Select Page

Kontan

Download KONTAN Insentif Pajak Bagi Neksus

oleh Jennie S. Bev

(Edisi yang belum diedit.)

Cupertino salah satu kota di Silicon Valley yang ternama dengan Apple, Steve Jobs dan Steve Wozniak terletak hanya 50 menit dari kediaman saya. Banyak yang mengira bahwa Cupertino adalah tempat kelahiran dan neksus resmi Apple. Neksus (atau “nexus”) sendiri adalah terminologi yang berarti “hubungan relasional dengan suatu tempat atau tempat sebagai pusat.” Dalam konteks perpajakan dan hukum, “nexus” berarti domisili perpajakan dan domisili hukum.

Dalam bisnis global yang sekarang terpompa dengan Internet yang memungkinkan neksus terpisah dari lokasi fisik, ini merupakan kesempatan emas bagi negara-negara yang mempunyai sumber daya alam terbatas dan mengandalkan sektor-sektor intelektual. Singapura, Luxembourg dan Irlandia, misalnya sangat terbuka bagi investasi asing termasuk yang bersifat bisnis virtual dengan pajak pendapatan yang rendah (low income tax rate).

Tax planning seperti ini dimanfaatkan oleh Apple yang bisa menjadi benchmark case study bagi perusahaan-perusahaan lain.  Di Irlandia, misalnya, pajak pendapatan hanya 12.5 persen sedangkan di California 35 persen. Negara bagian Nevada dan Delaware juga menarik karena tidak menarik capital gain tax dan corporate income tax. Ini juga menjawab mengapa Zappos berbasis di Nevada lengkap dengan call center dan warehouse-nya. Juga bisa dijumpai subsidiaries Cisco, Microsoft, Harley-Davidson dan lain-lainnya di dua negara bagian ini.

International tax planning yang efisien menurunkan jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Apple. Tahun lalu (2011), Apple membayar USD 3.3 miliar dari keuntungan USD 34.2 miliar. Ini berarti Apple membayar pajak global dengan rate 9.8 persen. Bandingkan dengan Wal-Mart yang membayar pajak dengan rate 24 persen sebesar USD 5.9 miliar dari keuntungan sebelum pajak USD 24.4 miliar.

Bagaimana dengan Indonesia? Berapa besar pajak yang perlu dibayarkan oleh usaha-usaha ber-neksus Indonesia? 

Cukup besar, yaitu 25 persen flat rate, terhitung 2010. Perusahaan terbuka (Tbk) dengan persyaratan listing minimum 40 persen mendapatkan tax discount 5 persen, sehingga tax rate efektif 20 persen. Perusahaan beromzet tidak lebih dari IDR 50 miliar mendapat tax discount 50 persen yang diterapkan terhadap omzet senilai maksimal IDR 4.8 miliar.

Cukup menarikkah tax rate demikian bagi usaha-usaha transnasional? Indonesia bukanlah tax haven, apalagi mengingat birokrasi dan segala macam “uang pelicin” yang dalam prakteknya masih diperlukan dalam menjalankan bisnis.

Uniknya, Indonesia negeri berpopulasi besar sehingga pasar domestik sudah cukup untuk memenuhi target omzet disertai dengan kekayaan sumber daya alam yang memberikan kemampuan “swadaya” tanpa memperdulikan pasar internasional. Ini sebenarnya merupakan “perangkap” yang menyebabkan mesin ekonomi Indonesia hanya “jago kandang” alias “tumbuh di dalam rumah kaca.”

Bagaimana jika sumber-sumber daya alam sudah tidak lagi bisa memenuhi pasar domestik? Ingat bahwa minyak fosil hanya dapat memenuhi 15-20 tahun lagi. Bagaimana jika pasar domestik mengalami kejutan-kejutan tertentu sehingga mau tidak mau Indonesia perlu membidik pasar internasional? Jawabannya: mau tidak mau, Indonesia harus mulai memberikan perhatian kepada infrastruktur non-fisik yang menarik bagi usaha-usaha bermodal asing. 

Memang kelihatannya Indonesia “belum perlu” untuk memfokuskan kepada infrastruktur non-fisik, yang termasuk infrastruktur perangkat hukum bisnis dan hukum perpajakan beserta regulasi-regulasinya. Namun seiring dengan globalisasi dan regionalisasi ASEAN Economic Community (AEC) mendatang di tahun 2015, perkembangan ekonomi global sudah sulit dibendung.

Di masa depan, proteksi-proteksi non-tarif yang terlalu berlebihan hanya akan memperlambat laju ekonomi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Negara-negara ASEAN yang progresif dengan insentif sistem pajak yang luwes, seperti Singapura mempunyai kans lebih besar untuk menikmati buah dari globalisasi, investasi-investasi bisnis virtual dan investasi-investasi alih daya (outsourcing). Sampai saat ini, investasi-investasi alih daya di Indonesia masih terbatas di bidang manufacturing. 

Bandingkan dengan Filipina, Malaysia dan Singapura, di mana investasi-investasi alih daya  sudah merambah ke bidang-bidang yang berkaitan dengan HAKI (intellectual property), selain jasa-jasa yang bisa disalurkan secara virtual melalui jaringan Internet. Untuk itu, tentu saja jaringan Internet harus dipercepat dan dipermudah. Bandingkan dengan Singapura yang kecepatan Internetnya sudah mencapai 100 Mbps. 

Insentif perpajakan yang kurang menarik serta lemahnya infrastruktur Internet di Indonesia membuat para investor asing virtual berpikir beberapa kali. Bisa dimengerti mengapa Blackberry lebih tertarik dengan Singapura daripada Indonesia, walaupun UU No.11/2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mewajibkan pemilik Blackberry Research in Motion (RIM) untuk mendirikan data center di Indonesia. Mudah-mudahan dengan Google yang memilih neksus Indonesia berdasarkan besarnya populasi pemakai Internet, bisa menjadi preseden bagi masuknya investor-investor virtual lainnya.

Tugas pemerintah adalah menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat banyak. Dengan kata lain, tugas utama pemerintah adalah menciptakan lingkungan yang kondusif dan memotivasi semangat berusaha dan bekerja, bukan meraup keuntungan dari “mengambil pajak sebagai komisi kesuksesan.” Untuk itu diperlukan iklim yang sehat dan bersih dari korupsi material dan imaterial.

Bayangkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi apabila Indonesia menjadi pilihan neksus bagi perusahaan-perusahaan global dan virtual. Tentu ini perlu diimbangi dengan kesungguhan manajemen negara dan peneluran kebijakan yang membangun mental keseluruhan dan respek terhadap pelaku-pelaku bisnis sebagai motor ekonomi. Sektor pajak merupakan salah satu pertimbangan utama bagi para pelaku bisnis global. Ingat kasus Apple.[]

 Kontan, 21-27 Mei 2012

Pin It on Pinterest

Share This