[Download PDF KONTAN Weekly Iklan yang Efektif]
Oleh Jennie M. Xue
Iklan yang efektif tidak hanya komunikatif, estetik, dan artistik. Lebih penting lagi, ia bersifat saintifik di mana input dan output bisa diukur. Dengan teknologi dan pengetahuan terkini, mestinya ini semakin mudah dilakukan.
Kita kenal kehebatan Bapak Periklanan David Ogilvy dan Raja Iklan Leo Burnett dengan karya-karya mereka yang masterpiece. Salah satu faktor pembeda antara karya-karya para pakar dengan yang biasa-biasa saja adalah implementasi dan eksekusi prinsip-prinsip periklanan dan pengukuran saintifik.
Namun kesulitan pengukuran efek (conversion rate) dari suatu iklan adalah faktor tingginya subyektifitas. Bagusnya, di era ultramodern sekarang yang penuh dengan digitalisasi dan big data, pengukuran iklan secara saintifik sudah sangat dimungkinkan.
Kini, setiap kata, frasa, judul, ukuran font, warna, efek warna, dan makna tulisan dan gambar diam serta bergerak (video) pun dapat diukur hingga ke mili dan nano-nya. Cost per sale merupakan salah satu ukuran yang favorit, yang bisa diawali dengan A/B Testing.
Apa itu A/B Testing? Eksperimen dengan berbagai variasi variabel sehingga bisa dikomparasikan efeknya dalam cost per sale. Misalnya, dengan mengubah copywriting, warna, maupun gambar suatu iklan. Yang mana yang paling baik conversion rate-nya?
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam A/B Testing adalah metode, produk, dan customer. Metode dan produk bisa kita kendalikan dengan berbagai cara, namun bagaimana keinginan subyektif customer merupakan variabel yang terkadang cukup mengejutkan.
Misalnya, perubahan persepsi akan suatu produk karena perkembangan teknologi dan pengetahuan pasti mengubah pilihan customer akan produk yang dikonsumsi. Ini menjawab mengapa tidak ada kampanye iklan yang memberi hasil identik, padahal metode dan produknya serupa.
Prinsip paling dasar sebuah iklan berasal dari salesmanship. Iklan harus menjual produk. Titik. Dan kekuatan multiplier iklan mestinya beberapa ratusan bahkan ribuan kali lipat. Kesalahan dalam iklan juga berakibat ribuan kali lipat.
“Menjual” di sini bukanlah hanya apa yang diharapkan oleh produsen produk (klien ad agency), namun adalah hasil nyata dari iklan. Cakupan “menjual” ini lebih luas daripada sekedar popularitas iklan.
Sering kali, suatu iklan baru ditayangkan setelah mengalami penggodokan cukup lama dan setelah mengalami penolakan dari klien berkali-kali. Tentu saja klien mempunyai hak penuh untuk menyetujui atau menolak suatu konsep dan hasil akhir iklan, namun sebaiknya klien juga memberikan kebebasan berkreasi bagi para pencipta iklan sepanjang mengikuti prinsip-prinsip berikut dan dieksekusi dengan tepat.
Satu, tujuan utama iklan adalah menjual produk tanpa membuat konsumen merasa “dipaksa.” Dengan kata lain, iklan menampilkan sisi dari produk yang menjawab kebutuhan dan mengisi kekosongan konsumen akan sesuatu. Seorang salesman yang baik tidak dengan serta-merta berkata, “Belilah produk saya.” Namun ia memberikan solusi dalam bentuk servis yang disukai oleh prospek.
Dua, “jawaban” yang diberikan oleh produk yang diiklankan bisa saja berupa informasi langsung dan tidak langsung. Informasi “tidak langsung” biasanya membawa suasana alias asosiasi akan hal-hal atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, permen mint tentu identik dengan rasa segar dan limun jeruk identik dengan pelepas dahaga di terik matahari.
David Ogilvy dengan iklan Rolls Royce-nya yang legendaris, mengajarkan pentingya persepsi dibangun dengan ide besar dan sensasi indera yang tepat. Bunyi salah satu kalimat dalam iklan tersebut, “At 60 miles an hour, the loudest noise in this new Rolls-Royce comes from the electric clock.” Yang tersirat adalah kehalusan suara mesin yang luar biasa yang merupakan cerminan dari teknologi otomobil tertinggi.
Tiga, konsumen hanya dapat dibangkitkan keinginannya untuk membeli dengan persuasi halus. Maksudnya, seseorang tidak dapat kita paksa untuk membeli, mereka hanya mau membeli apabila ia merasa produk tersebut memang diinginkannya. Iklan yang terlihat “memaksa” alias “persuasi kasar,” sebaiknya direvisi.
Sekali lagi, sains dalam periklanan memang terbatas, mengingat subyektifitasnya. Namun dengan mengikuti prinsip-prinsip salesmanship, A/B Testing, dan eksekusi dengan pengukuran output, dunia periklanan modern memberikan insight penjualan mendalam.[]
KONTAN Weekly, 23-29 November 2015