Select Page


[Jennie dengan kardigan Juicy Couture di depan kantor pusat Apple di Cupertino. Sekali2 jadi ilustrasi artikel sendiri boleh dong.]


[Download PDF KONTAN DAILY Ke Mana Juicy Couture?]

oleh Jennie M. Xue

Di tahun 1990an dan sebelum Resesi Global 2008, tracksuit olah raga yang terdiri dari kardigan dan celana panjang berbahan velour warna-warni dengan logo emblem ala kerajaan Juicy Couture (JC) di bagian punggung tampak memenuhi mal-mal internasional di kota-kota metropolitan dunia seperti Los Angeles, London, dan Jakarta. Selain itu, JC dikenal dengan lini aksesoris, celana jins, T-shirt nyaman, dan tas tangan mereka yang tidak kalah luksnya.

Anehnya, beberapa tahun terakhir ini, tidak banyak berita tentang JC. Dan produk-produk unggulan mereka seakan-akan lenyap. Padahal, di Marina Bay Sands mal di Singapura, butik JC masih dapat dijumpai. Hanya saja, popularitasnya menurun jauh.

Ada apa gerangan? Apakah produk-produk JC akan kembali mewarnai kota-kota metropolitan dengan produk-produk luks mereka? Bisa saja.

Pertama, JC punya sejarah keberhasilan dan pasang-surut yang panjang.

JC sendiri didirikan oleh ibu muda Pamela Skaist-Levy dan Gela Nash-Taylor di tahun 1995 ketika bisnis maternity wear mereka Travis Jeans for the Baby in You sedang menurun. Di tahun 2003, JC diakuisisi oleh Liz Clairborne (LC) fashion company dan berjaya luar biasa sebesar USD 226 juta.

Di masa jayanya, JC pernah mengeruk USD 605 juta sales per tahun di 2008. Lima tahun kemudian, JC dijual kepada Authentic Brands Group (ABG) dengan harga kurang dari sepertiga dari nilai tersebut. Jadilah 8 November 2013 sebagai hari paling menyedihkan bagi para fan JC karena produk mereka tidak lagi dapat dijumpai di butik-butik eksklusif namun di toserba-toserba kelas menengah seperti Kohl’s.

Dua, JC mempelopori pemasaran dengan influencer jauh sebelum sosial media dan selebgram ada. Caranya, mereka menghadiahi produk-produk luks mereka kepada para selebriti Hollywood dengan harapan dipakai ketika difoto oleh para paparazzi.

Jadilah merek JC viral di seantero dunia ketika Britney Spears, Paris Hilton, Lindsay Lohan, Jessica Alba, dan lainnya tampak mengenakan tracksuit velour dan tas tangan luks khas JC di kaver-kaver dan isi majalah gosip seperti People, Star, Us Weekly, OK! dan sebagainya.

Tiga, produk-produk JC sangat memperhatikan faktor kenyamanan dan ilusi langsing pemakai. Faktor ini sangat penting sebagai penjaga kualitas produk. Dengan cutting pola yang menjaga bentuk tubuh perempuan agar tetap chic dan langsing, JC telah beberapa langkah di muka dibandingkan dengan merek-merek lainnya.

Bisa jadi, ini merupakan faktor pembeda produk penting yang mampu membuatnya bertahan dan bangkit dari keterpurukan.

Empat, digital marketing telah menjadi inti outreach mereka ke Generasi Z dan para milenial yang kini telah menjadi ayah dan ibu muda. Setelah belasan tahun mungkin meninggalkan JC, konsumen masa lalu mereka diharapkan dapat menjadi evangelis merek di masa depan.

JC adalah salah satu merek luks pertama yang mempromosikan produk mereka dengan aplikasi Snapchat. Dengan Snapchat story, merek JC tetap tayang selama 24 jam sehingga punya “staying power” dengan biaya relatif rendah dibandingkan dengan promosi konvensional.

Lima, setidaknya JC berhasil melampaui masa resesi 2008 di mana omzet menurun sangat jauh, sehingga nilai jual hanya mencapai USD 195 juta. Ini patut diacungkan jempol, mengingat JC bisa dibilang dalam kondisi “koma” ketika diakuisi oleh ABG.

Semua butik JC telah ditutup namun ada beberapa di pasar-pasar penting seperti di Singapura, masih ada. Namun karena era pasca-resesi 2008 masih masa-masa prihatin bagi konsumen, JC mengadaptasikan produk-produk mereka dengan streetwear para penganut hip hop.

Jadilah pada tahun 2017, di bawah creative director baru Jamie Mizrahi, para influencer seperti Kylie Jenner dikerahkan untuk rebranding. JC kembali ikut serta dalam New York Fashion Week dengan Paris Hilton sebagai brand ambassador.

Produk-produk JC pun kembali dijual di department store papan atas seperti Nordstrom dan Bloomingdale’s dengan price range antara USD 30 hingga USD 400. Price point yang menggiurkan mengingat afordabilitas yang dikombinasikan dengan produk nyaman dan melangsingkan.

Strategi produk luks JC untuk bertahan di tengah gonjang-ganjing ekonomi makro dan hantaman perilaku konsumen perlu dihargai. JC cukup dewasa untuk memahami bahwa keberadaan merek sangat dipengaruhi oleh kondisi makro dan kondisi finansial para konsumen, sehingga mereka berani downgrade dari produk desainer eksklusif menjadi produk kelas menengah.

Jadi, akankah JC kembali berjaya? Kemungkinan ini tentu ada. Mari kita tunggu kiprah mereka di tahun 2020.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 6 Desember 2019

Pin It on Pinterest

Share This