Select Page

Kontan

Download KONTAN Indonesia Ban Serep yang Laris in PDF

oleh Jennie S. Bev

Kita baru saja memasuki tahun 2012. Awan kegelapan masih menaungi Amerika Serikat (AS) dan mengintai Eropa. Beberapa negara Asia mulai terkena imbas krisis ekonomi global, seperti China dan India. Bagaimana dengan prospek Indonesia? Benarkah pertumbuhan akan tinggi atau malah terseret ke dalam pusaran krisis? 

Saya tercenung ketika para analis dan ekonom penuh optimistis memandang Black Friday yang jatuh pada 25 November 2011 atau sehari setelah Thanksgiving. Sebab, sebagai pemilik bisnis, ‘Hari Belanja’ itu tidak membawa revenue ekstra. Saya mencoba menghibur diri dengan berpikir, mungkin jenis usaha yang saya jalankan sedang lesu di akhir tahun.

 Terbukti, beberapa hari setelah data-data yang masuk via POS (Point of Sale) dianalisis secara nasional, pertumbuhan bulan November di AS hanya 0,2% atau lebih rendah dari Oktober yang 0,6%. Padahal, Black Friday, Cyber Monday, dan musim belanja menjelang Natal sudah lama dijadikan barometer tingkat kepercayaan konsumen yang mempengaruhi pergerakan ekonomi sektor riil. 

Di sisi lain, angka pengangguran nasional AS bulan November 8,6% atau turun dari 0,4% pada Oktober. Namun, ini bukan angka sebenarnya, karena tidak menghitung orang yang sudah habis masa pengambilan unemployment benefit bulanan (semacam pesangon) serta tidak menghitung para underemployed (pekerja paruh waktu). Termasuk tidak menghitung para wirausahawan yang membayar self-employed tax. 

Diperkirakan, 20% sampai 30% warga AS tidak berpenghasilan memadai untuk hidup minimal dengan standar optimal wajar. Tak mengherankan jika lebih dari 45 juta warga AS sekarang hidup dari voucer makanan (food stamp) dan dapur umum Food Bank (organisasi nirlaba yang membagi-bagikan makanan gratis). Saya menyaksikan sendiri para kelas menengah yang masih bekerja ikut mengantre makanan karena menyusutnya penghasilan mereka.

Lantas bisakah 2012 lebih baik bagi AS? Kelihatannya sulit untuk membangunkan ‘gajah’ yang punya produk domestik bruto (PDB) US$ 14,58 triliun itu. Bandingkan dengan PDB Indonesia yang US$ 796,56 miliar atau Kuba US$ 62,8 miliar. Pertolongan dari bank sentral The Fed untuk memperbaiki mortgage industry tidak berefek positif setelah dua tahun.

Penyitaan properti oleh bank karena kredit macet akan berlangsung minimal sampai 2014. Saya yang mempunyai lisensi broker properti California meramal, kondisi itu akan berlangsung hingga 2015.

Sedangkan sejumlah kebijakan ekonomi AS tidak mampu meningkatkan lapangan kerja. Dodd-Frank Act yang bertujuan mencegah perbankan melakukan loan fraud menyebabkan menciutnya pemberian kredit kepada pengusaha kecil. Padahal, mereka tulang punggung kelas menengah AS. Modifikasi kredit kepada para pemegang KPR juga tidak berdampak positif karena implementasinya masih di tangan para bankir.

Peluang Indonesia

Sementara itu, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan Indonesia tahun 2012 sebesar 6,2%. Bahkan, beberapa ekonom memprediksi lebih dari 7% sampai 8%. Sedangkan pertumbuhan China diprediksi turun di bawah 9% dan India di bawah 7%. Kesadaran hak asasi manusia (HAM) yang meningkat mendorong para buruh di China semakin sadar haknya atas gaji sesuai standar hidup.

Sebagai contoh, pabrik Electrolux di Michigan tutup karena gaji di AS terlalu tinggi sehingga biaya produksi membengkak. Bandingkan upah pekerja di sana US$ 15 per jam tidak sebanding dengan gaji US$ 1,8 per jam di Meksiko.

Kesadaran inilah yang sedang mewabah di China. Kosekuensinya, semakin banyak investasi yang pindah ke Indonesia, Burma, dan Meksiko. Dengan upah pekerja hanya US$ 0,70 per jam, Indonesia merupakan ban serep yang laris manis.

Bubble properti di China juga mulai mengempis seiring pengenaan pajak untuk kepemilikan properti lebih dari satu. Ini akan mempengaruhi ekonomi makro Negeri Panda tersebut. Alhasil, China seperti sedang menggali keterpurukannya sendiri lantaran kesadaran HAM dan pertumbuhan ekonomi itu berbanding terbalik.

Jadi wajar jika Nouriel “Dr. Doom” Roubini optimistis dengan masa depan Indonesia. Kunci analisis akar rumput yang dikombinasikan dengan pandangan makro dan tingkah laku menunjukkan kesadaran HAM dan pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik. Ketika upah di AS sudah 30 kali lipat dari upah minimum buruh di Indonesia, para kapitalis tentu memilih buat pabrik di Indonesia. 

Pertanyaannya, maukah Indonesia menjadi negara yang tumbuh pesat ekonomi di atas penderitaan kaum buruh? Ingat, semakin pesat ekonomi, semakin tinggi pula kesadaran HAM para buruh. Siklus seperti ini akan terus berulang dengan para pelaku ekonomi yang berbeda namun dengan pola yang identik.[]

Pin It on Pinterest

Share This