Select Page

Kontan

Download PDF KONTAN Weekly: Indonesia, Surga Investasi?

oleh Jennie S. Bev

Saya
menghadiri Indonesia Investment Summit di Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta
5-7 November yang lalu dengan harapan mendapatkan masukan-masukan akan
sektor-sektor privat yang baik untuk dijadikan tempat investasi, alias membuka
bisnis baru. Sudah diduga, lebih banyak hype-nya daripada kesungguhan realita
di lapangan. Namun, tentu saja menghargai usaha besar dari Pak Wapres Boediono,
Ketua BKPM Chatib Basri, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, dan Menteri Turisme
dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. Sangat besar usaha mereka dalam
mempromosikan Indonesia ke dunia internasional.

Awal
tahun ini, saya juga diundang ke gala dinner di InterContinental Hotel di San
Francisco untuk mendengarkan presentasi dan bertatap muka dengan Wakil Menteri
Keuangan Mahendra Siregar. Pesan-pesannya hampir sama: Indonesia mempunyai
potensi luar biasa yang masih bisa digarap oleh sektor-sektor privat baik
dengan penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri. Dua jenis ekonomi-nya
juga luar biasa: ekonomi manufaktur di Jawa dan ekonomi sumber daya alam di
luar Jawa.

Angka-angka
berikutnya juga sangat menggiurkan: penduduk 243 juta jiwa di mana 60 persen
populasinya berusia produktif 39 tahun, GDP per kapita mendekati USD 4000 per
orang, dan GDP nasional USD 1 trilyun. Belum lagi tingkat pertumbuhan ekonomi
yang stabil di 6.5 persen, dengan potensi untuk mencapai 8 persen sebagaimana
Cina di masa jayanya. Jumlah penduduk ini masih terus berkembang setiap tahun,
mengingat 4 sampai 5 juta bayi dilahirkan per tahun. Ini juga membuka peluang
sangat besar dalam bisnis-bisnis yang berhubungan dengan bayi, anak-anak, dan
remaja.

Industri-industri
yang masih “menanti” investor antara lain: consumer products, turisme dan
perhotelan, industri kreatif dan entertainment, dan industri new media. Dari
beberapa feedback dari para delegasi, faktor-faktor yang perlu diperhatikan
oleh pemerintah dan para kontributor penting pengembang koridor: sumber daya
manusia yang siap pakai, infrastruktur darat dan penghubung antar pulau, dan
birokrasi yang streamlined.

Jumlah
orang muda di Indonesia yang luar biasa besar ditambah dengan kurikulum
pendidikan Indonesia yang masih kurang memadai untuk mengimbangi derap langkah
ekonomi global dan abad ke-21 sebagai “Abad Asia,” sangat besar potensi yang
bisa digarap dalam bidang pendidikan dan pelatihan. Transfer of knowledge dan
transfer of skills dalam bidang-bidang yang siap pakai, misalnya mempersiapkan
para lulusan SMA dan S1 untuk bekerja di hotel, sangat memungkinkan, mengingat
125 juta orang bepergian setiap tahun. Industri turisme dan perhotelan tidak
memerlukan ketrampilan yang luar biasa, hanya ketekunan, kebersihan, dan
standar yang dipertanggungjawabkan.

Industri
kreatif dan hiburan serta new media sangat terbuka lebar pula, mengingat baru
satu studio animasi di Indonesia yaitu Infinite Frameworks di Batam, yang
dipimpin oleh Mike Wiluan. Studio ini kini menikmati revenue jutaan USD per
tahun setelah lebih dari 10 tahun berdiri dan memiliki ratusan animator.  Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa banyak
animasi kartun Garfield dan Discovery Channel diproduksi oleh mereka.

Indonesia
memang kelihatannya seperti “surga” bagi para investor, namun Indonesia
bukanlah tax haven seperti Singapura yang menawarkan 7.5 persen income tax
untuk tiga tahun pertama selama revenue masih di bawah Sing Dollar 240.000. Indonesia
juga belum “bersih” di mata internasional, sehingga investor-investor asing
yang diundang masih berpikir panjang untuk memutuskan memulai bisnis di
Indonesia. 

Jabodetabek,
misalnya, dikenal “tidak stabil” secara politis mengingat banyaknya
demo anti ini-itu dan demo-demo buruh yang berkelanjutan hampir setiap bulan. Namun,
dari beberapa investor yang saya ajak bicara, mereka mempunyai daerah-daerah
favorit lainnya, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat yang agak jauh dari
Jakarta. Macet 24 jam sehari di Jakarta juga meredupkan niat investor asing.

Indeks
Bank Dunia untuk ranking Doing Business, Indonesia menempati ranking 166 untuk
“starting business,” 148 untuk “resolving insolvencies,” 147 untuk fasilitas
listrik, dan 144 untuk lemahnya kekuatan kontrak yang bisa di-enforce mengingat
lemahnya hukum di Indonesia. Selain itu, bank-bank Indonesia juga menimpakan
bunga sangat tinggi terhadap pinjaman. Menurut Transparency International, Indonesia
adalah negara dengan ranking 100 dari 183 negara terkorup di dunia. Bagi
negara-negara yang menghukum para pemberi graft dan bribery, seperti AS,
sangatlah sulit bagi korporasi untuk bergerak tanpa memberikan “uang pelicin”
karena ini akan melanggar hukum Anti Korupsi AS sendiri.

Terlepas dari indahnya iming-iming para elit politik
Indonesia tentang investasi di jamrud katulistiwa ini, pelaksanaannya perlu
enforcement luar biasa bagi project management dan project execution. PR yang
perlu segera diselesaikan.[]

KONTAN Weekly, 26 November – 2 Desember 2012

Pin It on Pinterest

Share This