Select Page

Kontan

Download KONTAN Weekly Krisis dan Proyek Mercusuar

oleh Jennie S. Bev

Ada sebuah pertanyaan yang kembali relevan di­utarakan saat ini, yaitu: akan kembali terulangkah krisis finansial Asia 1997? Menurut saya, jawaban singkat dari per­tanyaan tersebut adalah: ya. Pertanyaan selanjutnya adalah, kapan krisis finansial seperti itu bakal terulang lagi? Apakah akan seberat 1997? Jawabannya adalah: segera tapi tidak akan separah tahun 1997. 

Krisis finansial Asia 1997 dan krisis-krisis ekonomi lainnya selalu mempunyai satu unsur utama yaitu uang murah alias kredit yang gampang. Salah satu indikator kasat mata feno­mena tersebut adalah bermun­culan gedung-gedung pencakar langit. Selain itu, booming pro­perti gila-gilaan serta banyak niat dan rencana untuk mendi­rikan bangunan atau proyek-proyek mercusuar.

Sekarang, mari kita tengok kondisi perekonomian di Indo­nesia. Niat pemerintah Indo­nesia untuk menggenapkan pembangunan Jembatan Selat Sunda sebagai peng­hubung antara Pulau Jawa dan Sumatra akan memakan biaya investasi sekitar US$ 10 miliar atau setara dengan Rp 100 triliun. Jembatan tersebut merupakan bangunan “mer­cusuar” dengan panjang 31 kilometer (km) dan lebar 60 meter. Jika berjalan lancar, jembatan antarpulau itu ditargetkan akan berope­rasi tahun 2020 menda­tang.

Saya menyebut Jemba­tan Selat Sunda sebagai “mercusuar” dengan me­minjam istilah dari Orde Lama (Orla) yang diguna­kan terhadap Jembatan Se­manggi di Jakarta dan bebera­pa bangunan karya mendiang Presiden Soekarno. Jika meli­hat situasi saat ini, sesungguh­nya karya-karya Soekarno ter­sebut tidak berlebihan, malah merupakan bukti kevisioneran Sang Proklamator.

Di sisi lain, proyek atau ba­ngunan itu tergolong “mercusu­ar” karena ini sesungguhnya membebani rakyat dengan utang yang luarbiasa besar. Ter­lepas dari kapan investasi itu kembali atau return on invest­ment (ROI), perhatikanlah bah­wa uang hasil pinjaman tersebut merupakan bentuk kulminasi “kredit gampang” alias “uang murah.” 

Di level korporasi swasta, perhatikanlah bahwa perusaha­an-perusahaan properti menge­ruk profit luar biasa besar. Hal ini bisa dibaca di dalam laporan keuangan tahunan mereka. Be­berapa publikasi yang pro-per­usahaan property malah berusa­ha membentuk opini pembaca. Tujuannya adalah menepis ang­gapan pembaca bahwa belum terjadi gelembung properti luar biasa besar yang hampir matang sehingga dapat pecah secara eksplosif saat ini.

Padahal, ketika para pembeli riuh dengan mitos “harga pro­perti tidak akan turun” dan saat pameran-pameran properti me­nawarkan iming-iming: “KPR cepat,” itulah sebenarnya mo­mentum gelembung sudah sa­ngat besar dan menjadi raksasa. Hati-hati, optimistis boleh-bo­leh saja. Namun, realistis lebih masuk akal.

Tahukah Anda bahwa “The Great Depression” _dimulai oleh maraknya kredit murah dan harga properti yang naik gila-gilaan di Florida, Amerika  Seri­kat? Tahukah Anda bahwa “Great Recession 2008” dimo­tori oleh kredit pemilikan ru­mah (KPR) subprima yang me­rupakan efek dari penyatuan bank komersial dan bank inves­tasi pada tahun 1999?

Jadi, sesungguhnya dua krisis mahabesar di Amerika Serikat itu terjadi gara-gara merebak­nya KPR murah.

Bangunan tertinggi

Krisis finansial 1997 juga di­motori oleh dana murah dari bank-bank di Asia. Saat itu, per­bankan di Asia terlena oleh berbagai bailout dari IMF se­hingga “risiko rugi” sudah tidak lagi mengusik para penjamin dalam mengabulkan permohon­an kredit. Toh, akhirnya ada yang mem-bailout kok. Uang murah, lagi-lagi adalah momok bagi ekonomi makro.

Menurut Dosen Yale Univer­sity, Vikram Mansharamani, kredit murah membentuk spirit “bangun saja dulu, konsumen akan datang”. Jadi, bukan dengan perhitungan ROI yang matang. Ekonom Mark Thorton menyim­pulkan bahwa ekspansi ekonomi luarbiasa be­sar dan booming pasar saham memotori pe­ningkatan belanja modal yang diguna­kan untuk mendirikan bangunan-bangunan yang tergolong luar­biasa.

Belum percaya? Burj Dubai dibangun tahun 2008 dengan spi­rit menjadi bangunan tertinggi dunia yaitu 828 meter. Tahun itulah me­rupakan tahun dimulai­nya The Great Recession dengan kejatuhan Lehmann Brothers. Taipei 101 setinggi 509 meter menandai bubble teknologi. Petronas Tower di Kuala Lumpur setinggi 452 me­ter menandai Krisis Asia 1997. Sears Tower di Chicago setinggi 527 meter dan WTC di New York (526 meter) menandai stagflasi era 1970-an.

Lalu, Empire State Building (443 meter) dan Chrysler Buil­ding (319 meter) menandai The Great Depression. Sedangkan Metropolitan Life Building (247 meter) dan Singer Building (187 meter) di New York menandai Panic 1907.

Kini, di China sedang diba­ngun bangunan tertinggi di du­nia nomor 2, 3, 5, 9, dan 10 yang akan selesai tahun 2015. Di In­donesia, Jembatan Selat Sunda akan selesai 2020. Krisis di Asia sudah jelas terbaca. Kita siap mengantisipasinya dengan ker­ja cerdas, keras, dan cermat.[]

KONTAN Weekly, 21-27 Oktober 2013

Pin It on Pinterest

Share This