Select Page

Kontan 

Download KONTAN Daily Kultur Kolaboratif

oleh Jennie M. Xue

Deborah Pruitt adalah seorang antropolog dengan PhD dari University of Californiat at Berkeley. Sebagai seorang mantan eksekutif di bidang pemasaran untuk sebuah perusahaan elektronik, ia pernah mengalami politik kantor dan mismanajemen yang tipikal. Dengan Ilmu Antropologi-nya, ia berhasil memahami dengan baik bahwa keberhasilan suatu grup membutuhkan kultur kolaboratif.

Apa saja yang dimaksud dengan “kultur kolaboratif”? Mengapa kultur ini jauh lebih penting daripada sekedar seorang pemimpin yang karismatik dan kerja sama yang suportif?

“Kultur kolaboratif” berporos pada anyaman unsur-unsur yang membentuk dan membangun grup. Jadi keputusan bukanlah dibentuk di atas untuk diterapkan di bawah. Bukan top-down yang kaku dan mengintimidasi. Kultur sendiri merupakan domain dan kerangka di mana setiap individu bisa menentukan sikap dan keputusan yang akan diambil.

Pada dasarnya, sekelompok individu yang sering bertemu dan berinteraksi satu sama lain akan membentuk “kultur” tersendiri. Yang penting bagi suatu grup adalah kultur yang mendorong tercapainya target-target dan misi yang diharapkan dari awal. Sudah menjadi “rahasia umum” bahwa kultur mainstream Indonesia sering kali kurang memperhatikan pentingnya “kultur per grup” yang sangat menentukan keberhasilan kolektif. 

Dengan kata lain, sering kali kultur di dalam grup hanya merupakan bentuk mini dari kultur mainstream yang dikenal setiap anggota. Misalnya, dengan kebiasaan menyontek sejak di bangku SD, bisa saja ini terbawa di tempat kerja, sehingga tugas-tugas dikerjakan seadanya. Kultur mainstream yang negatif sebaiknya ditukar dengan kultur baru yang sesuai dengan target yang akan dicapai oleh grup.

Tanpa fokus dan kedewasaan dalam pengambilan keputusan yang tidak harus dari atas, suatu grup bisa tumbuh, berkembang, dan berhasil dalam jangka panjang. Kultur yang positif mempunyai fitur co-creating alias membentuk dan membangun bersama.

Baru-baru ini saya mengalami sendiri dua tipe pemimpin. Yang satu sangat otoriter dan semua keputusan diambil sendiri top-down. Ia sama sekali tidak mau mendengarkan rekan kerja dan bawahan dengan alasan, “Saya ini sudah tua. Sudah senior. Saya pasti benar.” Yang satu lagi sangat demokratis dan lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Ia juga tidak memotong pembicaraan orang lain, siapapun dia. 

Kultur yang pertama sebenarnya cukup positif, namun suasana menjadi seperti di SD dengan rekan kerja dan bawahan yang banyak senyum, mengangguk-anggukkan kepala, dan berkepribadian pendiam alias nrimo. Kultur ini mungkin “sehat” dalam suasana feodal yang sudah tidak cocok untuk manajemen modern. Si pemimpin malah bicara melompat-lompat dari satu topik ke topik lain, tanpa bisa diinterupsi atau bahkan dikritik yang membangun sekalipun. “Kacau balau” kesannya namun “asal Bapak senang.” 

Kultur yang kedua selain positif, para rekan kerja dan bawahan juga dengan ringan hati menjadi diri sendiri. Mereka dewasa sesuai usia dan secara intelektual berkembang. Setiap rapat berjalan dengan baik tanpa perlu mengernyitkan dahi karena ada sesi tanya-jawab yang adil. Argumen-argumen diberikan tanpa perlu merasa tersinggung. Kultur kolaboratif tercipta tanpa perlu ada aba-aba khusus.

Menurut Deborah Pruitt dalam Group Alchemy: The Six Elements of Highly Successful Collaboration, enam elemen penting dalam grup agar tercapai alkemi adalah: inspirasi, perjanjian, akuntabilitas, pengakuan, peremajaan, dan penguasaan. 

Inspirasi diperlukan suatu grup agar setiap anggota merasa dihargai dan mempunyai andil sama besar, terlepas dari peran mereka. Inspirasi menyatukan hal-hal yang berbeda dengan fokus kepada kelebihan-kelebihan yang berpotensi membangung daripada kekurangan-kekurangan yang mengganggu. Fungsi dan identitas dibangun dengan inspirasi ini.

Lima elemen lainnya perlu dijalankan dengan tulus hati berdasarkan kepentingan bersama dan target yang akan dicapai. Pemimpin grup yang berpikiran positif dan dewasa memberikan kesempatan bagi para anggota grup untuk juga tumbuh secara positif dalam menganyam kultur kolaboratif. 

Hasil akhir yang membanggakan jelas merupakan bukti keberhasilan kultur kolaboratif.[]

KONTAN Daily, Jumat 4 April 2014

Pin It on Pinterest

Share This