Select Page

[Download PDF KONTAN WEEKLY Kendalikan Roller Coaster]

oleh Jennie M. Xue

Bagaimana kita mengendalikan roller coaster emosi tergantung dari beberapa hal, termasuk programming di masa kecil, kultur tempat tinggal dan bekerja, kesehatan psikis, keseimbangan hormon, dan 30 detik jeda berpikir. Kombinasi kelima elemen ini menentukan luapan emosi yang kita lontarkan keluar dan apa yang kita simpan dalam diri.

“Menguasai” diri sering kali disebut sebagai penerapan dari free will alias kehendak bebas. Padahal, faktor-faktor fisiologis, psikis, dan patologis yang dimiliki seseorang membatasi dan menentukan kualitas penguasaan diri. Kita dilahirkan dengan berbagai keterbatasan fisiologis, bahkan struktur otak kita pun berbeda.

Misalnya, seseorang dengan otak bagian frontal lobe bermasalah mempunyai kecenderungan sebagai psikopat. Frontal lobe bagian otak ini terbaca sebagai daerah berwarna hitam ketika di-scan MRI. Dengan keterbatasan ini, seseorang dengan kondisi demikian sangat sulit untuk berempati terhadap orang lain. Ini membatasi keputusan-keputusannya dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai masalah dengan frontal lobe otak.

Satu, programming di masa kecil.
Programming di masa kanak-kanak membentuk berbagai hal, termasuk karakter di masa dewasa. Bayangkan, apabila seorang anak mengalami penganiyaan atau molestasi, dapatkah ia tumbuh sebagai orang dewasa yang sangat mempercayai orang lain? Kemungkinan besar tidak. Ia pun kemungkinan besar mempunyai masalah dalam mengatasi emosi akibat PTSD (post traumatic syndrome disorder) dan trauma-trauma lain.

Programming di masa kecil sangat dipengaruhi oleh didikan dan perbuatan-perbuatan orang tua dan mereka yang lebih tua. Anak-anak menyerap banyak hal secara langsung maupun tidak langsung. Jadi, ingatlah untuk bersikap baik, positif dan patut sebagai role model anak-anak. Semoga Anda punya masa kecil indah dan bebas trauma, karena ini menentukan masa dewasa.

Dua, kultur tempat tinggal dan bekerja.
Setelah hidup di luar Indonesia selama 18 tahun, penulis kini membawa dua kultur utama yang mempengaruhi pola pikir dan bertindak. Kultur AS lebih rasional, terbuka, dan straightforward. Kultur Asia lebih superstisius, tertutup, dan berbelok-belok.

Cara mengendalikan emosi juga berbeda. Semakin lama kita hidup di dalam suatu kultur, semakin kita dipengaruhi olehnya. Dan ini terbaca dari perilaku dan gaya berkomunikasi, termasuk dalam menyampaikan respon-respon emosi.

Tiga, kesehatan psikis.
Kesehatan psikis seseorang antara lain dipengaruhi oleh tingkat spiritualitas, kemampuan mendeteksi stres dan depresi, dan kemampuan mengelolanya. Setiap hari kita mengalami stres dari yang paling ringan dan dibutuhkan hingga yang paling berat dan melelahkan. Depresi klinis merupakan titik membahayakan kesehatan psikis dan ini perlu dikenali gejala-gejalanya agar penanganan cepat sebelum terlambat.

Ketika depresi klinis semakin mendalam, semakin sulit untuk mengendalikan emosi. Apalagi untuk mengambil keputusan dengan tepat.

Empat, keseimbangan hormon.
Ketika hormon serotonin, endorfin, dopamin, feniletamin, estrogen, dan grelin berlimpah, maka stres pun menurun. Sebaliknya, ketika hormon kortisol dan adrenalin meningkat, maka stres pun meningkat.

Bisa dimengerti mengapa mereka yang kondisi hormonnya tidak seimbang akan lebih emosional dan lebih sulit dikendalikan. Para perempuan yang masih mengalami haid bulanan pasti kenal betul masa PMS (pre menstrual syndrome), karena sebulan sekali “serangan” hormonal mengguncang keseimbangan hormon.

Lima, 30 detik jeda berpikir.
Jika empat elemen di atas dalam kondisi baik, normal, dan seimbang, jeda 30 detik cukup untuk berpikir sebelum bereaksi. Ini penting ketika emosi melanda sebagai reaksi dari sesuatu.

Bisa diperhatikan dari gaya berkomunikasi setiap individu. Ada yang sangat cepat memberi respon tanpa dipikirkan terlebih dahulu, apalagi ketika emosi ikut berperan. Namun ada yang diam sejenak sebelum menjawab dan bereaksi. Ketika berpikir dulu sebelum merespon, kita dapat memilih apa reaksi kita.

Semakin sering dilatih, semakin terbiasa untuk berpikir dulu sebelum merespon. Ketika dilakukan berulang-ulang selama bertahun-tahun, ini akan terinternalisasi sehingga emosi juga dapat dikelola.

Akhir kata, hidup memang bak roller coaster. Kadang kita di atas, kadang di bawah. Sering kali kita pusing dibuatnya. Namun sepusing apapun dibuatnya, apa yang bisa kendalikan, kendalikanlah. Kita punya kebebasan bebas (free will) yang bisa diterapkan setiap kali sebelum merespon sesuatu. Tiga puluh detik cukup. Kecuali, tentu saja apabila Anda punya patologi otak, ada beberapa hal yang tidak dapat dikendalikan.

Selamat menikmati roller coaster.[]

KONTAN WEEKLY, 3 – 9 April 2017

Pin It on Pinterest

Share This