Select Page

hands2_450

[Download PDF KONTAN Weekly Kapitalisme Berkesadaran]

oleh Jennie M. Xue

Kapitalisme adalah “mesin pencetak uang” yang jitu. Secara sistematis, konsumen dibuat tergiur akan berbagai produk. Dari R&D hingga para professional marketers mempunyai satu gol: menjual sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin dan dengan biaya seminimal mungkin. Begitu Anda membuka mata di pagi hari, hingga menutup mata di peraduan di malam hari, Anda terekspos dengan ribuan produk yang merangsang berbagai impulsi membeli.

Deskripsi seperti di atas memang masih sering digunakan, terutama di antara para pebisnis yang tidak memperdulikan bagaimana keadaan dunia dan umat manusia dalam beberapa dekade di muka. Dan bagi para penganut Hayek dan Friedman, ini tidak terbayangkan karena bukankah “tanggung jawab para pebisnis adalah terhadap para pemegang saham”?

Co-founder raksasa retail produk organik John Mackey dan profesor Conscious Capitalism di Babson College Raj Sisodia dalam buku mereka Conscious Capitalism: Liberating the Heroic Spirit of Business, berargumen bahwa korporasi sangat berperan dalam membentuk dunia dan peradaban, termasuk segala bentuk kekurangan dan hal-hal negatif. Dan di tangan korporasi pula, perbaikan lingkungan dan berbagai masalah kemanusiaan bisa diatasi.

Corporate Social Responsibility (CSR) bukan satu-satunya jalan. Perlu disadari bahwa CSR yang sesekali atau hanya sebagian kecil dari budget operasional tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan alam dan peradaban yang telah terjadi ratusan tahun. CSR yang sesungguhnya mempunyai dimensi jauh lebih dalam, yaitu segala sumber materi produksi, sumber daya manusia, dan properti tempat bekerja harus bebas dari berbagai bentuk opresi terhadap sesama manusia, lingkungan, dan masa depan yang berkesinambungan.

Empat prinsip Kapitalisme Berkesadaran adalah: memiliki tujuan yang lebih besar, integrasi stakeholder, kepemimpinan berkesadaran, dan kesadaran akan kultur dan manajemen. Dengan kata lain, seorang pebisnis perlu mempunyai kesadaran bahwa setiap keputusan bisnisnya mempunyai akibat positif dan negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang bagi korporasi, stakeholder, dan seluruh peradaban manusia.

Seorang CEO korporasi perlu mempunyai kesadaran akan kemanusiaan yang jauh melebihi orang lain pada umumnya dalam hal kualitas maupun kuantitas. Sehingga ia mampu memimpin perusahaan untuk kebaikan dan perbaikan peradaban manusia.

Korporasi-korporasi raksasa yang telah bangkrut seperti Enron, WorldCom, Kmart, dan Kodak hanya berfokus kepada keuntungan jangka pendek yang ditunjukkan oleh profit dalam pembukuan. Overleveraging di era pra-2008 telah membawa kegagalan besar bagi Fannie Mae, Bear Sterns, Lehman Brothers, Countrywide, dan lainnya. Lobi-lobi Citigroup di Washington DC juga dikenal sangat berpengaruh terhadap kebijakan finansial AS, termasuk resesi besar terakhir.

Sosialisme juga bukanlah satu-satunya jawaban dari kapitalisme. Konsep “kapitalisme” bisa dan harus direvisi. Dengan kapitalisme, kompetisi semestinya bisa berjalan secara positif sepanjang berbagai insentif dan intelektualitas diinternalisasi. Dan revisi dengan berbagai optimalisasi perlu ditekankan, seperti upah sesuai biaya hidup wajar, welfare budget negara, persentase partisipasi BUMN dalam PDB nasional, penerapan pajak dengan braket yang tepat, dan kontrol ketat terhadap industri keuangan dan perbankan.

Konsep kapitalisme tradisonal mengenal tiga elemen yaitu bisnis, planet, dan masyarakat (atau “peradaban,” dalam istilah penulis) saling berpotongan. Jadi ada bagian-bagian yang tidak overlap dan berdiri sendiri sehingga terjadi “keganjilan” dan timbul friksi.

Dalam konsep kapitalisme “berkesadaran” alias “conscious capitalism,” tiga elemen tersebut berada dalam satu lingkaran utuh, di mana tidak ada batas lagi antara bisnis, planet, dan peradaban. Setiap keputusan bisnis berarti mengambil keputusan juga untuk planet dan peradaban. Tiga elemen ini dipertimbangkan secara sekaligus dan pada saat yang sama.

Bukanlah “profit” suatu bisnis apabila menimbulkan social debt (hutang sosial) maupun sampah lingkungan dan intelek bagi peradaban dan planet Bumi tercinta. Profit alias “keuntungan” harus mempunyai tiga dimensi, yaitu: baik untuk bisnis, baik untuk planet, dan baik untuk peradaban manusia.

Sebuah bisnis tidak perlu mempunyai visi untuk menjadi “pahlawan,” namun “kapitalisme berkesadaran” secara otomatis menjadikan setiap bisnis berspirit heroik. Setiap bisnis dan pebisnis adalah caretaker alias “penjaga” lingkungan dan peradaban manusia. Karena tanpa peradaban yang berjalan baik, tidak ada konsumsi bagi bisnis yang membawa keuntungan finansial, bukan?[]

KONTAN Weekly, 10-16 Agustus 2015

Pin It on Pinterest

Share This