Select Page

[Download PDF KONTAN DAILY Jadilah Ryan Holiday Pemasar Ulung]

oleh Jennie M. Xue

Pernah mendengar nama Ryan Holiday? Mungkin ya, kemungkinan besar belum. Ryan adalah pemasar ulung yang melambungkan nama-nama besar rapper 50 Cents dengan bukunya The 50th Law, Robert Greene penulis The 48 Laws of Power, Tim Ferris penulis The Four-Hour Workweek, Tucker Max penulis I Hope They Serve Beer in Hell, perusahaan fashion kontroversial The American Apparel, dan lain-lain.

Ryan Holiday adalah growth hacker sejati. Dengan bermodalkan artikel-artikel disruptif di dunia maya, ia mampu memanipulasi media untuk berpihak kepadanya sehingga melambungkan berbagai kampanye. Efeknya tentu meningkatkan angka penjualan hingga berjuta-juta dollar.

Bagaimana kehebatan Ryan sebagai marketer yang perlu kita pelajari?

Buku terbarunya berjudul Obstacle is the Way dikenal dengan daya disrupsi luar biasa. Sebagai penganut filosofi Stoicism, ia menuliskan bagaimana ia menerima (accepting) kondisi dunia luar sebagaimana adanya dan berperilaku transenden melampaui (beyond) segala masalah yang dihadapi.

Prinsipnya, Ryan tidak menghindari masalah namun menghadapi face-to-face setiap masalah yang dialami dan bergerak melampauinya. We go through obstacles, not around them.

Dengan filosofi ini, Ryan bak jendral perang menghadapi berjuta-juta kompetitor di dunia maya yang berlomba-lomba untuk memenangkan currency terkini: atensi. Ya, atensi atau perhatian para pengguna Internet adalah currency terpenting era digital ini.

Lima “melek digital” versi Ryan Holiday yang perlu kita pelajari, baik sebagai pengguna Internet maupun sebagai pemasar.

Satu, ketrampilan (skill) mem-filter informasi yang dapat dipercaya, tren, dan hoax. Skill ini sangat penting untuk dimiliki siapapun, baik warga biasa maupun para marketer. Terlalu banyak berita-berita palsu (fake news) di Internet yang sangat tinggi resikonya untuk dipercaya.

Dua, ketrampilan menunggangi tren terbesar (riding the wave). Kenali tren-tren terbesar dan gunakan tren tersebut sebagai salah satu angle atau elemen dalam pemasaran. Sebagai contoh, Kindle ebook merajai pasar buku elektronik dunia (kecuali di Indonesia, sayangnya), sehingga medium ini sangat berharga sebagai lead generation sepanjang digunakan secara cerdas.

Tiga, ketrampilan mengkomunikasikan informasi dengan angle berbeda sehingga mendapatkan sorotan media. Istilahnya mungkin “numpang tenar.” Ketika Kim Kardashian dengan foto bokongnya yang terkenal tersebut beredar viral di sosmed, banyak sekali yang membuat parodinya. Parodi-parodi tersebut merupakan salah satu bentuk “numpang tenar” dengan mengkomunikasikan sesuatu secara berbeda.

Empat, ketrampilan memberikan informasi disruptif secara cuma-cuma. Hampir semua growth hacker jenial pernah memberikan produk-produk digital gratis, seperti ebook dan video/audio. Ini membutuhkan ketrampilan tersendiri dalam mendistribusikannya secara masif. Tentu saja informasinya perlu disruptif, agar efek viral diperoleh.

Lima, ketrampilan mem-viral-kan informasi melalui berbagai platform maya. Ini merupakan elemen growth hack (meretas pertumbuhan) bisnis yang paling berharga. Ketrampilan ini memerlukan kemampuan analisis emosi dan psikososial yang tinggi. Viralitas biasanya dilandasi oleh emosi dan nilai jual tinggi.

Para online marketer dibayar sangat tinggi apabila mereka mampu mem-viral-kan informasi klien mereka dalam sekejap. Blog-blog viral seperti LittleThings.com dan BuzzFeed.com sangat diminati para marketer karena efek viralnya yang menghebohkan. Namun efek sampingnya adalah munculnya berbagai jenis informasi palsu alias hoax dan fake news yang perlu difilter secara jeli.

Singkatnya, faktor-faktor pendorong ekonomi dan politik kini sangat mengandalkan penyampaian informasi di dunia maya. Bagaimana informasi pemasaran dikawinkan dengan nilai berita mempunyai daya jual luar biasa. Ini merupakan kesempatan emas bagi mereka yang menguasai informasi.

Jurnalisme memang semakin terkompromi dan ini merupakan tantangan bagi dunia akademis dan para jurnalis untuk mempertahankan kemurniannya. Bahkan jurnalisme konvensional pun kini mengenal “sponsored content” yang tampak seperti berita namun mempunyai angle promosi terselubung. Intinya, sepanjang “sponsored content” dideklarasikan, etika jurnalisme tidak terkontaminasi.

Sebagai konsumen informasi, kita perlu melek hoax, framework, dan angle penyampaian informasi. Sebagai pemasar, kita perlu menjadi reputasi produk dan penyampai informasi. Sebagai entrepreneur, satu informasi viral mungkin dapat menghasilkan omzet miliaran Rupiah. Kita perlu cerdas.[]

KONTAN DAILY, Jumat 3 Februari 2017

Pin It on Pinterest

Share This