Image Source: TechCrunch.com
[Download PDF KONTAN DAILY Jumia, Amazon dan Alibabanya Afrika]
oleh Jennie M. Xue
Jumia.com.ng adalah e-commerce operator terbesar di Afrika, mengalahkan Amazon dan Alibaba. Wow, hebat sekali.
Lebih hebat lagi, Jumia adalah startup teknologi pertama asal Afrika yang telah go public di NYSE pada bulan April kemarin. Sebagai favorit investor, saham Jumia melonjak 75 persen pada hari pertama trading dengan market cap USD 3,9 miliar.
Namun ternyata saham cepat menukik turun setelah munculnya kritikan dari para pengamat investasi. Salah satu kritikannya adalah para pendirinya yang kebanyakan berasal dari Eropa. Jadi, hanya pasar Jumia yang Afrika, namun pendirinya masih mereka yang berasal dari negara-negara maju Eropa.
Awalnya, Jumia didirikan pada tahun 2012 oleh para mantan eksekutif McKinsey bernama Jeremy Hodara dan Sacha Poignonnec. Sedangkan partner asal Afrika mereka bernama Tunde Kehinde dan Raphael Kofi Afaedor.
Kini Jumia dapat ditemui di Lagos, Mesir, Moroko, Pantai Gading, Kenya, Afrika Selatan, Uganda, Tanzania, Ghana, Kamerun, Aljeria, dan Tunisia. Di Afrika Selatan, mereka dikenal sebagai Zando.co.za.
Kini Jumia mempunyai 4,3 juta pengguna dan 81.000 seller aktif. Selain itu, mereka juga masih loss alias merugi sebesar USD 1 miliar. Namun posisi merah ini tidak membatalkan niat go public sebagaimana startup-startup lainnya.
Terlepas dari berbagai masalah infrastruktur, kultural, dan finansial yang umum dialami di Afrika, Jumia punya “trik” tersendiri untuk bertahan, seperti menawarkan “pay on delivery.” Taktik ini juga banyak ditawarkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam pembayaran pasca pembelian online.
Di akhir 2015, Juliet Anammah mulai berperan sebagai CEO. Dengan growth 265 persen dari 2014 ke 2015, prestasi ini meroketkan posisi Jumia sebagai unicorn asal Afrika pertama dengan valuasi USD 1 miliar di tahun 2016.
Tren cryptocurrency dunia menggerakkan Jumia untuk berpartner dengan Telcoin yang dijadikan alat pembayaran. Di penghujung 2018, Jumia dan Carrefour bekerja sama untuk menjual produk-produk secara online di Benua Afrika.
Gebrakan terbaru Jumia adalah go public di New York Stock Exchange dan berhasil memperoleh USD 196 juta dana investasi. Per saham dijual sebesar USD 14,50 dan berhasil naik 200 persen sebelum menukik turun.
Sayangnya, satu bulan setelah go public, Citron Research menemukan berbagai keganjilan mengenai metriks finansial Jumia dalam F-1 filing. Citron sendiri melaporkan keganjilan-keganjilan tersebut dan meninta agar SEC menginvestigasinya.
Selain keganjian metriks finansial, Jumia juga punya masalah internal yang diwarnai dengan premis “Jumia bukan perusahaan Afrika.” Jumia adalah perusahaan Jerman, bukan Nigeria. Dua CEO-nya adalah warga Perancis. Tim IT berbasis di Portugal. Kantor pusatnya di Dubai.
CEO Sacha Poignonnec berargumen bahwa Jumia mempunyai 5000 pegawai di Afrika, jadi ini adalah korporasi Afrika tulen. Faktanya, sebagai startup IT, tidak banyak programmer yang berbasis di Afrika.
Dengan populasi 1,216 miliar jiwa, Benua Afrika merupakan pasar super besar yang siap untuk dipetik. Tentu ini membutuhkan kesabaran dan kerja sama antar negara agar bisnis e-commerce di sana dapat berjalan.
Afrika sebagai benua unik, infrastruktur offline dan online masih membutuhkan penanganan. Belum lagi edukasi pengguna platform e-commerce yang perlu ditingkatkan.
Bisakah Jumia mempertahankan diri sebagai unicorn pertama asal Afrika? Bisakah ia menyaingi Amazon dan Alibaba?
Sebagai e-commerce operator, baik yang berbentuk marketplace atau single stores, bagaimana pasar Afrika? Sepanjang produk-produk yang dijual memenuhi kebutuhan dan tren Afrika, tentu besar sekali kans di sana. Payment on delivery masih dibutuhkan.
Selamat brainstorming untuk penetrasi pasar Afrika.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 26 Juli 2019