[Baca langsung di Prisma.]
oleh Jennie M. Xue
Harga bahan bakar minyak (BBM) dunia turun drastis. Namun, hingga saat ini harga BBM bersubsidi belum diturunkan oleh Pemerintah Indonesia. Pasokan dan permintaan minyak global sangat menentukan harga BBM. Sementara pasokannya berlimpah, produsen minyak dunia kini tidak lagi dikuasai negara-negara anggota OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) yang dengan kekuatan kartelnya mampu menentukan harga
Produsen minyak mentah (crude oil) dunia kini sudah tidak lagi dikuasai negara-negara Timur Tengah anggota OPEC. Perkiraan US EIA (Energy Information Administration) sebagaimana dikutip Reuters (12 Agustus 2014), tahun ini, Amerika Serikat memproduksi minyak mentah (crude oil) sekitar 8,5 juta barel per hari. Bandingkan dengan total produksi minyak mentah negara-negara anggota OPEC (terdiri dari Iran, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Venezuela, Qatar, Libya, Uni Emirat Arab, Aljazair, Nigeria, Gabon, dan Angola) yang hanya 35,84 juta barel per hari.
Di antara anggota OPEC, Libya telah memperbaiki produksi BBM kembali setelah melampaui fase perang saudara (civil war). Irak pun sedang memproduksi BBM tertinggi dalam sejarah negeri itu selama 40 tahun terakhir, sehingga sesungguhnya produksi minyak OPEC juga sedang terangkat.
Di masa lalu, ketika teknologi masih belum secanggih sekarang, eksplorasi minyak di AS terbelenggu oleh mineral dan batu-batuan. Kini, dengan teknologi fracking dan horizontal drilling, lokasi sesulit apa pun bisa diatasi, sehingga produksi meningkat secara eksponensial. Hampir tiada lagi penghalang bagi AS untuk memacu produksinya.
Dari segi permintaan (demand), kebutuhan China, Jepang, dan Eropa, akan BBM juga berkurang drastis karena pelemahan perekonomian negeri masing-masing. Pertumbuhan GDP China merosot dari 10,4 persen pada 2010 menjadi 7,7 persen di tahun 2013, Jepang anjlok dari 4,7 persen pada 2010 menjadi 1,6 persen di tahun 2013, dan negara-negara EU turun dari rata-rata 0,9 persen (2010) menjadi 0,2 persen (2013).
Sebagai konsekuensi dari harga minyak global yang terus menurun, Indonesia seyogyanya mengikuti harga pasar dunia tanpa perlu mematok kaku harga subsidi. Pematokan itu memang “tak adil” bagi para konsumen BBM bersubsidi, mengingat harga minyak dunia sedang melemah hingga 40 persen. Tentunya hal itu perlu diperhitungkan dengan matang, karena akan memengaruhi APBN dan pos-pos lainnya. Mungkin sebaiknya dibuat semacam “hedging” agar setiap fluktuasi harga minyak tidak terlalu memengaruhi alokasi pos-pos lainnya dalam APBN.
Karena AS kini menjadi produsen minyak terbesar dunia dan perekonomiannya juga kian pulih dari resesi, maka nilai mata uang AS secara “alamiah” akan menguat. Tingkat pemulihan itu memicu Federal Reserve untuk meningkatkan suku bunga pinjaman pada pertengahan tahun 2015.
Dengan harga BBM AS yang rendah, namun konsumsi semakin tinggi dengan pengeluaran yang meningkat, apalagi di bulan Desember menjelang Natal, maka dunia manufaktur kembali melirik AS karena production cost menurun. Konsumen di AS semakin giat mengonsumsi produk impor, sehingga pada gilirannya bisa berimbas positif bagi dunia manufaktur di Asia, termasuk Indonesia.
Imbas akselerasi pertumbuhan ekonomi AS yang kini telah mendekati 4 persen berefek positif menggulung (snowballing), sehingga meningkatkan aktivitas manufaktur dunia. Angka pengangguran nasional AS kini tercatat paling rendah sejak enam tahun terakhir, yaitu 5,8 persen. Sedangkan negara bagian North Dakota yang kini booming dengah shale-oil-nya mempunyai angka pengangguran terendah se-AS, yaitu 2,8 persen.
Penguatan jangka pendek perekonomian AS itulah yang memberi kekuatan bagi mata uang dolar AS untuk menjulang kian tinggi. Indonesia tidak perlu khawatir dengan tingginya dolar AS di pasar uang dunia, namun kita tetap perlu waspada. Yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana agar defisit neraca pembayaran (current account) yang menentukan nilai tular rupiah-dolar AS bisa dikurangi. Namun, sebagaimana pernah dikatakan ekonom besar Nouriel Roubini, dunia kini penuh dengan “perang mata uang” dan “krisis merupakan normal baru,” semestinya kita semakin “terbiasa” dengan volatility (kekenyalan) ekonomi global.[]
Prisma Indonesia, 23 Desember 2014