Download KONTAN Kebangkitan Pasar Satu Miliar
oleh Jennie S. Bev
(Versi yang tidak diedit.)
Kalbe Farma termasuk salah satu perusahaan Indonesia yang telah melakukan penetrasi di pasar Afrika, terutama Nigeria dan Afrika Selatan. Nigeria mempunyai populasi 155 juta jiwa dan Afrika Selatan 49 juta jiwa. Keseluruhan benua Afrika mempunyai populasi 1,022 milyar jiwa berdasarkan data 2010. Keseluruhan GDP benua ini mencapai USD 1,184 trilyun dan GDP per kapita USD 1.200.
Pasar Afrika seringkali kurang diperhitungkan, terutama karena embargo negara-negara barat dan tingkat inflasi yang setinggi gunung Himalaya. Padahal, dibandingkan dengan negara-negara di dunia, benua Afrika menempati peringkat ke-10 kekuatan ekonomi. Afrika Selatan sendiri mempunyai kelas menengah yang meningkat 30 persen setiap tahun, yang merupakan pasar tersendiri yang siap dituai.
Citra Afrika sebagai penerima charitable contributions and international aids sudah saatnya untuk “naik pangkat” sebagai lokasi tujuan investasi dan tempat penetrasi pasar yang menggiurkan. Indonesia bisa belajar dari China dan India yang telah lebih dulu menyadari kekuatan pasar Afrika ini.
Menurut Vijay Mahajan dalam Africa Rising: How 900 Million African Consumers Offer More than You Think, sudah saatnya perusahaan yang ingin “go global” untuk mempertimbangkan benua ini sebagai salah satu pasar yang dipenetrasi secara serius. Terlepas dari posisi jangka pendeknya yang tidak termasuk di dalam negara-negara BRIC (Brazil, Russia, India dan China) dan gejolak-gejolak politiknya yang sering kali memakan jiwa.
Mahajan menyebutkan dua kasus sukses menarik penetrasi di Afrika adalah minuman bersoda Coca-Cola dan bir hitam Guinness. Coca-Cola membuka pasar Afrika di tahun 1928 dan growth selama ini cukup stabil selama dua dasawarsa terakhir. Setiap hari, pasar Afrika menyerap 93 juta botol dan kaleng dengan revenue mencapai USD 5 milyar per tahun. Pada tahun 2007, kantor pusat yang melayani pasar Afrika pindah dari Inggris ke Afrika Selatan, dengan harapan supaya komunikasi lebih baik dengan pelanggan di benua ini. Jauh-jauh hari, Coca-Cola sudah menancapkan kaki di benua ini dan kini menjadi benchmark case study penetrasi berhasil. Diperkirakan sampai 500 juta konsumen yang bisa dibidik oleh perusahaan minuman favorit dunia ini.
Yang menarik dari Guinness adalah simbol jembatan Irlandia dan Nigeria yang bernama Rotimi Adebare, seorang imigran asal Nigeria yang sekarang menjabat sebagai walikota di Portlaoise, Irlandia. Dengan semakin maraknya diaspora Afrika di negara-negara barat, “going global” terjadi secara natural dengan berbagai branding yang terjadi secara alami. Para kaum muda di Nigeria sekarang memperlakukan Guinness sebagai merek lokal yang diterima dengan berbagai efek psikologis positif. Bagi perusahaan bir hitam ini,business growth terbesar di luar Irlandia mencapai 4 sampai 5 persen, yang sebagian berasal dari pasar Afrika.
Mungkin efek samping dari diplomasi soft power ini agak sulit diteladani oleh merek-merek lain yang ingin mempenetrasi pasar Afrika, namun kisah inspirasional ini bisa menjadi insight yang powerful tentang invisible relationship antara dunia politik dengan dunia bisnis, terutama pemasaran.
Di awal abad ke-21, India dan China telah menyadari posisi strategis dan kekuatan pasar Afrika. Kekuatan pasar Afrika ini serupa dengan kekuatan pasar China dan India yang sekarang telah dituai oleh dunia bisnis internasional. Dalam Sino-Africa Summit di tahun 2006, China telah berjanji untuk berinvestasi USD 5 milyar dalam bentuk pinjaman uang dan kredit. Di 2008 India-Africa Summit, konglomerat India seperti Mahindra, Tata, Ranbaxy dan Kirloskar memasuki pasar Afrika secara serentak. Jepang dan Korea juga telah melakukan investasi cukup besar.
Euforia negara-negara maju dengan stock market-nya, juga sudah mulai membanjiri Afrika. Selain itu, spirit entrepreneurship bahkan menjadi motor penggerak perubahan positif yang cukup powerful, ketika pemerintah negara-negara Afrika menjadi penghalang daripada pendorong kemajuan. Ketika pekerjaan langka, berwirausaha menjadi pilihan. Ketika listrik negara dicabut, memasok genset dan generator menjadi pilihan. Terlepas dari infrastruktur dan transportasi yang pas-pasan di berbagai negara Afrika, para pebisnis internasional bisa membaca potensi pasar ini yang berpijak dalam prinsip akar rumput (grass root)-nya.
Perusahaan-perusahaan multinasional seperti Unilever, Novartis, Coca-Cola, dan Colgate-Palmolive mempunyai program-program social responsibility yang membantu meningkatkan kesejahteraan stakeholders, termasuk para konsumen. Karena, di negara yang “carut marut” biasanya servis-servis publik tidak berjalan semestinya, sehingga banyak kesempatan yang bisa diisi oleh sektor swasta. Dengan paradigma “social responsibility,” good faith kemanusiaan bisa membawa kesempatan bisnis di masa depan karena pada dasarnya “konsumen yang sejahtera adalah repeat consumer.”
Abad ke-21 ini seringkali dijuluki sebagai “Abad Asia.” Abad ke-20 yang lalu dikenal sebagai “Abad Amerika” dan abad ke-19 sebagai “Abad Eropa.” Mungkin abad depan maupun beberapa dekade dalam abad ini patut disandang sebagai “Abad Afrika” karena potensinya yang luar biasa. Kesempatan para pebisnis Indonesia yang ingin “go global” masih terbuka lebar di Afrika. Business environment yang “mirip” antara Indonesia dengan negara-negara di Afrika memungkinkan penetrasi bisnis yang relatif cukup lancar.[]
Kontan, 7-13 Mei 2012