mengagumkan.
Dibandingkan dengan dua generasi sebelumnya (GB dan GX), GM merupakan generasi yang bersifat positif dan percaya diri. Mereka tumbuh kembang ketika dunia marak dengan berbagai ajaran “berpikir positif” dari para motivator dan para psikolog positif. Pendidikan para GM jauh lebih berorientasi positivitas dan harapan daripada sekedar berorientasi hukuman belaka.
Enam puluh persen dari para GM percaya bahwa mereka dapat membawa perubahan positif terhadap dunia dan 88 persen dari mereka percaya bahwa orang tua mereka membawa pengaruh positif terhadap mereka. Para GM mempunyai relasi personal yang baik dengan orang lain, baik melalui teknologi maupun secara tatap muka. Aura positif dan keceriaan mereka merupakan faktor pembeda.
Optimisme para GM tampak dari keberanian mereka dalam mengambil keputusan, termasuk dengan target-target mereka. Kepekaan mereka akan lingkungan hidup mauapun lingkungan sosial-politik membuat mereka lebih dewasa dalam memandang keberadaan mereka secara holistik. “Berbicara tentang hal-hal besar” tidak merupakan hal yang tabu bagi mereka, karena mereka tahu persis bahwa dengan satu prestasi yang diakui secara internasional, misalnya, mereka dapat menjangkau seluruh dunia melalui Internet.
Tentu saja, dengan “modal” kepercayaan diri akan kemampuan mereka, para GM berharap untuk didengarkan oleh siapapun, terlepas dari senioritas mereka. Dalam lingkungan kerja, merit alias “pencapaian” jauh lebih penting daripada serioritas. Dibesarkan dengan Twitter, blog, dan media sosial lain yang memungkinkan mereka berdiskusi terbuka dengan para selebriti, pakar, dan pemimpin dunia, para GM sangat terbuka dalam bertukar pikiran dan sangat menyanjung transparansi data dan proses.
Empat: Karakteristik Gaya Memimpin GM
Gaya feudal dalam manajemen sangat tidak sesuai dengan gaya para GM yang kasual, cerdas, transparan, dialektik, dan fleksibel. Bayangkan para GM ini bak para hipster yang bergaya hippy dengan menjinjing Macbook, iPad, iPhone, dan Apple Watch mereka ke mana-mana. Mereka bergaya rileks namun kompeten dengan spesialisasi mereka. Tentu saja di sini penulis mengambil skenario positif dan optimal, dan ini bukanlah generalisasi belaka.
Bisa dibayangkan gaya kepemimpinan para GM. Mereka tidak ragu mengerjakan apa-apa sendiri, termasuk mengerjakan hal-hal yang kelihatannya “sepele” namun menentukan arah bisnis. Mungkin di Indonesia bisa dibayangkan bagaimana Presiden Jokowi dan Gubernur Ahok rajin melakukan inspeksi mendadak baik secara langsung maupun secara virtual. Walaupun kedua pemimpin besar Indonesia ini bukan berasal dari GM, mereka adalah GX yang bergaya kepemimpinan GM. Dan ini sangat sesuai dengan karakteristik GM yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia.
Para GM sejak kecil telah dikondisikan untuk percaya bahwa kehadiran mereka dapat memperbaiki dunia, sehingga mereka berharap dan bertindak untuk mencapai titik filosofis ini. Walaupun ini mungkin terdengar agak “tinggi” di telinga para GB dan GX, para GM hidup di dunia yang telah jauh berbeda. I want to make a difference. Ini adalah moto mereka. Sebagai pemimpin, mereka pastikan bahwa kehadiran mereka membawa manfaat positif bagi institusi dan dunia.
Beberapa buku yang sangat baik dalam menggambarkan kepemimpinan GM: The Story of Purpose oleh Joey Reiman, It’s Not What You Sell, It’s What You Stand For oleh Roy M. Spence Jr, dan Start with Why oleh Simon Sinek. Penulis ingat salah satu seminar yang diadakan oleh Simon Sinek beberapa waktu lalu. Di sana, Sinek menekankan pentingnya nilai-nilai dari suatu produk dan perusahaan. GM membeli nilai-nilai positif yang terefleksikan oleh produk, bukan hanya fitur-fitur belaka. Contohnya adalah Apple yang memproyeksikan nilai “berani menjadi berbeda” yang disampaikan dalam iklan bertema “the misfit.”
Kepemimpinan GM membawa nilai-nilai perubahan bagi kemanusiaan. Hal ini telah lama disadari para GM sejak dini yang dimulai dengan komunikasi intergenerasional dan intergeografis secara online di media-media sosial dan berbagai blog. Pemimpin GM percaya diri dalam mengutarakan pikiran-pikiran dan ide-ide mereka kepada siapapun. Bahkan mereka mengidentikkan produk dan perusahaan dengan nilai-nilai ideal. Everything must have a purpose. Segala sesuatu perlu memiliki tujuan.
Para pemimpin GM juga memiliki kepekaan akan detil dan mereka perlu di-update secara otomatis, mengingat kemampuan aplikasi-aplikasi smartphone dan komputer kini sudah sangat memungkinkan. Mereka memang berpikir global namun mereka menghargai transparansi real-time yang automated. Para anggota tim perlu menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu dimonitor. Efisiensi seperti ini merupakan default state para pemimpin GM pada umumnya.
Gaya kepemimpinan demokratis telah mendarah-daging di dalam diri para GM. Mereka telah terbiasa berpartisipasi langsung secara real-time dalam proses pengambilan keputusan. Mereka juga sangat peka akan keadaan sosial, politik, dan ekonomi serta pernah mengambil bagian secara langsung dengan berbagai sarana survei, polling, dan petisi online yang tersebar di dunia maya. Dalam dunia nyata, kebiasaan ini mereka bawa.
Lima: Kunci Memimpin GM dengan Resistensi Minimal
Generasi GM adalah generasi yang paling demokratis, sehingga transparansi data, proses, dan pengambilan keputusan merupakan kunci untuk bekerja sama dengan baik. Menghargai keunikan mereka dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai brainstorming, meeting, dan proses pengambilan keputusan akan membesarkan hati mereka dan membuat mereka merasa dihargai sepantasnya. Ini saja merupakan pemicu semangat dan etos kerja yang luar biasa.
Rendahnya jam terbang kerja para GM bukan berarti mereka bodoh, tidak tahu apa-apa, dan tidak punya ide jenial. Sesungguhnya, mengingat mereka dilahirkan dan dibesarkan di era yang sama sekali berbeda dari GB dan GX saja mampu membuahkan input berharga bagi manajemen. Sertakan para GM berprestasi dalam proses pengambilan keputusan penting. Dan ingat untuk meng-update dan follow-up perjalanan proses tersebut hingga di garis finish.
Dalam “membimbing” para GM, pastikan Anda gunakan metode-metode demokratis pula tanpa ada unsur mem-bully sama sekali. Kultur Indonesia yang mendewakan senioritas dan usia matang merupakan lawan dari kultur kerja GM yang mendewakan merit dan prestasi serta kemampuan kerja yang terukur. Idealnya, manajemen membuka pintu bagi para GM untuk memberi masukan kapan saja dan tentang apa saja. Dukung mereka untuk berkreasi, berinovasi, dan berpendapat secara demokratis. Gunakan prinsip-prinsip mentoring yang konstruktif, bukan menggurui apalagi “mendidik ala anak-anak.”
Feudalisme sangat tidak disukai oleh para GM yang terbiasa demokratis di dunia maya dengan para tokoh dunia yang mempunyai online presence. Siapapun sama kedudukannya di mata mereka. Maka jujurlah terhadap para GM, bersikap dewasa dan terbuka. Kerja sama tim perlu dibangun dengan melibatkan mereka sejak awal.
Zappos yang kini telah diakuisisi oleh Amazon sangat peka akan hal ini, sehingga mereka melibatkan tim dalam proses hiring. Zappos memastikan bahwa para GM yang dipekerjakan memiliki nilai-nilai yang sama dan mampu bekerja sama secara demokratis. Mereka memberikan “pesangon” sebesar USD 3000 bagi para pekerja baru untuk mengundurkan diri dalam empat minggu apabila ia merasa tidak kerasan.
Salah satu standar operasi di AS yang mulai banyak digunakan oleh para HR recruiter adalah penggunaan tes psikologi MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) yang pertama kali dicetuskan oleh Carl G. Jung, di mana ada 16 tipe kepribadian dengan variabel: E-I (Extraversion-Introversion), S-I (Sensing-Intuition), T-F (Thinking-Feeling), dan J-P (Judging-Perceiving). (Referensi: MyersBriggs.org)
Para GM mengenali berbagai metode yang mampu menempatkan talenta-talenta mereka di tempat yang sepantasnya dan mereka sangat menghargai tes-tes macam MBTI yang terukur dan cermat. Di salah satu PR firm ternama di AS, misalnya, ternyata dijumpai lebih dari 50 persen pekerja mempunyai kepribadian introvert. Ini berlawanan dengan “stereotype” bahwa para public relations merupakan pekerjaan para extrovert yang gemar bersosialisasi.
Ternyata, para GM yang introvert merupakan tulang punggung perusahaan-perusahaan yang mengutamakan “berpikir” dan “berstrategi” sebagaimana dalam kampanye-kampanye PR dan pemasaran. Para GM yang introvert berpikir dulu baru berbicara, sehingga ideal untuk posisi-posisi inti. Sedangkan para extrovert mempunyai ciri khas berbicara dulu baru berpikir.
Satu perbedaan utama para introvert dari para ekstrovert adalah para introvert bekerja lebih baik dalam situasi yang tenang dan independen karena energi kerja mereka berasal dari dalam diri. Ini merupakan bentuk “sumber” energi yang lebih umum di antara para GM yang memang sejak kecil telah terbiasa hidup di muka layar monitor untuk berpikir, bermain, dan berstrategi.
Intinya, memimpin para GM memerlukan “bekal” tersendiri. Para GM sangat berbeda dari GB dan GX, di mana mereka telah lama menemukan di dalam diri mereka bahwa dunia ini ekual dan independensi merupakan sesuatu yang inheren. Mereka kenal betul demokratisasi dunia dan merit berbicara lebih nyaring daripada senioritas. Minimalkan dan eliminasikan penggunaan cara-cara feudal dalam berorganisasi.
Penutup
Anda perlu “menjual” perusahaan sebagai tempat kerja ideal bagi para GM, sehingga para GM dengan kualitas dan kemampuan luar biasa mendekat dengan antusias. Terlepas dari butuhnya mereka akan pekerjaan, para GM mempunyai mindset luar biasa dengan kepercayaan diri yang jauh melampaui beberapa generasi sebelumnya.
Mereka bisa memilih untuk bekerja dari rumah via Internet, mengingat demikian melimpahnya kesempatan-kesempatan tersebut tanpa hambatan geografis sama sekali. Abad 21 adalah abad “free agent” alias “agen bebas.” Berbagai bentuk pekerjaan independen sebagai freelancer dan penerima outsourcing dari negara lain dimungkinkan dengan pasar tenaga kerja via Internet. Jadi, bekerja secara 9-to-5 lebih merupakan bentuk aktualisasi diri daripada semata-mata untuk mencari uang.
Mereka telah terbiasa dengan overpopulation dunia dan digitalisasi yang personal. Mereka telah terbiasa dengan bekerja secara independen di dunia maya. Dunia nyata dan dunia maya (Internet) berbaur menjadi satu dan tanpa batas. Tanpa tawaran yang luar biasa menarik bagi para GM, perusahaan-perusahaan bisa saja mengalami kekurangan tenaga kerja sehingga tetap mempekerjakan para GX.
Mereka bukanlah generasi “manja” namun mereka merupakan generasi digital pertama yang telah sadar akan luasnya dunia sejak mereka dilahirkan. Mereka kenal akan berbagai kesempatan di luar sana hanya dengan menonton Youtube atau mem-follow para thought leader di Twitter, misalnya. Jadi, perusahaan-perusahaan yang ingin mempekerjakan para GM secara langsung bersaing dengan kesempatan-kesempatan emas di luar negeri dan di ranah online. Mobilitas GM tidak hanya vertikal, namun juga horisontal tanpa batas. Dunia telah rata dengan hadirnya Internet.
Jadi, HR perusahaan-perusahaan brick-and-mortar seperti perusahaan Anda, sebaiknya menyadari hal ini dan berlomba-lomba dalam memberikan insentif dan fasilitas ekstra yang tidak mereka dapatkan di tempat lain. Kembangkan “pemasaran posisi pekerjaan 9-to-5” untuk menjaring para GM terbaik di bidangnya. Anda perlu membekali diri dalam mengenali, menyelami, dan menerapkan apa yang menarik bagi para GM dengan talenta-talenta luar biasa.
Berikan keleluasaan bagi GM untuk berkarya secara kreatif dan inovatif. Berikan kesempatan berbicara secara demokratis kepada GM. Gunakan positive reinforcement dan reward daripada celaan-celaan negatif dan hukuman. Tawarkan lingkungan kerja yang kondusif, penuh respek, dan penuh gairah bagi para GM. Mereka adalah generasi yang peka dan independen, maka tangani mereka dengan positivitas dan suasana gembira. Sebagaimana Tony Hsieh pendiri Zappos membangun “happiness culture,” Anda pun perlu membangun kultur serupa untuk menarik para GM terbaik sehingga mereka memberikan yang terbaik bagi perusahaan Anda.[]
Forum Manajemen Prasetiya Mulya, September – Oktober 2015