oleh Jennie S. Bev
Tragedi Mei 1998 telah berlalu 15 tahun. Era Reformasi juga telah berjalan
15 tahun. Banyak tanda tanya yang masih belum terjawab. Apa yang sesungguhnya
menyebabkan terjadinya tragedi yang menghancurkan demikian banyak tubuh, jiwa,
harta benda, dan kepercayaan terhadap pemerintah? Tidak pernah akan ada jawaban
yang komprehensif, mengingat setiap hipotesis terkait erat dengan variabel-variabel
lainnya.
Beberapa hipotesis penyebab Tragedi Mei 1998 antara lain: pergumulan kekuasaan
para jendral, derita ekonomi yang disebabkan oleh Krisis Ekonomi Asia 1997 dan
kesemrawutan sistem perbankan nasional, kecemburuan sosial terhadap etnis
tertentu yang disebabkan oleh pluralisme eksklusif, keberhasilan Orde Baru
dalam memecah-belahkan elemen-elemen masyarakat, kegagalan proses nation building, serta konspirasi elit
dengan menciptakan suasana teror sehingga rezim tertentu bisa membuktikan
kembali kegagahannya. Tidak ada satu pun hipotesis ini berhasil memberikan
jawaban yang komprehensif.
Sekarang mari kita perhatikan tiga variabel lain yang juga bermain dalam
pembentukan kondisi sosial sehingga cukup rentan sehingga tragedi-tragedi
semacam Tragedi Mei 1998 bisa dan masih berpotensi untuk terjadi: ledakan
jumlah penduduk Indonesia di dalam struktur masyarakat yang rentan akan
kebencian dan konflik, kerangka “teori bandit” dalam masyarakat dan
elemen-elemen pemerintah, dan semakin tingginya angka kekerasan sebagai
konsekuensi dari ledakan penduduk dunia dan kompleksitas modernisasi.
Masyarakat Indonesia begitu majemuk dan berpotensi menyebabkan kericuhan,
konflik dan kekerasan berskala masif. Begitu pula aparat pemerintah yang sudah
lama menghina rasa keadilan rakyat dengan berbagai konflik etnis, agama dan
status ekonomi.
Ditambah lagi ekplosi angka kelahiran yang sangat tinggi. Dari 1000
penduduk per tahun lahir 17 hingga 20 bayi. Angka kelahiran 2,5 persen per
tahun bermuara kepada kelahiran 3,5 hingga 4,5 juta bayi. Angka ini hampir identik
dengan jumlah penduduk Singapura. Luar biasa, bukan? Bayangkan saja berapa
banyak sampah yang bertambah setiap tahun dan tekanan terhadap alam mengingat
semakin besar kebutuhan hidup.
Kapasitas dalam menelurkan good
governance pemerintah seringkali juga diragukan. Kemampuan ini perlu
diimbangi dengan kemampuan menjalankan dan menerapkan hukum dengan baik serta menjalankan
inteligensi yang memadai sehingga angka kriminalitas dan angka kekerasan bisa
menurun. Sayangnya, sampai sekarang belum juga memadai, mengingat setiap tahun
bertambah beberapa juta orang yang perlu diperhitungkan pula.
Kemampuan pemerintah dalam meredam imbas-imbas negatif dari ledakan
populasi sampai saat ini masih diragukan. Masyarakat Indonesia sendiri masih
berkarakter “bandit,” yang memperparah keadaan. Teori bandit mengenal dua tipe
bandit: roving bandit (bandit berpindah) dan stationary bandit (bandit
menetap), menurut Mancur Olson di Dictatorship,
Democracy and Development.
“Bandit berpindah” bagaikan anak buah Genghis Khan mengambil apapun yang
melintas dan menghancurkan sumber daya dengan tidak mempertimbangkan
akibat-akibat jangka panjang. Para penguras kekayaan alam di Kalimantan,
misalnya, termasuk golongan ini. “Bandit menetap” biasanya mengambil keuntungan
dengan menelurkan hukum, regulasi dan kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak
tertentu tanpa mengindahkan kerugian publik dan akibat buruk jangka panjang. Para
legislator dengan senjata pembentukan regulasi dan kebijakan termasuk kategori
ini.
Dua buku tentang teori bandit dalam Bahasa Indonesia ditulis dan telah
diterbitkan oleh dua profesor Universitas Indonesia Didik J. Rachbini dan
almarhum I. Wibowo. Kultur korupsi kronis juga merupakan salah satu bukti dari
fenomena kerangka bandit tersebut, seperti yang ditulis oleh almarhum profesor
Universiti Malaya Syed Hussein Alatas dalam The
Sociology of Corruption.
Variabel ketiga yang jarang dibahas ini berlingkup makro. Indonesia sebagai
bagian dari konstelasi dunia internasional, tidak bisa terlepas dari berbagai
unsur masyarakat global modern. Kekerasan publik semakin merajalela dengan
semakin terkurasnya sumber daya alam dan friksi antar individu dan antar
kepentingan. Kekerasan masal terjadi di mana-mana terlepas dari tingkat
kemajuan ekonomi, sosial dan politik.
Dengan tujuh miliar penduduk dunia yang 53 persen-nya bermukim di kota-kota
urban, tekanan terhadap alam juga bertambah. Dalam skala global yang dimulai
dari kerusakan-kerusakan lokal, setiap titik kerusakan mempunyai imbas terhadap
titik-titik di tempat-tempat lain. Ideologi dan agama juga seringkali digunakan
untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Kombinasi
variabel-variabel ini mempertinggi angka kerusakan fisik, psikis dan materiil.
Masyarakat modern global dan masyarakat Indonesia saling terkait dan
tersulam dengan benang-benang tidak kasat mata. Kesadaran untuk melihat dengan
jernih penyebab berbagai masalah yang bermuara kepada kekerasan perlu
ditingkatkan. Di abad ke-21 ini, melihat sesuatu sudah tidak bisa lagi
dilakukan dengan sepasang mata belaka, namun sangat urgen untuk dilakukan
dengan mata pikiran.
Tragedi Mei 1998 sudah lama berlalu dan kita sudah berpaling ke hal-hal
yang lebih urgen. Namun pelajaran dari tragedi ini tetaplah disimpan di dalam
benak dan hati. Perhatikanlah variabel-variabel yang berpotensi sebagai pemicu
kejadian serupa. Ubahlah dengan kesadaran, selagi masih belum terlambat.[]
Koran Tempo, 14 Mei 2013