Select Page


[Download PDF KONTAN DAILY iPhone dan Keserakahan Apple]

oleh Jennie M. Xue

Harga saham iPhone di bursa sedang menukik ke bawah sejak akhir 2018 dan awal tahun 2019. Perusahaan bernilai trilyunan USD ini sedang mengalami masa pasca maturitas.

Para analis dari Gartner menyatakan bahwa penjualan iPhones turun 9 juta unit terhitung Q4 2017. Penjualan iPhone mencapai puncaknya di 2015 dengan 231,2 juta unit.

Market share juga turun dari 17.9 persen ke 15.8 persen. Sedangkan saingannya dari China Huawei naik dari 10.8 persen ke 14.8 persen.

Dua hal penyebab langsung dari menurunnya kelarisan iPhone adalah harga yang sangat tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif serupa dari Asia dan semakin panjang waktu pemakaian iPhone versi-versi lampau mengingat inovasi fitur-fitur baru masih tersendat.

Dalam bisnis smartphone, inovasi adalah kunci sukses terpenting. Menurut Fast Company, ranking inovasi Apple sendiri turun super drastis dari peringkat paling atas nomor satu hingga ke-17, sedangkan Grab yang berbasis di Singapura telah menduduki posisi ke-2.

Dan pelanggaran paten yang dilakukan oleh Apple dalam iPhone 7 dan 8 telah dimenangkan oleh Qualcomm. Jadilah kini Apple diharuskan oleh keputusan hukum untuk menggunakan hardware Qualcomm.

Inovasi Samsung smartphone yang dapat dilipat bernama Samsung Galaxy Fold menikam Apple lebih dalam ke lembah keterpurukan. Hingga hari ini, Apple belum menampakkan desain folded smartphone serupa. Kali ini, Apple kalah telak skak mat dari Samsung.

Revenue model Apple sendiri sebenarnya bermasalah. Ketika para kompetitor berharga jual kurang dari separuhnya, produk-produk Apple berharga selangit, dimulai dari $999 untuk iPhone terbaru.

Kok tinggi banget harga produk-produk Apple? Apakah benar kualitasnya bisa berkali-kali lipat kompetitor? Jawaban pertanyaan ini adalah satu: Apple Tax.

“Apple Tax” adalah terminologi yang mengacu kepada harga selangit tidak identik dengan kualitas berlipat-lipat, namun unsur “cool.” Jadi, “Apple Tax” berunsur psikologis.

Hebatnya, para konsumen “tersandera” dengan ekosistem Apple yang memudahkan sync antar gadget dan komputer. iTunes dan App Store mencengkeram konsumen, sehingga berpindah ekosistem ke Android, misalnya, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Biaya manufacturing iPhone X naik 25 persen dibandingkan dengan iPhone 8. Namun harga jual iPhone 8 hanya USD 357, sedangkan iPhone X mencapai USD 999. Profit margin mencapai 64 persen. Dan ini merupakan salah satu strategi buruk yang kini berbuah pahit.

Para konsumen di China, India, Brazil dan Turki tampaknya semakin muak dengan Apple yang semakin tidak terjangkau. Harga iPhone terbaru 5 kali lipat harga Xiaomi dan 3 kali lipat harga Huawei. Kedua kompetitor ini semakin bagus kualitasnya sehingga pukulan ini sangat telak bagi Apple.

Ekonomi China sendiri sedang menurun, jadilah consumer buying power juga menurun. Kompetitor-kompetitor smartphone China menikmati rendahnya loyalitas konsumen di Negeri Panda ini dibandingkan konsumen AS yang lebih fanatik.

Para pemakai iPhone versi-versi lampau kini lebih banyak yang mengganti baterai dengan yang baru daripada membeli versi terbaru. Konsumen China memang dikenal lebih irit dan resourceful dalam menggunakan produk-produk lama.

Perang dagang (trade war) antara China dan AS menjadikan kondisi makro China yang telah menurun menjadi semakin tidak menguntungkan bagi Apple. Dan secara global, pengguna iPhone sudah semakin rendah excitement-nya.

Dengan kata lain, iPhone sudah “tidak seksi” lagi di mata para pengguna. Padahal, produk-produk Apple tidak hanya punya “cool factor,” tapi juga telah transenden sebagai produk-produk luks alias mewah.

Untuk produk-produk luks, cult following perlu mempunyai keyakinan bahwa tidak ada lagi merek lain yang dapat menggantikannya. Hermes dan Louis Vuitton, misalnya, akan tetap punya penggemar super fanatik. Apple idealnya demikian pula, namun faktanya jumlah mereka semakin mengecil dari tahun ke tahun.

Apakah Apple dan iPhone punya kesempatan untuk bangkit lagi di tahun-tahun berikut? Pasti ada, namun kita perlu bersiap mental apabila mereka sudah sunsetting mengingat para kompetitor punya daya inovasi yang lebih tinggi dengan pricing yang lebih terjangkau. Saat ini.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 1 Maret 2019

Pin It on Pinterest

Share This