Select Page

Kontan Logo

KONTAN Weekly Lokasi dalam Dunia Virtual

oleh Jennie M. Xue

Di Amerika Serikat, omzet perdagangan per tahun di dunia nyata sekitar USD 19 trilyun. Di dunia maya, sekitar USD 5,5 trilyun. Kenaikan e-commerce selama satu dekade terakhir mencapai 125 persent dengan empat sektor utama yang mengalami kenaikan melebihi 220 persen yaitu: manufacturing, wholesale, retail, dan jasa. Yang menarik untuk disimak adalah fakta bahwa dunia maya Internet ternyata sangat dipengaruhi oleh dunia nyata.

Korelasi dua dunia ini tidak sebagaimana yang kita kenal di dunia nyata. Namun sangat besar dan patut untuk dicatat dengan baik. Premisnya: dua orang yang hidup dalam situasi dan lingkungan yang berbeda menggunakan Internet dengan berbeda, walaupun variabel demografi umumnya seperti usia, pendapatan, pendidikan dan lain-lainnya hampir sama.

Mungkin Anda masih ingat tentang Hukum Gravitasi Ritel Reilly yang bunyinya kurang lebih begini: Tempat berbelanja pilihan Anda tergantung dari populasi relatif dan jarak relatif antara dua titik belanja. Hukum ini ternyata juga berlaku di dunia virtual.

Namun perlu diingat bahwa banyak variabel yang menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu bisnis virtual. Hukum Gravital Ritel Reilly ini hanya menjawab sebagian dari teka-teki saja.

David R. Bell professor di Wharton School of the University of Pennsylvania telah melakukan riset yang menjawab bagaimana korelasi lokasi, populasi dengan bisnis online (e-commerce) dalam bukunya Location is (Still) Everything. Studi ini dilakukan dengan data set yang diambil dari ribuan kode pos di AS dan jutaan transaksi online yang menjual produk-produk kasat mata (tangible).

Ada enam prinsip yang bisa didistilasikan. Satu, lokasi geografis menentukan seberapa penting Internet dalam hidup seorang konsumen. Dua, banyaknya pilihan produk yang disebabkan oleh ukuran kota dalam skala perdagangan. Tiga, keaktifan komunitas yang memberikan masukan akan sesuatu, termasuk produk.

Empat, kedekatan dan persamaan kultural. Lima, isolasi dan kelangkaan kesukaan dalam suatu komunitas. Enam, kapital sosial dan topografi. Yang dimaksud dengan “kapital sosial” adalah kedekatan psikis dan rasa saling percaya. Yang dimaksud dengan “topografi”, seperti pajak penjualan (VAT) yang dikenakan, waktu deliveri, dan lingkungan shopping di sekitar.

Satu kasus menarik adalah Diapers.com yang didirikan di tahun 2005 dan telah dibeli oleh Amazon sebesar USD 545 juta. Para pelanggan online retailer penjual popok bayi ini sangat ditentukan oleh lokasi tempat tinggal mereka. Ternyata penjual produk sehari-hari tampaknya digemari oleh mereka yang bertempat tinggal agak jauh dari pusat perbelanjaan alias sulit mencapai tempat-tempat shopping.

Di Jakarta yang luar biasa macetnya, bisa sangat dimengerti mengapa toko serba ada online seperti Sukamart.com mulai diminati. Ketidaknyamanan konsumen dalam berkendara membuat sulit bepergian. Ini membuka peluang untuk usaha-usaha online. Bahkan ada jasa ojek “elit” yang mengantarkan barang pesanan dalam sekejap.

Alfamart, Indomart, dan Seven-Eleven yang menjamur di mana-mana merupakan bukti dari pentingnya “lokasi.” Walaupun mereka bukanlah online retailer, konsep “lokasi” alias mudahnya dijangkau dan keberadaan di dalam suatu komunitas merupakan kunci keberhasilan mereka.

Mengenai “kapital sosial,” suatu komunitas akan semakin tinggi nilai kapitalnya apabila dihuni oleh para pemilik rumah. Bukan oleh para penyewa. Dan ini memberikan suatu poin tersendiri dalam klaster pembeli produk online. Dari sudut pandang perilaku konsumen, para penghuni yang juga pemilik rumah mempunyai karakter sosial yang bisa lebih dipercaya mengenai advis-advis pembelanjaan.

Konsep “lokasi” selalu berkaitan dengan demografi, kapital sosial, dan topografi. Dan dengan semakin padatnya penduduk Indonesia serta kurang baiknya infrastruktur jalan bisa membuka jalan bagi online retailer.[]

KONTAN Weekly, 14-20 Juli 2014

Pin It on Pinterest

Share This