Select Page

Kontan

[Download artikel yang telah diedit dalam PDF KONTAN 5-11 November 2012.]

(Artikel di bawah adalah versi yang belum diedit.)

oleh Jennie S. Bev

Generasi Milenial
yang juga dikenal dengan sebutan Generasi Y adalah mereka yang dilahirkan sekitar
akhir 1970an atau awal 1980an sampai 2000an. Sekarang mereka telah lulus
perguruan tinggi dan telah memasuki dunia kerja dan usia produktif. Mereka
dikenal sebagai “digital native” karena sejak dilahirkan telah akrab dengan
berbagai macam alat-alat elektronik dan dunia virtual Internet dengan ratusan
channel televisi dan video games. Mereka juga mengalami masa-masa sulit ekonomi
dunia, terutama di AS dan Eropa.

Dengan berbagai
rintangan kekurangan finansial, mereka menyelesaikan perguruan tinggi bahkan
hingga S2 atau S3. Kini mereka mengalami kesulitan mendapatkan lapangan kerja
yang memadai sesuai dengan pendidikan mereka. Orang tua mereka banyak yang kena
PHK maupun terkena badai resesi global, sehingga standar hidup menurun drastis.

Kalau di AS usia
16 biasanya sudah dibelikan mobil oleh orang tua, kini mereka banyak yang
“nebeng” saja atau naik kendaraan umum. Bahkan banyak anak-anak yang telah
dewasa kembali tinggal bersama dengan orang tua mereka karena rumah mereka
disita bank dalam tsunami properti yang belum selesai sejak 2007. Untung ada
ObamaCare, yang memungkinkan young adults
yang berusia di bawah 26 tahun dan masih tinggal dengan orang tua mereka untuk
tetap di-cover asuransi oleh orang tua mereka.

Dengan kata lain,
Generasi Milenial pada umumnya hidup dengan standar hidup yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang tua mereka sehingga mempunyai kriteria “sukses” yang
berbeda pula. Mereka terlatih oleh keadaan untuk menjadi peka akan sosial dan
peka akan nilai suatu produk yang sebenarnya.

Kalau Generasi X
dan Baby Boomer tergila-gila dengan brand-brand mewah sebagai simbol “sukses
finansial” seperti Hermes, Louis Vuitton, Ferrari, Jaguar, dan Mercedes-Benz,
kriteria “sukses” mereka adalah almarhum Steve Jobs dengan Apple-nya dan para
social enterpeneurs yang bisa bekerja dari mana saja dengan modal minimal,
seperti Chris Guillebeau yang dikenal dengan buku $100 Startup-nya dan para pendiri Zipcar yaitu Antje Danielson dan
Robin Chase.

Generasi Milenial
tidak anti dengan kemewahan, namun mereka sangat sadar akan stress level bumi dengan segala macam
polusi dan global warming ekologi,
serta sadar akan one world yang
disatukan dengan Internet, sehingga lokasi geografis bukan lagi suatu penentu
di mana mereka harus berada. Mereka bisa berada di lebih dari satu tempat
dengan bekerja melalui Web dengan cloud
technology
-nya. Mereka bisa punya teman dan partner kerja yang berada di
belahan bumi yang berbeda. Mereka sadar akan perbedaan jam namun ini tidak
menjadi penghalang, bahkan pemersatu.

Bagi generasi
ini, dunia can be tailored to what they
wish
. Tidak perlu mereka menatap layar televisi yang isinya hanya satu atau
dua saluran saja, karena mereka bisa mengakses ribuan saluran melalui Internet.
Mereka juga bisa dengan mudah mengakses angel
investor
untuk project mereka yang go
global
jauh sebelum persyaratan-persyaratan go public dicapai.

Dimanjakan dengan
“the long tail” sebagaimana book retailer Amazon.com menyediakan jutaan produk
yang bisa diakses dengan beberapa ketukan keyboard saja, konformitas tidak lagi
menjadi isyu. Mereka bisa memperoleh informasi yang paling jarang dan sulit
diakses sekali pun, sehingga mentalitas “abundance” selalu terpatri.

Generasi Milenial
sangat berbeda dari segi kriteria akan sukses. Dan sukses bagi mereka adalah
kemampuan untuk eksis dalam jangka panjang, karena satu tahun di dunia Internet
ekuivalensinya adalah tujuh tahun di dunia riil. Kecepatan melipatgandakan dan
kecepatan menua semakin terakselerasi dengan Internet.

Uniknya, mental
kelimpahan informasi ini dibarengi dengan mental kesederhanaan gaya hidup.
Paradoks ini menjadikan Generasi Y sangat peka akan keadaaan sosial, walaupun
kebanyakan mereka akses via Internet.

Personal taste alias citarasa yang sangat personal sudah menjadi
gaya hidup mereka. Kalau generasi orang tua mereka mengenakan jam tangan Rolex
sebagai simbol sukses, mereka sudah mempunyai online business yang menghasilkan 4 sampai 5 digit USD setiap bulan
yang sebenarnya membeli Rolex bukan lagi menjadi masalah.

Mereka sadar akan
hak-hak mereka sebagai warga dunia dan ikut aktif di kancah pergerakan hak
seperti di Arab Spring dengan FaceBook dan Twitter revolution. Bagi mereka, membeli satu tas tangan Hermes seharga
US$30.000 tidaklah se-prestis menggerakkan massa melalui online fund raising untuk kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan dan
revolusioner. Apalagi membeli Masserati seharga US$1.000.000? Uang sebesar ini
cukup untuk mendirikan beberapa klinik dan sekolah bagi mereka yang memerlukan.

Apalagi dengan
akses instan ke listing-listing
properti yang telah disita bank atau negara, Generasi Y dengan mudah mengerti
bahwa nilai luxury branded products
hanya ilusi yang lebih baik diinvestasikan ke dalam bentuk investasi lain.
Mereka juga sangat sadar akan kekuatan crowdfunding
dan private equity, serta tidak lagi
menunggu bisnis-bisnis mereka cukup besar untuk IPO di NYSE atau JSE.

Dengan kata lain,
para Milenial adalah generasi yang menghargai kesederhanaan materi, namun kaya
akan kekuatan ilmu pengetahuan dan ide-ide yang progresif. Siapkan perusahaan
Anda memenuhi kebutuhan para Milenial yang cerdas, peka sosial, luar biasa
tanggap, dan tidak tergila-gila luxury
brand
? []

KONTAN Weekly, 5-11 November 2012

 

Pin It on Pinterest

Share This