Image Source: WorkingWithGrace.Wordpress.com
[Download PDF KONTAN DAILY Legenda dan Strategi Bisnis Hermes]
oleh Jennie M. Xue
Bicara tentang Hermes bukan hanya bicara tentang tas Birkin pujaan para aristokrat Eropa dan sosialita. Sisi yang menakjubkan dari bisnis merek-merek luks tidak pernah terlepas penetrasi dan resiliensi merek yang abadi. Demikian juga Hermes.
Produk-produk luks tidak mengikuti teori Supply and Demand secara kaku. Permintaan dan suplai termasuk kecil jika dibandingkan dengan produk-produk konsumsi sehari-hari, namun bisnis tetap berkembang.
Bukankah semestinya jikalau permintaan tidak terlalu tinggi, harga jual semestinya rendah? Dan ketika merek-merek luks ditingkatkan produksinya, bukankah semestinya harga menurun?
Kuncinya berada di nilai absolut sejarah produk dan nilai magis akan “prestasi” kepemilikan produk. Ini merupakan nilai lebih produk-produk luks yang tidak dimiliki oleh produk-produk lain. Dengan nilai absolut dan nilai magis, maka harga tidak jadi elastis lagi (price insensitive), sehingga produsen dapat memberi harga berapa saja.
Uniknya, untuk produk-produk luks, semakin tinggi harga retail, semakin banyak pembeli yang mencari status dan “prestasi.”
Di tahun 2015, majalah Forbes memberi Hermes International ranking ke-22 untuk perusahaan paling inovatif di dunia, ranking ke-51 untuk merek paling berharga di dunia, dan ranking ke-890 untuk 2000 perusahaan terbaik di dunia. Terhitung Mei 2015, market cap Hermes International mencapai USD 38,6 miliar dengan omzet USD 5,4 miliar.
Membeli produk Hermes berarti membeli sepotong sejarah tentang para aristokrat Eropa. Hermès International S.A., Hermes of Paris, atau Hermès didirikan di tahun 1837 sebagai penerima pesanan sadel dan perlengkapan berkuda para bangsawan Eropa. Terhitung tahun 1950, logonya adalah kereta kuda.
Selain itu, produk-produk luks merupakan duta kesenian dengan kualitas yang melampaui kebutuhan pemakai. Dengan kata lain, sebuah aksesoris luks mempunyai nilai seni dan kualitas yang mendekati abadi sebagaimana benda-benda antik di museum.
Biasanya, dengan kehadiran fashion designer dan creative director yang mempunyai aura sebagai ikon kultur internasional, suatu merek luks semakin dihargai sebagai puncak barang seni yang dapat dipakai. Beberapa designer kondang yang pernah bekerja untuk Hermes termasuk: Lola Prusac, Jacques Delahaye, Catherine de Karolyi, Monsieur Levaillant, Nicole de Vesian, Eric Bergère, Claude Brouet, Tan Giudicelli, Marc Audibet, Mariot Chane, Martin Margiela, Jean Paul Gaultier, Christophe Lemaire, Véronique Nichanian, dan Nadège Vanhee-Cybulski.
Sebagai business model, merek-merek luks mempunyai strategi yang “terbalik” dari produk-produk umumnya, demikian menurut Jean-Noel Kapferer dalam bukunya berjudul Kapferer on Luxury.
Pertama, produksi biasanya dilakukan di tempat asal pertama kali berdirinya perusahaan agar kualitas dapat dikontrol dengan sangat ketat. Namun ada beberapa merek yang telah mulai “berani” melakukan delokalisasi seperti meng-outsource produksi ke China.
Kedua, produk-produk luks tidak diiklankan secara masal namun semata-mata untuk mengingatkan konsumen akan “impian” kepemilikan. Pemasangan iklan dan penggunaan brand ambassador sangat selektif agar “impian” tidak terobral. Publisitas terjadi secara organik maupun dengan product placement yang halus.
Mobil Aston Martin yang hanya sedikit unit produksinya, misalnya, tidak pernah diiklankan secara umum. Namun pernah muncul dalam film James Bond. Tas Hermes yang dijuluki “Kelly Bag” dipopulerkan oleh foto-foto Putri Grace Kelly dari Monaco yang menutupi perut hamilnya dengan tas tersebut. Tas itu cukup baik untuk seorang Putri Eropa.
Ketiga, kontrol distribusi sangat ketat. Produk-produk luks hanya dijual di butik-butik khusus mereka di mal-mal premium dalam jumlah tertentu pula. Bahkan Oprah Winfrey pernah ditolak membeli sebuah tas luks di sebuah butik di Eropa, karena staf penjual tidak mengenalnya.
Keempat, lisensi produk sangat dibatasi. Di tahun 1998 hingga 2008, Ralph Lauren mengalami penurunan drastis dalam retail produk-produk berlisensi. Sejak itu, pemilik merek-merek luks tidak lagi memberikan lisensi kepada pihak lain agar jumlah dan kualitas produk dapat dikontrol secara ketat.
Di tahun 1990an, Hermes mengurangi butik-butik berlisensi dari 250 ke 200 dan meningkatkan butik-butik milik perusahaan dari 60 ke 100. Dengan kapital 500 Francs, Hermes membenahi butik-butik mereka dan membuka butik pertama di China di tahun 1996.
Kelima, membangun hubungan ultra personal dengan konsumen melalui servis yang luar biasa personal dengan presentasi teaterikal. Tatanan jendela toko Louis Vuitton, misalnya, sarat dengan unsur-unsur kesenian dan keindahan klasik nan abadi museum. Toko LV di Marina Bay Sands, misalnya, bertema dan berbentuk museum dua lantai yang berbentuk piramida kaca ala Museum de Louvre di Paris.
Keenam, mempertahankan kelangkaan (scarcity) dengan jumlah produksi terbatas dan harga yang tinggi. Baik secara organik maupun dengan program “limited edition,” kelangkaan bisa dipertahankan. “Artificial value” atau kelangkaan artifisial bisa dibangun dengan launching terbatas.
Hermes International telah berusia 137 tahun dan tampaknya masih akan hadir mewarnai dunia dengan aura absolutisme dan magisnya 137 tahun lagi. Dengan mengenali strategi bisnis mereka, semoga kita semakin terinspirasi dalam melegendakan produk-produk kita.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 7 Oktober 2016