[Di bawah adalah artikel yang belum diedit.]
oleh Jennie S. Bev
Indonesia
berada di antara welfare state dan free market. Dengan status Indonesia
sebagai anggota G-20 dengan PDB USD 1 trilyun dan tingkat pertumbuhan ekonomi
6.5 persen per tahun bahkan bisa lebih tinggi di masa mendatang, momentum ini
memungkinkan Indonesia untuk mengkristalisasikan model welfare state dan sistem ekonomi yang paling sesuai dengan iklim
Indonesia. Sampai sekarang tidak jelas ke arah mana model welfare state yang sedang dibentuk, serta sistem ekonomi masih
berproses membentuk diri.
Ambisi
pemerintah untuk mencapai 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun membutuhkan
realisasi kenaikan produktivitas melebihi 60 persen terhitung 2000. Akselerasi
penanaman modal asing diharapkan bisa mempercepat pencapaian PDB USD1.8 trilyun
di 2030. Pada saat itu, Indonesia akan telah melampaui Jerman dan Inggris Raya.
Target ini dibarengi dengan momentum pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
penduduk sekitar 4 sampai 5 juta kelahiran per tahun di mana ledakan ini
mempertahankan posisi pasar domestik sebagai kontributor PDB utama.
Untuk
kepentingan pasar bebas, angka-angka ini sangat fantastik. Untuk pendanaan welfare state, sesungguhnya juga
fantastik.
Idaman
dan harapan publik adalah welfare state
bagi Indonesia. Di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya, pelayanan kesehatan
bebas biaya sudah mulai diberikan oleh pemerintah daerah. Pelayanan kesehatan
bebas biaya dan perlindungan buruh yang baik merupakan bentuk-bentuk implementasi
klasik.
Di
tingkat nasional, undang-undang perburuhan Indonesia lebih condong kepada perlindungan
buruh dengan pemberian pesangon yang cukup besar oleh perusahaan dibandingkan
dengan di negara lain, misalnya di Amerika Serikat. Ini antiknya, karena
jaminan buruh diberikan oleh perusahaan. Menurut UU Ketenagakerjaan 13/2003
tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), bahkan apabila karyawan ditahan oleh
pihak berwajib, perusahaan wajib memberikan bantuan kepada keluarganya sebesar
hingga 50 persen. Ini jelas tidak ada di AS.
Mungkin
tidak banyak yang tahu bahwa di AS, setiap karyawan bekerja atas dasar “at
will” alias “kehendak karyawan atau perusahaan.” Perjanjian “at will” ini
memungkinkan baik karyawan atau perusahaan untuk dengan serta merta memutuskan
hubungan kerja untuk alasan apa pun. Ini memang merupakan salah satu ciri dari
negara kapitalis yang mempunyai gradasi welfare state yang agak samar dan terbatas.
Untuk posisi-posisi eksekutif atas tertentu ada “severance package” sesuai
dengan perjanjian pengangkatan, namun ini bukan kewajiban hukum bagi perusahaan.
Bagaimana
bentuk welfare state ideal bagi Indonesia masih bisa diperdebatkan. Obama
Healthcare sendiri baru akan dijalankan penuh tahun 2014, di mana setiap wajib
pajak diwajibkan untuk membeli asuransi kesehatan sendiri apabila tidak
ditanggung oleh tempat kerja. Mereka yang tidak membeli asuransi kesehatan akan
dikenakan penalti ketika membayar pajak tahunan. Jelas AS bukan contoh idaman
untuk welfare state karena nuansa kekentalan kapitalismenya yang mengintai di
setiap tikungan.
Selain
itu, Yunani juga bukan contoh welfare state yang baik. Michael Lewis dalam Boomerang: Travels in the New Third World
menulis bahwa spirit ekonomi Yunani berbasis kolektif namun setiap individu
menjalankan tindakan-tindakan ekonomi berdasarkan kehendak individual. Ini
serupa dengan di Indonesia, karena “short-term gain” seringkali menjadi
pertimbangan utama tindakan ekonomi individu maupun kelompok.
Tiga
hal utama yang perlu diimplementasikan dengan baik: sistem perpajakan,
kepercayaan masyarakat, dan penegakan hukum. Tiga hal ini saling berkaitan dan
tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa berjalan selaras, sudah bisa dipastikan
welfare state akan gagal seperti di Yunani.
Negara-negara
Skandinavia mengenakan pajak pendapatan perorangan sangat tinggi hingga 50 atau
bahkan 70 persen. Apakah para pembayar pajak Indonesia akan “rela” demikian?
Bisakah tax evasion ditekan minimal sehingga dana bisa terkumpul optimal untuk
kesejahteraan rakyat umum tanpa kecuali (tanpa batas pendapatan maksimal untuk
mendapatkan pelayanan)?
Di
Amerika Serikat, social security benefits
diberikan kepada para pembayar social
security tax, sehingga ini sesungguhnya perangkat welfare state yang terbatas, tidak universal. Di Indonesia,
jamsostek serupa namun tidak sama dengan social
security benefits. Mungkin lebih dekat dengan disability insurance yang mengandalkan premi asuransi dari wajib pajak.
Free market sendiri merupakan pasar
yang ditentukan oleh pertemuan supply
dan demand. Pasar bebas ini merupakan
lawan dari pasar terkontrol atau teregulasi di mana harga, supply dan demand
merupakan subyek regulasi. Para penganut Keynesian percaya bahwa aktivitas
produktif dipengaruhi oleh agregat permintaan yang merupakan total spending
yang tidak selalu identik dengan agregat supply.
Para
ekonom penganut Adam Smith percaya bahwa ekonomi idealnya bersih dari monopoly
rents, sedangkan proponen laissez faire percaya bahwa monopoli diperbolehkan.
Penganut laissez faire Hayek dan Milton Friedman juga percaya bahwa ekonomi
idealnya bersih dari pengaruh-pengaruh dari pajak, subsidi, tarif, regulasi,
dan monopoli koersif pemerintah.
Ini
terbalik dari ide John Maynard Keynes dengan ekonomi Keynesiannya yang mengutamakan
kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kepentingan rakyat. Dan “rakyat” di sini
tidak ada pengecualian.
Di
Indonesia, kata “rakyat” sering dibayangkan sebagai “orang-orang kecil dengan
pendapatan rendah.” Ini persepsi yang salah. “Rakyat” atau “people” termasuk
semua warga negara (citizen) dan penduduk negara (resident). Welfare state yang
baik dan benar tidak mendiskriminasikan “rakyat” dengan jumlah penghasilan,
karena penghasilan seyogyanya tidak pernah tetap bahkan naik-turun tergantung
ekonomi makro. Selain itu, mekanisme pajak bisa dipakai untuk distribusi
pemerataan kesejahteraan, bukan hanya mekanisme penagihan belaka.
Indonesia
berada di persimpangan jalan dalam mencari bentuk free market dan welfare state
yang sesuai. Kedua-duanya baik sepanjang bisa dicari ekulibrium yang cocok
dengan situasi politik, hukum, ekonomi dan kultur. Semua aspek ini bergulir
terus di tengah roda globalisasi. Jangan tidur.[]
Republika, 28 November 2012