oleh Jennie M. Xue
Sepanjang sejarah umat manusia, abad ini adalah abad paling inekual (the most unequal century). Inekualitas telah mencapai taraf sangat memprihatinkan dengan para miliarder yang dikenal sebagai “one-percenter” (satu persen) dari populasi dunia menguasai 48 persen kekayaan global di tahun 2014. Sedangkan mayoritas 80 persen dari populasi dunia hanya menguasai 5,5 persen.
Tahun 1970an dengan mode fashion celana cutbrai dan perempuan-perempuan ceking ala supermodel Twiggy merupakan era paling ekual dengan kepemilikan para one-percenter dunia hanya 6 persen dari kekayaan global. Bandingkan dengan hari ini di mana kelompok populasi yang sama menguasai 48 persen kekayaaan global.
Para miliarder USD dan politisi kelas dunia berkumpul satu minggu dalam rapat tahunan World Economic Forum di Swiss untuk mencari formula eradikasi kemiskinan global. Topik yang dibahas antara lain adalah prediksi para satu persen terkaya di dunia akan menguasai 99 persen kekayaan global di tahun berikut.
Data terakhir menunjukkan bahwa 85 individu terkaya di dunia menguasi kekayaan 50 persen dari total penduduk dunia, yaitu identik dengan total kekayaan 3,5 miliar orang. Di tahun 2010 lalu, 388 individu menguasai jumlah yang sama. Pola yang bisa dibaca adalah: Semakin tahun bertambah, semakin sedikit orang yang menguasai mayoritas kekayaan ekonomi global.Bagaimana bisa kekayaan segelintir orang meningkat eksponensial dalam sekejap?
Jawaban singkatnya: Perkembangan teknologi memungkinkan ekspansi aktivitas-aktivitas ekonomi dalam struktur kapitalisme menggurita dengan luar biasa cepat tanpa diimbangi dengan kemampuan regenerasi kembali berbagai sumber daya yang telah digunakan. Selain itu, efek eksponensial dari kapitalisme yang dikawinkan dengan teknologi tidak mampu dikejar oleh berbagai program anti-kemiskinan (anti-poverty program) sehingga malah menimbulkan angka inekualitas tinggi. Angka ini diukur dengan Koefisien GINI yang mendekati angka satu.
Lantas, bagaimana dengan kepemilikan ekonomi perempuan?
Menurut laporan 2012 World Bank, badan PBB bernama UN Women melaporkan bahwa perempuan melakukan 66 persen pekerjaan di dunia dan menghasilkan 50 persen makanan di dunia namun hanya menerima 10 persen dari penghasilan dunia dan memiliki satu persen properti di dunia.
Di sini, terlihat jelas posisi mayoritas perempuan di dunia sangat tidak menggembirakan secara ekonomi. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh para perempuan seperti Anda dan saya?
Akuisisi kapital dengan mendirikan organisasi dan bisnis kecil merupakan bibit pengumpulan kapital dalam berbagai bentuknya. Tentu ini baru bisa dijalankan dengan efisien apabila pendidikan perempuan dan anak-anak memberikan kerangka berpikir yang empowering alias memberikan semangat egaliter antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka Feminisme Gelombang Keempat yang sangat “halus” gradasinya tanpa “memojokkan” laki-laki, namun bersemangat sinergistik dengan kesadaran akan pentingnya anti-seksisme dan anti-misogini.
Struktur-struktur sosial dan hukum yang menempatkan perempuan di posisi yang lemah dibandingkan dengan laki-laki perlu dikikis pelan-pelan dengan berbagai aktivitas sehari-hari di mana perempuan membantu sinergi antar gender dengan berbagai aktivitas yang berlawanan dengan stereotype (praduga). Tentu bisa dimulai dengan partisipasi struktural dengan kuota perempuan dalam organisasi dan perubahan struktur-struktur resmi, termasuk dalam sistem hukum dan sistem perpajakan.
Intinya adalah meningkatkan kesadaran akan kerangka berpikir yang semestinya memperhatikan faktor “zona nyaman” perempuan dan anak-anak. Yang dimaksud dengan “zona nyaman” di sini adalah rasa aman dan nyaman untuk eksis sebagai individu yang berarti bagi seluruh umat manusia secara universal tanpa sekat-sekat gender yang dipertajam oleh berbagai unsur relijius dan kultural.
Tantangan bagi kita semua bukan hanya sebatas memberikan kesadaran akan ekualitas gender, namun juga meningkatkan kesadaran setiap gender untuk mempunyai hak ekonomi yang setara. Hak ekonomi ini perlu ditanamkan sejak usia dini dan bahwa tidak ada “hukum” maupun “norma” apapun yang berhak menempatkan perempuan di bawah laki-laki dalam hal hak ekonomi dan hak otonomi atas tubuh perempuan.
Pertama, setiap perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan besar upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. Ini masih merupakan salah satu problem yang dialami di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat. Para feminis dan aktivis buruh dan HAM masih giat memperjuangkan hak ini.
Kedua, setiap perempuan mempunyai hak untuk menikmati hasil kerja mereka tanpa perlu membayar pajak lebih dengan dalih “perempuan adalah dependen laki-laki sehingga mereka dikenakan pajak lebih tinggi.” Ini masih terjadi di Indonesia di mana perempuan menikah membayar pajak lebih tinggi dengan dalih “ikut suami” dibandingkan dengan persentase pajak yang dibayarkan oleh perempuan belum menikah.
Ketiga, setiap perempuan berhak untuk melakukan perjanjian hukum tanpa perlu “izin” dan “sepengetahuan suami” mengingat setiap laki-laki berhak melakukan perjanjian hukum secara independen dari istri mereka. Hak melakukan perjanjian hukum merupakan hak setiap warga negara di negara manapun di dunia tanpa kecuali.
Keempat, setiap perempuan berhak atas tubuh mereka sendiri tanpa perlu meminta “izin” dan “sepengetahuan suami” dalam melakukan tindakan medis apapun, termasuk yang berhubungan dengan keputusan-keputusan reproduksi dan yang berhubungan dengan organ tubuh. Intinya, setiap manusia mempunyai hak atas tubuh mereka sendiri terlepas dari gender mereka. Dan kewajiban setiap individu di luar diri untuk menghormati tindakan apapun yang diambil.
Posisi perempuan masih jauh dari setara dan patriarki masih terasa sangat membelenggu setiap pilihan dan tindakan. Dalam dunia yang semakin tidak setara secara ekonomi, ini berarti belenggu yang dialami juga terpengaruh oleh unsur ini.
Setiap individu perlu ingat bahwa setiap individu dari gender manapun mempunyai hak untuk dihormati secara ekonomi. Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan Anda. Bangun kesadaran ini.[]