Select Page

Logo koran tempo 200 

[Baca langsung di Koran Tempo.]

oleh Jennie S. Bev

Presiden Iran
terpilih yang dikenal moderat Hasan Rowhani menjanjikan transparansi atas
program nuklir mereka. Ia juga menjanjikan pemulihan hubungan baik dengan
Barat, terutama AS dengan harapan sangsi-sangsi ekonomi, perdagangan, sains,
dan militer bisa dicabut. Ia juga mengatakan bahwa Iran mempunyai hak atas
tenaga nuklir dan ini akan dipegangnya dengan teguh, sepanjang tidak melanggar
hukum dan konvensi internasional.

Namun Rowhani
mempunyai keterbatasan. Iran yang negara teokrasi menempatkan para ulama di
bawah pimpinan Ayatollah Ali Khamenei sebagai pemegang keputusan akan
kebijakan-kebijakan nuklir, pertahanan, dan hubungan luar negeri. Para ulama
ini dilindungi oleh Pengawal Revolusi. Kemoderatan Rowhani memang merupakan
angin segar bagi Barat dan dunia internasional, namun bisa jadi merupakan
bumerang dan berupa “noise” saja. Bagaimana Rowhani mengimbangi kekuatan para
ulama masih perlu kita tunggu.

Terminologi “Barat”
di sini dipakai untuk menunjuk P5 plus 1 yang termasuk: Cina, Rusia, Jerman,
Perancis, Inggris Raya, Uni Eropa, dan AS. Terminologi ini tidak digunakan
untuk menunjuk dunia internasional keseluruhan dengan 120 negara anggota
Gerakan Tanpa Aliansi (Non-Aligned Movement). 

Bahwa Iran
mempunyai niat untuk menggunakan tenaga nuklirnya untuk kepentingan penyerangan
bom sesungguhnya masih merupakan spekulasi. Catatan sejarah menunjukkan bahwa
semestinya Iran mempunyai niat damai dengan tenaga nuklirnya. Melalui tangan
Shah, Iran merupakan salah satu penandatangan (signatoris) Non-Proliferation of
Nuclear Weapons (NPT) pada tanggal 1 Juli 1968.

Terhitung 1979,
Iran sudah mempunyai program tenaga nuklir sipil dengan dua reaktor di Bushehr
di Gulf Persia. Tidak lama kemudian, Iran mengalami revolusi, sehingga Iran dan
AS bukanlah lagi aliansi yang akrab. Sebelum Revolusi Iran tahun 1979, AS
mempunyai tiga alasan untuk beralisansi dengan Iran: suplai energi minyak bumi,
dukungan Iran bagi Israel, dan mempromosikan demokrasi dan kebebasan. 

Sebelum revolusi
tersebut, Iran merupakan pendukung Israel. Di masa itu pula, Ayatollah Ali
Khamenei merupakan oposisi politik Shah yang pernah dikirim ke pengasingan di
bawah pengawasan AS dan Shah. Kebangkitan tradisi Shi’a dengan tradisi agama
yang kuat memutarbalikkan kekuasaan atas proksi yang selama ini dipegang Shah.
AS mengalami pukulan politis. 

Kekuatan politik
Shi’a sebagai pembela yang lemah dan terinjak bertentangan dengan para aliansi
di Gulf. Saddam Hussein, misalnya, dikenal boros dan bergaya hidup mewah. Para
ulama Shi’a memegang nilai-nilai kesederhanaan. Namun tentu saja ini bukan
ukuran yang sahih mengenai kemungkinan penggunaan tenaga nuklir untuk merebut
kekuasaan dunia. Ini hanya sebagai ilustrasi perbedaan cara pandang dan
hubungan antara pemegang kekuasaan atas energi minyak dan pengelola sumber daya
bagi kepentingan nasional alias “rakyat.” 

Sekitar satu
setengah tahun Revolusi Iran, Irak menyerang Iran. Perang Iran-Irak berlangsung
selama delapan tahun. Irak dan para penguasa aristokrat negara-negara Gulf
memandang Khamenei sebagai “pemberontak.” Selama Perang Iran-Irak, AS memihak
Irak. Di sini dimulai posisi AS sebagai anti Iran. Dalam masa dan konteks ini
pula, Iran membentuk aliansi dengan Hizbollah di Lebanon dan Hamas di Gaza.
Semakin “buruk”-lah Iran di mata AS.

Pembekuan aset
Iran semasa Revolusi Iran oleh President Jimmy Carter dengan Executive Order di
bulan November 1979 yang membekukan $12 milyar. Dengan invasi Iran oleh Irak di
tahun 1984, AS meningkatkan sangsi terhadap Iran dengan pelarangan penjualan
senjata dan segala macam bantuan AS. Presiden Ronald Reagan melarang ekspor dan
impor perdagangan dari dan ke Iran.

Pasca 9/11 tahun
2001, Iran mengajukan diri untuk membantu AS menumpas Al Qaeda, yang disaksikan
oleh Hillary Mann, seorang US Representative di Gedung PBB di New York City.
Namun menurut Peter Osborne dan David Morisson dalam A Dangerous Delusion: Why the West is Wrong about Nuclear Iran
(Elliott and Thompson, Juni 2013), administrasi Bush tidak menanggapinya.

Menurut sumber
yang sama, AS melalui diplomat James Dobbins yang memimpin delegasi AS di 2001
Bonn Agreement on Afghanistan di tahun 2002 dan 2003, Khamenei kembali
mengajukan diri untuk bekerja sama soal perbedaan-perbedaan persepsi program nuklir mereka dan membantu usaha perdamaian di Afghanistan dan Irak. AS
kembali menolak.

Kepentingan AS di
masa lampau akan sumber daya minyak, ideologi demokrasi, dan dukungan Iran bagi
Israel yang tidak terlaksana, tampaknya masih menjadi momok bagi hubungan
antara Iran dengan AS sampai sekarang. Juga ribetnya sangsi-sangsi ekonomi, perdagangan,
sains, militer, dan bantuan merupakan salah satu benang kusut dari “masalah
nuklir Iran di mata AS.” 

Non-Proliferation
of Nuclear Weapons (NPT) sendiri merupakan treaty yang unik. Para penandatangan
NPT terbagi atas dua kategori: negara-negara yang memiliki nuklir dan
negara-negara yang tidak memiliki nuklir. Para pemilik nuklir sebelum 1 Januari
1967 adalah: Cina, Perancis, Rusia, Inggris Raya, dan AS. Iran saat itu
termasuk yang di dalam kategori kedua. Dalam pasal ke-4 NPT tertulis, “..untuk
meneruskan negosiasi dengan itikad baik mengenai penanganan efektif dalam hal
pelucutan nuklir..” Tidak ada ada batas waktu saoal “pelucutan nuklir” ini yang
merupakan legal loophole tersendiri.

Sampai saat ini,
lima negara pemilik nuklir masih belum menghentikan program nuklir mereka dan
negara-negara dalam kategori kedua tetap dilarang untuk memiliki senjata nuklir.
Pengecualian penggunaan nuklir untuk kepentingan sumber daya listrik diizinkan
atas pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA). Negara-negara
pemilik nuklir untuk kepentingan sumber daya listrik sekarang termasuk: Jepang,
Belanda, Argentina, Brazil, Jerman, dan Iran. Di samping itu, Israel dan India
memiliki tenaga nuklir namun tidak (atau “belum”?) menandatangani NPT.

AS tidak ada
masalah dengan lima negara pemilik nuklir lainnya plus Israel dan India, namun
tidak demikian dengan Iran. Mengapa? Karena apabila Iran “diberikan lampu
hijau” untuk melanjutkan program nuklirnya, maka ini berarti AS menarik
sangsi-sangsi yang diterapkan bagi Iran.

Indonesia sendiri
sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam menempati bumi yang sama.
Bahwa Indonesia mempunyai hubungan relatif spesial dengan AS melalui Barack
Obama dan hubungan “fraternitas” sesama Muslim dengan Iran belum mempunyai efek
dalam konstelasi ini. Obama tampaknya masih melanjutkan “kebijakan” Bush soal
“nuklir Iran.” Hillary Clinton dalam bulan Maret 2011 menyatakan bahwa Iran
“mungkin” akan bisa melanjutkan program uraniumnya di masa mendatang sepanjang
merespons harapan-harapan komunitas internasional.

Bisakah Hasan
Rowhani memperbaiki hubungan Iran-AS sehingga program nuklir Iran tidak lagi
dipandang sebagai “ancaman” bagi dunia? Ini merupakan salah satu proyek besar
bagi Rowhani.[]

Koran Tempo, Kamis 20 Juni 2013

Pin It on Pinterest

Share This