Select Page

Kontan Logo

KONTAN Weekly Kontradiksi Kapitalisme

oleh Jennie M. Xue

Kapitalisme di Amerika Serikat dan negara-negara anggota Uni Eropa menunjukkan krisis menahun yang bisa merambat menjadi krisis mendekade. Krisis ini berpangkal dari kegagalan reproduksi kapitalisme dalam membelah diri di tingkat sel. Kegagalan ini memperpetuasi atau bahkan meningkatkan kesenjangan ekonomi (wealth inequality) antara one percenter dengan 99 persen sisanya.

Di Amerika Serikat, satu persen teratas menguasai 43 persen kekayaan finansial, 4 persen teratas menguasi 29 persen, 15 persen teratas menguasai 21 persen, dan 80 persen sisanya menguasi hanya 7 persen. Ini menurut data dari University of California Santa Cruz.

Kelas menengah sudah lenyap. Delapan puluh persen penduduk hanya mengumpulkan remah-remah ekonomi belaka. Padahal, filosofi kapitalisme adalah menciptakan kesejahteraan dari persaingan bebas dan kebebasan berkarya. Dan ekonom macam Milton Friedman percaya bahwa pasar mempunyai kemampuan alami untuk mencapai ekuilibrium.

Faktanya, plutokrasi dan elit-elit ekonomi semakin berkuasa, terlepas dari kenyataan bahwa sesungguhnya kelas menengah dan kaum jelata merupakan konsumen setia berbagai produk yang ditawarkan oleh one percenter. Semestinya, kesejahteraan konsumen diperbaiki sehingga daya beli vertikal meningkat.

Kesejahteraan bersama ini bukan merupakan utopia belaka. Ini merupakan gol yang bisa diraih mengingat the total sum is greater than the sum of parts. Jadi, dengan strategi dan awareness yang tepat, semua pihak bisa menikmati kehidupan ekonomi yang baik.

Ada baiknya kita mengingat bahwa krisis kapitalisme merupakan kesempatan belajar dari kesalahan dan memperbaiki sistem yang tidak berjalan semestinya. Sebagaimana dunia kedokteran membedakan antara gejala dengan penyebab suatu penyakit, para ekonom juga memandang pola-pola dunia sebagai suatu sistem organisme. Pengertian akan gejala merupakan seni mendiagnosa dan bisa menjadi motor transformasi.

Juga dunia telah bergeser dari industri manufaktur menjadi kapitalisme berbasis pengetahuan. Kini hampir segala proyek produksi barang dan jasa bisa di-offshore outsourced ke luar negeri, kecuali yang berhubungan langsung dengan fisik dan transportasi. Maka pergeseran kapitalisme ini sudah semestinya diantisipasi mengingat besarnya perubahan.

Penampakan dan keadaan seringkali kontradiktif. Kita jarang membayangkan bagaimana selembar pakaian yang kita pakai diproduksi. Bagaimana makanan yang dijual di supermarket diolah dan didistribusikan. Kita hanya mengkonsumsi tanpa pikir panjang dan hanya akan merasakan kehilangan ketika produk tersebut lenyap dari pasar, baik karena suplai terbatas maupun karena perubahan kondisi produksi.

Kapitalisme adalah formasi sosial yang memproses sirkulasi kapital dan akumulasinya yang mempengaruhi kehidupan sosial konsumen dan produsen. Namun tidak semua elemen kaplitalisme berhubungan dengan kapital. Di sinilah letak kontradiksi-kontradiksinya.

Dalam Seventeen Contradictions and the End of Capitalism oleh David Harvey dari Oxford University, ia berargumen bahwa kontradiksi-kontradiksi tersebut bersifat fundamental karena saling tergantung, walaupun kadang merugikan kelancaran pencapaian tujuan yaitu kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi semua.

Beberapa kontradiksi yang terasa di Indonesia antara lain: nilai tukar versus nilai kegunaan dan nilai tenaga manusia dengan nilai yang direpresentasikan dengan uang.

Kontradiksi antara nilai tukar versus nilai kegunaan bisa dirasakan dari kenaikan signifikan harga properti yang nilai kegunaannya sudah didominasi oleh nilai jual (nilai tukar) yang melampaui faktor kenikmatan sesungguhnya. Di lokasi-lokasi strategis, seperti di kota-kota besar, harga properti sudah hampir tidak terjangkau oleh mayoritas penduduk sedangkan mereka yang berakses kapital bisa saja membeli beberapa properti sebagai investasi.

Kontradiksi nilai tenaga manusia dengan nilai yang direpresentasikan dengan uang sesungguhnya sesuatu yang sangat menarik. Bayangkan bahwa di masa modern ini, kita sama sekali tidak bisa hidup swadaya seorang diri. Karena, kita perlu membayar apapun yang kita nikmati dengan uang. Mulai dari makanan, pakaian, listrik, air, pulsa telekomunikasi, furnitur, dan segala macam jasa yang kita nikmati.

Ini semua dikerjakan oleh orang lain yang tidak kita kenal. Padahal, jika kita menanam pangan dan menenun sandang sendiri, mungkin biayanya bisa lebih rendah, karena tidak perlu melampaui demikian banyak intermediari. Dan ini telah merancukan nilai sebenarnya dari suatu produk dan jasa.

Berbagai kontradiksi di dalam kapitalisme bukan berarti sistem ekonomi ini buruk dan kontradiksi ini tidak selalu mencelakakan. Namun dengan kesadaran ini kita bisa lebih paham bahwa nilai sesuatu ditentukan oleh pasar yang erat hubungannya dengan perilaku dan keadaan psikologis.[]

KONTAN Weekly, 9-15 Juni 2014

Pin It on Pinterest

Share This