Download KONTAN Weekly Kemampuan Deksteritas Global
oleh Jennie S. Bev
“Global dexterity” atau deksteritas global (DG) artinya kemampuan mental dalam beradaptasi dalam kultur apapun dalam suasana global. Dalam kamus sosiologi, mungkin inilah yang disebut sebagai kapital kultural. Dalam kamus awam, ini sering disebut sebagai “daya adaptasi.” DG lebih spesifik kepada ketrampilan alias kemampuan mental dalam menangkap isyarat-isyarat komunikasi baik dalam bahasa tubuh, bahasa lisan, maupun komunikasi tanpa kata-kata dan tanpa gerak-gerik tubuh.
Mungkin saudara-saudari yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia merasa bahwa tanah air ini beraneka ragam. Ini benar, namun kebhinekaannya hanya terbatas atas suku-suku bangsa dalam rumpun yang sama, yaitu Rumpun Melayu. Di negara-negara yang berbasis imigrasi, seperti AS, Kanada, dan Australia serta berbagai negara Commonwealth Inggris, multikultur sangat kasat mata.
Di California, misalnya, dalam satu hari saja biasanya saya berjumpa dan berinteraksi dengan mereka yang berasal dari Korea, Jepang, Iran (Farsi), Inggris Raya, Jerman, Cina Daratan, Cina Taiwan, Skotlandia, India, Bangladesh, Irlandia, Thailand, Laos, Meksiko, dan Argentina. Kami semua jelas berbahasa Inggris, namun warna kulit, kebiasaan, kultur, dan agama mereka jelas beraneka ragam. Sangat terasa multikultural-nya serta betapa heterogennya dunia!
Setiap kali saya berkunjung ke Indonesia, wah, sangat homogen pemandangannya. Kecuali tentu saja para remaja putri dan perempuan dewasa yang mengecat rambut menjadi burgundy, coklat tua, coklat muda, dan pirang. Juga kultur setiap orang yang saya jumpai hampir sama, karena memang kultur Indonesia secara keseluruhan agak mirip dan telah lama saling menyesuaikan diri.
Sebaiknya, kita di Indonesia tidak merasa sangat “heterogen” karena di luar sana jauh lebih heterogen. Kalau di dalam kandang saja sudah merasa heterogen padahal jauh lebih homogen, bagaimana deksteritas Anda?
Cukup banyak buku yang berbicara mengenai perbedaan kultur bisnis di AS, Cina, dan negara-negara lain. Jarang ada yang berbicara mengenai kemampuan alias deksteritas yang dibutuhkan dalam bertahan, berkarir, dan berprestasi dalam kultur-kultur yang berbeda.
Tidak jarang pula banyak eksekutif yang tahu betul perbedaan berbagai kultur di dunia. Namun gagal dalam proses implementasi alias menterjemahkan apa yang diketahuinya secara intelek ke dalam praktek nyata. Para mahasiswa asal Asia di kelas-kelas universitas AS yang sangat menghargai peran serta aktif, ternyata banyak yang “melempem.”
Dibandingkan dengan kultur Indonesia, misalnya, AS sangat asertif, sangat independen, dan tidak segan mempromosikan diri sendiri yang seringkali ditafsirkan sebagai “arogan.” Bill Gates yang tidak membungkukkan tubuhnya ketika berkunjung ke Korea Selatan, misalnya dicap “arogan” padahal ia sama sekali tidak punya intensi demikian. Ini baru masalah bahasa tubuh. Belum lagi gaya komunikasi.
Peneliti Harvard Business School Andrew Molinsky dalam Global Dexterity: How to Adapt Your Behavior Across Cultures without Losing Yourself in the Process berbeda dari buku-buku lainnya. Molinsky berbicara mengenai proses di dalam black box individu yang mengalami perubahan kultural.
Salah satu perbedaan gaya kepemimpinan di AS dengan di negara-negara Asia, misalnya Indonesia dan India adalah kadar ekualitas. Sebagai contoh, seorang manajer asal AS yang ditempatkan di kantor cabang India yang menerapkan gaya egaliter seringkali malah terjemah image “tidak mampu memimpin.” Gaya kepemimpinan yang memberikan kebebasan bagi subordinat untuk bergerak semampu mereka malah diterjemahkan sebagai “ketidakmampuan memberikan masukan” alias “bukan pemimpin yang berkualitas.”
Hal yang sama, juga saya perhatikan di kultur Indonesia yang sangat senang “memberi” dan “diberi” wejangan. Bahkan di antara yang berposisi setara pun, mereka yang “aktif memberi wejangan” dipandang lebih mampu.
Bagi mereka yang mempunyai gaya memimpin “hands off” alias tidak micromanaging mungkin akan mengalami kesulitan di dalam kultur yang sangat menghargai micromanaging dan “wejangan-wejangan.” Bahkan para konsultan manajemen-pun seringkali perlu bergaya “ala Mario Teguh” dengan berbagai nasehat agar lebih diterima, padahal fungsi konsultan dan motivator sangat berbeda. Namun itulah Indonesia, yang nota bene masih “paternalis” bahkan sangat “patriarki.”
Jadi, kesadaran akan deksteritas global mencakup lebih dari kemampuan beradaptasi secara komunikatif namun juga perlu menyesuaikan gaya manajemen dan kepemimpinan agar mencapai produktivitas optimal dalam kultur yang berbeda. Up bisa jadi bottom, hands-off bisa jadi micromanaging, dan egaliter bisa menjadi malah berstruktur atasan-bawahan yang sangat terkotak.[]
KONTAN Weekly, 26 Agustus-1 September 2013