
Image Source: KONTAN Weekly
Image Source: KONTAN Weekly
[Download PDF KONTAN WEEKLY Komunikasi Antarkultur]
oleh Jennie M. Xue
Berkomunikasi merupakan seni tersendiri karena pada hakekatnya adalah penyampaian pesan dalam berbagai bentuk. Kuncinya adalah diterimanya pesan sesuai dengan maksud dan tujuan sesungguhnya. Dalam konteks ideal, komunikasi yang baik mempunyai tujuan baik yang tergandakan ketika pesan tersampaikan.
Uniknya, berkomunikasi merupakan ketrampilan (skill) tersendiri yang gampang-gampang susah. Komunikasi membutuhkan kesiapan segenap pikiran, perkataan, dan perilaku, pesan dibentuk sebagai audio lisan, teks tertulis, visual terpandang, dan perilaku tubuh. Padahal, kita sering kali berkomunikasi secara autopilot berdasarkan rutinitas belaka.
Di lain pihak, bagaimana persepsi penerima pesan sangat ditentukan oleh kultur pribadi, kultur keluarga, kultur organisasi, dan kultur tempat berpijak. Kultur-kultur ini membentuk perilaku dan keputusan-keputusan.
Contohnya, walaupun sama bahasanya, namun berbeda generasi dan kelas sosial, gaya berkomunikasi sudah berbeda. Bahkan dengan berbahasa Inggris yang termasuk “tidak berkelas,” hal ini juga terasa.
Dalam Bahasa Indonesia, penggunaan kosakata “you” bisa berbentuk “Anda,” “kamu,” “engkau,” “dikau,” dan “kau.” Dalam Bahasa Jawa lebih beragam lagi, mengingat strata sosial antara priyayi dan wong cilik membawa perbedaan gaya bahasa. Kepada siapa dan bagaimana kosakata ini digunakan, tentu berbeda konteksnya dan membawa nuansa berbeda pula.
Itu baru soal penggunaan sebutan yang tepat. Belum lagi penyampaian substansi, konsep, dan nuansa-nuansa dalam rangkaian kalimat yang membentuk satu rangkaian. Bahkan setiap individu mempunyai gradasi makna berbeda-beda.
Tanpa skill dan pemahaman memadai, bisa terjadi miskomunikasi. Lantas, bagaimana sebaiknya?
Semakin banyak terekspos akan berbagai kultur, semakin baik. Ini membangun ketrampilan mendengarkan dan mengenali berbagai bahasa tubuh dalam berbagai kultur. Dari apa yang terlihat, hingga yang tersirat dan tidak terbaca dengan penglihatan sekilas, proses pengenalan semakin mendalam.
Kita tidak bisa mengendalikan bagaimana orang lain bersikap dan berkomunikasi, namun kita dapat membantu orang lain agar lebih memahami apa yang kita komunikasikan. Mulailah dengan bersikap netral dan berbicara dengan percaya diri terlepas dari kultur dominan.
Sering kali, ketika orang lain kurang memahami apa yang kita bicarakan, suara kita meninggi. Ini sebenarnya kurang baik, karena membuat pihak lain grogi. Dalam komunikasi dengan siapapun, infleksi nada membentuk persepsi.
Perbanyak empati ketika berkomunikasi antar kultur. Usahakan memahami bagaimana mereka menjalankan hidup dan berpikir. Misalnya, dengan mengamati gaya berpakaian dan gaya bicara, maka kelas sosial dan ekonomi dapat diperkirakan. Namun terlepas dari siapa mereka, kesopanan yang wajar perlu dijaga.
Di Negeri Paman Sam, misalnya, ada cukup banyak pekerja asal Meksiko. Mengingat kultur yang berbeda, para manajer perlu meng-update diri mengenai komunikasi antar kultur.
Pertama, kultur Meksiko lebih komunal daripada kultur AS yang lebih individualistik. Ini dapat dirasakan ketika terjadi masalah di tempat kerja. Cukup banyak pekerja Meksiko mempunyai sikap yang lebih mementingkan kelompok daripada individu.
Kedua, gaya berkomunikasi Meksiko lebih tunduk kepada otoritas, sedangkan gaya AS lebih ekual. Dengan sendirinya, cukup banyak pekerja Meksiko yang lebih mengutamakan pendapat pemimpin daripada bersikap proaktif dalam mengemukakan pendapat.
Ketiga, kultur Meksiko lebih mengutamakan harmoni di atas kebenaran, sedangkan gaya AS lebih mengutamakan kebenaran daripada harmoni. Bisa dimengerti ketika para pekerja Meksiko melindungi kesalahan kolega mereka daripada mengungkapkan siapa yang melakukan kesalahan.
Keempat, kultur Meksiko patriarki, di mana laki-laki lebih dihargai sebagai “bapak” kelompok. Walaupun perempuan mempunyai posisi ekual dalam masyarakat, kultur ini menempatkan laki-laki lebih diperhatikan pendapatnya daripada perempuan. Tentu ini relatif tergantung penerimaan di setiap kelompok.
Komunikasi antar kultur merupakan tantangan bagi kita untuk memperbanyak pengetahuan dan perbendaharaan informasi kultural. Semakin banyak skill yang dimiliki dalam berkomunikasi, semakin besar aset soft-skill yang dapat digunakan dalam mendaki tangga sukses.
Bagaimana cara termudah dan termurah untuk meningkatkan skill ini? Perbanyak kenalan dan sahabat yang berasal dari berbagai kultur, agama, dan negara. Perhatikan apa saja perbedaan dan persamaan dalam berkomunikasi. Kenali dan nikmati setiap perbedaan dan persamaan.
Bangun empati dengan menempatkan diri Anda pada diri mereka. Semakin mendalam Anda kenali orang lain, semakin kita memahami mereka. Karena, pada dasarnya, kita adalah bagian dari mereka dan mereka bagian dari kita.[]
KONTAN Weekly, 20-26 Februari 2017