Select Page

Logo koran tempo 200 

[Baca langsung di Koran Tempo.]

oleh Jennie S. Bev

Neoliberalisme
diawali dengan krisis struktural di tahun 1970an. Terminologi “neoliberalisme”
ini awalnya mengacu kepada strategi kelas elit kapitalis yang bekerja sama
dengan para manajer finansial dalam meningkatkan hegemoni mereka untuk
disebarkan luas secara global. Dalam Capital
Resurgent: Roots of the Neoliberal Revolution
yang diterbitkan oleh Harvard
University Press (2004) disebutkan keberhasilan strategi ini. Ternyata yang
terjadi sebaliknya.

Krisis
pinjaman subprima di Agustus 2007 dan memuncak di September 2008 menunjukkan kapitalisme
neoliberal mempunyai kekurangan struktural yang tidak bisa dipertahankan secara
kesinambungan alias tidak “sustainable.” Harvard University menerbitkan satu
lagi buku yang membeberkan krisis ini berjudul The Crisis of Neoliberalism (2011) oleh Gerard Dumenil dan Dominique Levy para direktur riset di
Centre National de la Rescherche Scientifique, Paris.

Krisis
kali ini merupakan krisis struktural keempat sejak abad ke-19. Dan setiap gempa
besar tersebut menggoncangkan struktur demikian hebat sehingga struktur baru
berpucuk. Akibatnya terasa hingga ke hubungan internasional dan hubungan sosial
dalam anyamanan di dalam masyarakat. Setelah hampir enam tahun, transisi membentuk
kapitalisme baru sedang berjalan. Perombakan-perombakan di dalam regulasi
finansial, corporate governance,
pembangunan kembali sektor finansial, dan kebijakan-kebijakan baru mengeratkan kembali
retakan-retakan akibat “gempa kapitalisme.”

Amerika
Serikat sendiri masih dalam masa transisi luar biasa. Angka pengangguran masih
tinggi dan kehidupan belum berjalan seperti sedia kala, walaupun di
kantung-kantung teknologi dan finansial sudah menunjukkan perbaikan.
Ketergantungan negara-negara lain kepada AS pun sudah menurun. Bahkan AS mengharapkan
kerja sama yang menguntungkan atau paling tidak simbiosis mutualisme dengan
Cina. Disekuilibrium ekonomi AS baru bisa dihentikan ketika Kontraksi Besar (Great
Contraction) berhenti. Namun dengan multiporos dunia internasional saat ini,
hegemoni AS di dunia internasional masih tetap menukik ke bawah.

Berbagai
cara dilakukan AS agar posisi hegemoni bisa digenggam lagi, termasuk dengan meningkatkan
produksi gas alami sebesar 25 persen sehingga menurunkan impor minyak dari 60
persen ke 40 persen, menurut US Special Envoy and Coordinator for International
Energy Affairs Carlos Pascual. Diperkirakan tahun 2020, AS akan menjadi
pengekspor minyak dan gas terbesar. Diharapkan, ini akan memutar roda ekonomi
dan geopolitik AS sehingga kembali menjadi pusat. Bisakah AS menjadikan abad
ini Abad Atlantik?

Bumi
sendiri sudah banyak berubah dari segi ekologi dan ini perlu diakui bahwa
berbagai situasi darurat disebabkan oleh global warming sudah banyak terjadi
dan berkelanjutan. Intervensi pemerintah dan kerja sama internasional
diperlukan agar struktur kapitalisme neoliberal bisa diperbaiki. Sustainability lebih penting daripada
mengeruk untuk tanpa batas.

Tanpa
berdebat soal ideologi, kapitalisme neoliberal merupakan struktur yang dipakai
sejak Depresi Besar. Perubahan-perubahan bisa dilakukan dengan kesadaran akan
dampak dari eksploitasi ekologi, sistem, dan regulasi. Berbagai diskursus manifesto
mengenai kapitalisme baru (new capitalism)
sudah ditawarkan oleh para ekonom. Semuanya bermuara kepada satu hal: perubahan
struktur bisa terjadi apabila perubahan obyektif dari mengeruk laba sebanyak
mungkin digantikan dengan sustainability,
mengurangi hutang sosial (social debt), dan tidak hanya menghitung GDP (gross
domestic product) namun juga GPI (genuine progress indicator). 

Kalau
GDP hanya menghitung nilai total produk dan jasa yang diperjualbelikan di pasar
nasional dalam waktu tertentu, GPI menghitung nilai aktivitas non-pasar dan
mengurangi biaya-biaya yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan, penurunan
sumber daya alam, dan waktu yang tidak digunakan. GPI diperkenalkan oleh ekonom
James Heintz dan Nancy Folbre.

Ekonom
pemenang Nobel Amartya Sen berargumen bahwa negara-negara ber-GDP tinggi
seperti AS sesungguhnya mempunyai standar kehidupan yang rendah di antara
mereka yang berpenghasilan rendah. Ini karena ekonomi AS mengutamakan aktivitas
pasar. Negara-negara lain seperti Bhutan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan
dan kebahagiaan dengan GNP (gross national happiness).

Karl
Marx dalam Capital volume ke-tiga
menyebutkan bahwa suatu saat propensitas kapitalisme akan mencapai fase
penyusutan laba. Fase tersebut akan mengarah ke perlambatan akumulasi,
peningkatan instabilitias, dan goncangan finansial. Ketiga hal ini
menggambarkan “krisis struktural.” Kerangka ini cocok digunakan untuk
menganalisa krisis yang terjadi sekarang. Kesimpulannya, krisis ekonomi
internasional yang sedang dialami di AS dan Eropa berakar dari krisis
kapitalisme neoliberal yang merupakan perpotongan antara tren global dunia
finansial dengan ketidaksinambungan trajektori ekonomi. 

Bagi
Indonesia yang masih “menikmati” fase ekonomi tenang mengingat konsumsi
domestik yang tinggi, mempunyai resiko sosial yang disebabkan oleh ledakan
penduduk. Kualitas warga negara yang lahir sekitar 3 sampai 4 juta bayi per
tahun belum memadai dalam pertarungan SDM global. Krisis ekonomi mungkin bisa
dihindarkan Indonesia untuk beberapa tahun ini, namun secara struktural,
ekonomi Indonesia juga dibangun atas kerangka kapitalisme neoliberal yang rapuh
mengingat hutang sosial yang luar biasa tinggi. 

Keruntuhan
ekonomi AS merupakan lampu kuning dan bahan pembelajaran bagi Indonesia.[]

Koran Tempo, 8 Juni 2013

Pin It on Pinterest

Share This