[Download PDF KONTAN Weekly Kembalinya Manufaktur AS]
oleh Jennie M. Xue
Amerika Serikat kini tidak tergantung lagi dari pasokan minyak mentah (crude oil) dari negara-negara OPEC. Karena AS telah menjadi produsen minyak terbesar dunia dengan produksi 8,5 juta hingga 9 juta barel minyak mentah per hari.
Bandingkan dengan hasil gabungan negara-negara OPEC yang hanya sebesar 35 juta barel per hari, padahal kartel minyak ini terdiri dari 12 negara yaitu Iran, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Venezuela, Qatar, Libya, Uni Emirat Arab, Aljazair, Nigeria, Gabon, dan Angola.
Luar biasa besar produksi minyak AS saat ini, yang sangat terbantu oleh teknologi mutakhir pengeboran minyak bernama fracking dan horizontal drilling. Dua teknologi baru ini memungkinkan pengambilan minyak di antara bebatuan, mineral, dan pasir yang dulu dianggap “tidak mungkin.”
Dengan harga minyak rendah (turun hingga separuhnya), produksi manufaktur AS semakin meningkat karena biaya produksi menurun, walaupun biaya operasi dan UMR alias “minimum wage” AS secara umum termasuk tinggi.
Digabungkan dengan kekuatan produksi berkapasitas tinggi dari teknologi robotik, upah minimum nasional AS sebesar USD 7,25 per jam dan upah minimum negara bagian serta kota berkisar USD 7,25 per jam hingga USD 15 per jam, dan produktivitas per orang yang tinggi, industri manufaktur AS telah kembali. Tanpa biaya pengiriman (shipping cost) dari China ke AS, harga retail produk bisa lebih ditekan lagi.
Dibandingkan dengan UMR China yang kini meningkat 15 persen, upah minimum AS hanya meningkat 2,3 persen dalam 10 tahun terakhir. Problem dengan kualitas produk-produk China dan biaya perbaikannya menambah pengeluaran produksi yang tidak sebanding dengan UMR China. Apalagi dengan kenaikan UMR AS yang sangat rendah.
Survei The Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan bahwa lebih dari separuh perusahaan-perusahaan manufaktur AS dengan omzet melebihi USD 1 miliar per tahun mempunyai rencana untuk mengembalikan pekerjaan ke AS. Dengan kata lain, mereka akan menghentikan offshore outsourcing ke China dan negara-negara Asia lainnya.
Tiga faktor utama pertimbangan adalah biaya buruh, kedekatan dengan konsumen sehingga berbagai masukan bisa langsung diimplementasikan dengan lebih akurat, dan kualitas produk yang lebih bisa dijaga. Pertimbangan lainnya adalah ketrampilan dan produktivitas buruh, biaya transportasi, supply chain lead time, dan kemudahan berbisnis.
Bagi perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia yang menerima pesanan offshore outsourcing dari AS perlu memperhatikan tujuh pertimbangan di atas. Ini juga perlu diperhatikan oleh pemerintahan Jokowi-JK dalam pertimbangan kebijakan mereka yang mendukung penerimaan offshore outsourcing.
Beberapa contoh kembalinya manufaktur AS. Produsen sepeda Kent International selama 20 tahun melakukan offshore outsourcing ke China. Kini dengan investasi USD 4,5 juta di Clarendon County, South Carolina, telah mempekerjakan 175 buruh dan memproduksi 500.000 sepeda per tahun.
Manufaktur pesawat terbang Airbus pernah meng-outsource produksi ke China dan Vietnam. Kini mereka kembali ke Alabama, Pennsylvania, dan Mississippim dengan investasi USD 600 juta dan mempekerjakan 1000 buruh. Hyundai, Honda, dan Navistar juga telah memproduksi kembali di AS.
General Electric (GE) pernah memproduksi water heater di China. Biaya transportasi tinggi mendorong mereka kembali berinvestasi USD 38 juta di Kentucky dengan target produksi USD 1 miliar yang dibantu oleh 1300 buruh.
Bisa dimengerti mengapa manufaktur kembali ke Tanah Paman Saman. Tampak jelas dari situasi ekonomi AS, rendahnya harga BBM AS, serta relatif rendahnya UMR AS. Dan ini adalah tantangan bagi perusahaan manufaktur di Indonesia dan pemerintah untuk memberikan nilai tambah sebagai tempat offshore outsourcing.[]
KONTAN Weekly, 3-8 Maret 2015