[Download PDF KONTAN WEEKLY Kepemimpinan Pelayan]
oleh Jennie M. Xue
Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang melayani. “Servant leadership” adalah terminologi yang dipakai oleh Robert K. Greenleaf, pendiri The Greenleaf Institute of Servant Leadership. Gaya kepemimpinan ini cukup kontroversial dan ada beberapa miskonsepsi yang menyelimutinya.
“Servant leader” diterjemahkan bebas sebagai “pemimpin pelayan” bukan “serving leader” yang berarti pemimpin yang melakukan servis. Dalam “servant leadership,” tidak ada unsur menguasai dan mengontrol, tidak ada haus kekuasaan dan harta. Dalam “serving leaderhip” masih ada unsur kedua ini karena pelayanan dilakukan dalam konteks kekuasaan dan kontrol.
Seorang servant leader melayani dengan ketulusan atas dasar keyakinan bahwa setiap aktivitas yang didasari kebaikan akan secara kolektif memberi manfaat baik bagi setiap individu dan organisasi. Sedangkan “serving leader” alias pemimpin yang melakukan servis merupakan salah satu cara untuk mengontrol pendukung.
Bayangkan betapa dahsyat efek dari servant leadership apabila dijalankan secara kolektif.
Konsep servant leadership bukanlah bersifat relijius, filosofis, atau spiritual. Konsep ini merupakan perguliran alami dari argumen bahwa evolusi manusia didukung oleh karakter inheren kemanusiaan.
Servant leadership sesungguhnya mengikuti alam, bukan melawannya. Namun para kritik mempunyai beberapa argumen yang melawan.
Pertama, tidak ada istilah “pemimpin pelayan” karena ini adalah contradictio in terminis. Seorang pemimpin sejati tidak melayani.
Kedua, ini hanya dapat diterapkan di organisasi-organisasi nirlaba dan edukasi. Ketiga, menerapkan kepemimpinan pelayan membutuhkan waktu lama karena melawan tradisi memimpin.
Keempat, tidak banyak pemimpin yang mmepunyai karakter tulus dan baik hati. Kelima, bagaima memimpin jika perlu “melayani” yang dipimpin?
Neurosaintis James Rilling dan Gregory Berns dari Emory University menemukan dalam riset bahwa ketika kita melakukan kebaikan, bagian dari aktivitas otak yang mencatat kenikmatan menyala. Jadi, ada kepuasan ketika kita melakukan kebaikan. Dan ini merupakan bukti saintifik bahwa servant leadership merupakan pilihan tepat untuk membuat dunia lebih baik dimulai dari skala miniskul.
Emma M. Sepalla, PhD yang mengutip Michael Tomasello dari Max Planck Institute, juga pernah menulis bahwa karakter belas kasih (compassion) merupakan bagian dari evolusi. Bukan hanya “survival of the fittest,” namun juga “survival of the kindest” mempunyai dasar ilmiah.
Lantas bagaimana aplikasi servant leadership? Sebenarnya sejak lama karakter kepemimpinan berhasil memasukkan unsur-unsur kepemimpinan pelayan ini. Namun, tidak banyak pemimpin yang menyadarinya dan struktur organisasi yang digunakan masih top-bottom vertikal.
Dalam servant leadership, struktur kepemimpinan bersifat cair dan horisontal, tidak vertikal. Alur informasi diharapkan berjalan tanpa birokrasi dan hambatan para “penjaga pintu.” Ini memberi kesempatan bagi pemimpin untuk mendengarkan langsung apa yang disampaikan oleh para stakeholder, termasuk para pegawai.
“Power dan control” tidak menjadi fokus servant leadership, karena ini merupakan antitesis “melayani.” Seorang pemimpin pelayan kenal kebutuhan para stakeholder dan dengan tulus memenuhi kebutuhan.
Tentu dengan asumi yang dilayani juga berbasis ketulusan dan kebaikan hati dalam bertindak. Dan ini sesungguhnya dapat dilatih.
Dalam konteks kultur Indonesia yang feudal, memang servant leadership kedengarannya agak sulit untuk diterapkan. Namun ini bukan berarti mustahil.
Pertama, perlu ada kesamaan perspektif dan tujuan. Samakan asumsi. Intinya, perlu lebih dalam pengertian bahwa dengan kebaikan, banyak hal dapat dijalankan dan sukses dapat diraih.
Kedua, unsur melayani membebaskan seseorang dari pikiran-pikiran negatif, seperti iri atau dengki, sehingga lingkungan kerja berjalan lebih alami dan tenang.
Ketiga, jalankan dengan teladan. Lead by example. Ketika seorang pemimpin melayani dengan tulus, maka pengikut dapat melihat sendiri bagaimana berperilaku dan terinspirasi.
Kritik bahwa servant leadership bersifat utopis cukup banyak dilontarkan. Namun kita perlu tetap berpegang kepada penelitian ilmiah para neurosains yang berargumen bahwa belas kasih merupakan bagian dari evolusi manusia. Dan “survival of the fittest” mempunyai partner “survival of the kindest.”
Akhir kata, ingatlah bahwa hidup hanya sekali. Istilah karir dan bisnis Anda dengan berbagai kebaikan. Ketika Anda menerapkan servant leadership, Anda memimpin tidak hanya dengan gol namun juga dengan segenap belas kasih kepada sesama manusia dan makhluk bernyawa.
Konsep utopis ini ternyata jauh lebih praktis dan pragmatis daripada yang diduga. Silakan mencoba.
KONTAN WEEKLY, 11-17 September 2017