Download KONTAN Daily Kepemimpinan ala Starbucks
oleh Jennie S. Bev
Starbucks
dan pendirinya Howard Schultz merupakan pemimpin pasar dan pemimpin dengan
200.000 karyawan yang melayani 60 juta pelanggan setiap minggu di 18.000 gerai
di 60 negara. DI kuartal kedua 2008, pendapatan Starbucks menurun 21 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dan sejak saat itu Starbucks di bawah
pimpinan Schultz berjanji untuk kembali merebut mahkota kedai kopi dunia.
Tujuh
“tindakan berani” Starbucks yang menjadi fundamental setiap tindakan di front
end dan back end adalah: mempertahankan posisi otoritas kedai kopi, melibatkan
dan menginspirasi para karyawan yang disebut sebagai “partner,” menyulut
kedekatan emosional dengan pelanggan, mengembangkan diri ke pasar global dengan
menjadikan setiap gerai sebagai bagian dari komunitas lokal, mengutamakan
produk-produk yang ramah lingkungan dan etis “fair trade,” membentuk platform
pertumbuhan yang inovatif, dan mempraktekkan model ekonomi berkesinambungan.
Dengan
mengalami masa-masa sulit selama Resesi Besar yang dimulai 2008 lalu, Starbucks
telah mengalami empat fase: pertumbuhan yang luar biasa pesat, masa ekonomi
sulit, masa penyembuhan (recovery period), dan masa transformasi. Bagaimana
Starbucks bertransformasi bisa menjadi benchmark bisnis-bisnis lain.
Schultz
sendiri berpegang kepada perspektif kepemimpinannya yang agak “kurang lazim” di
mata bisnis, yaitu menempatkan cinta kasih, kemanusiaan, dan kerendahanhati di
atas organisasi yang dipacu oleh performance
alias prestasi kerja. Dengan perspektif ini, Schultz yakin bahwa prestasi dan
hasil kerja bisa lebih dipacu.
Brand
Starbucks yang menggambarkan caring
terhadap lingkungan, para karyawan yang merupakan partner utama, para pemasok,
dan para pelanggan, bukan hanya slogan belaka. Sebagaimana Nordstrom, Four
Seasons, dan Zappos, Starbucks berada di ranking “superb customer service” yang sama. Selain itu, Starbucks juga
memberikan pinjaman sebesar USD15 juta kepada para petani kopi di Meksiko dan
Indonesia sebagai bagian dari kepemimpinan perdagangan beretika mereka.
Lima
prinsip kepemimpinan berdasarkan “kasih” Starbucks disadur dari Leading the Starbucks Way: Five Principles
for Connecting with Your Customers, Your Products, and Your People oleh
Joseph A. Michelli (McGraw Hill, September 2013) adalah: menikmati dan
meninggikan, senang mengasihi dan dikasihi, mencapai persamaan (common ground), memobilisasi koneksi,
dan menghargai dan menantang konsep kemanusiaan yang ingin diwariskan.
Diana
Kelly, manajer distrik Fredericksburg di negara bagian Virginia, misalnya
memberikan coklat hangat kepada seorang laki-laki tak berumah bernama Dominic.
Ternyata ia tinggal di kemah dekat hutan di dekat kedai kopi Starbucks
setempat. Bersama para manajer toko lainnya, Diana mengunjungi perkemahan
tersebut dan memberikan donasi yang diperoleh dari para pengunjung Starbucks.
Ini
menarik kolumnis Petula Dvorak dari The
Washington Post untuk menuliskannya, sehingga menarik banyak pihak,
termasuk para skeptis yang ingin memenjarakan para anggota perkemahan tersebut,
para filantropis gereja, dan pelanggan Starbucks yang setia memberikan donasi.
Para
skeptis memang mudah mencap Starbucks “sok baik hati.” Namun di era serba
instan, segala sesuatu begitu mudah tersebar. Kebaikan “palsu” juga bisa dengan
sekejap tercium dan menyebar. Sebaliknya, kebaikan “asli” dapat mem-viral
berlipat ganda hanya dalam sekejap. Kebohongan dan ketidaktulusan sulit
bertahan di era serba instan ini.
Belajar
dari pendiri Zappos Tony Hsieh yang “kurang begitu bersemangat” soal sepatu, ia
bersemangat soal pelayanan pelanggan dan kultur perusahaan yang “riang gembira”
dengan berbagai permainan di tempat kerja. Schultz sendiri menemukan passion-nya dalam hal kopi ketika
mengunjungi Italia yang terkenal dengan espresso
dan cappuccino.
Proses
pembelajaran para barista baru berdasarkan riset tentang proses belajar, yaitu
70 persen pembelajaran dilakukan sambil kerja nyata, 20 persen dari pelatihan
dengan mentor, dan 10 persen dari kurikulum bermodul online university perusahaan. Penghargaan kepada para partner
(pegawai) baru diawali dengan ritual mencicipi kopi dan “coffee passport”
selama 3 bulan pertama. Juga setiap tahun diadakan Starbucks Thanksgiving Blend
dengan ribuan manajer gerai.
Kita
bisa banyak belajar dari Starbucks yang menggunakan cara-cara tradisional
dengan “hati” daripada cara-cara instan untuk mengembalikan omzet mereka yang
menurun drastis. Performance perusahaan yang diukur dari profit akhir tahun
mempunyai korelasi langsung dengan nilai-nilai yang baik dan akibat positif
dari nilai-nilai tersebut. Komunikasi dengan media dan komunitas lokal juga
sangat penting artinya.[]
KONTAN Daily, 5 Juli 2013