Select Page

sheryl450

Kontan Logo

[Download PDF KONTAN Daily Gaya Kepemimpinan Perempuan Profesional]

oleh Jennie M. Xue

Anda pasti pernah membaca atau melihat sampul buku Sheryl Sandberg, COO Facebook, yang berjudul Lean In: Women, Work, and the Will to Lead. Buku ini terjual 150.000 kopi dalam minggu pertama penerbitannya. Pesannya jelas: perempuan tidak perlu ragu dalam memenuhi aspirasinya dan perempuan yang telah menikah atau dalam life partnership perlu memiliki hubungan yang setara dengan suami atau partnernya.

Kehidupan internal dan pribadi seorang perempuan akan mempengaruhi gaya kepemimpinannya. Prinsip psikologi klasik yang juga berlaku dalam kepribadian seorang pemimpin.

Terlepas dari kultur yang kelihatannya egaliter, faktanya hanya ada 26 CEO perempuan yang memimpin di perusahaan Fortune 500. Jadi hanya 5,2 persen. Dalam Fortune 1000 ada 5,4 persen. Berbagai alasan dikemukakan mengenai fakta “mengapa hanya sedikit perempuan yang jadi pemimpin.”

Gaya kepemimpinan perempuan lebih condong menjaga harmoni, walaupun gaya penerapannya berbeda di setiap individu. Kecenderungan “menjaga harmoni” ini sendiri merupakan kelebihan dan kelemahan.

Misalnya, perempuan tidak seagresif pria dalam “mengadvokasi kenaikan gaji” sehingga penghasilan perempuan tidak setinggi pria dalam kasus-kasus tertentu. Namun karakteristik ini tentu sangat positif dalam pekerjaan-pekerjaan yang mengundang friksi.

Gloria Feldt adalah pendiri dan presiden Take the Lead, organisasi non-profit yang banyak menginspirasi perempuan untuk berperan sebagai pemimpin. Feldt memberi empat tip penting agar seorang pemimpin perempuan lebih didengarkan dan dipandang serius. Self-respect. Respect yourself so others will respect you too.

Pertama, kenali tujuan. Sebelum memulai percakapan, rapat, atau brainstorming, kenali tujuan yang hendak dicapai. Catat poin-poin pentingnya. Hafalkan. Kenali seluk-beluk tujuan tersebut. What. Who. When. Where. Why. How. Gunakan agenda yang jelas untuk mencapainya. Namun tetap diplomatis tanpa mengelabui para pihak yang hendak diyakinkan.

Kedua, pelajari “bahasa kekuasaan” dalam bargaining. Power is power. Good power is good power. Sejak masa kanak-kanak, kita sudah mengenal “kekuasaan.” Minimal dari orang tua dan saudara-saudari sekeluarga. Gunakan tone suara alto alias “rendah,” jangan memekik dengan tone soprano yang kedengarannya “memekakkan telinga.” Gunakan bahasa “langsung” kepada para pria, karena gaya komunikasi mereka lebih “to the point” daripada gaya perempuan.

Gunakan gaya dan tone suara yang otoritatif, tidak “nrimo” dan “manis” ala anak gadis yang masih “hijau.” Seorang pemimpin perempuan perlu menunjukkan kualitas otoritasnya, bukan hanya sebagai berkapasitas “administratif” belaka. Kompetensi di bidang yang dipimpin (hard skill) dan kompetensi sebagai pemimpin (soft skill) perlu ditunjukkan dengan keyakinan akan “menguasai pentas pimpinan.”

Ketiga, pimpin percakapan dengan memulainya. Mulailah percakapan, rapat, atau brainstorming dengan memulainya. Untuk itu, Anda perlu mempersiapkan diri sehingga dapat menampilkan kompetensi substansi yang gemilang. Kecenderungan perempuan Asia yang lebih “diam” daripada perempuan barat maupun para pria dari kultur manapun merupakan poin kelemahan yang perlu diperbaiki.

Kultur pendidikan terhadap perempuan yang mengutamakan “diam adalah feminin” merugikan posisi kepemimpinan perempuan. Untuk itu, perbaiki kemampuan public speaking baik di hadapan publik besar maupun kecil.

Body language yang tegak dengan kepala menghadap ke muka serta tangan di samping tubuh mencerminkan “kesiapan” dan kepercayaan diri. Sadari apakah Anda membungkuk sedikit atau tidak. Juga sadari di mana Anda meletakkan kedua tangan Anda. Mulailah pembicaraan dengan posisi Anda sebagai pemimpin.

Keempat, pimpin percakapan dengan mengakhirinya. Pemimpin yang baik membuka jalan lebih dulu dan menutup jalan terakhir. Buatlah konklusi dan rekomendasi. Aksi apa yang perlu dilakukan sebagai follow-up. Catat dengan baik dan ingatkan para peserta percakapan untuk sadar akan tugas-tugas mereka.

Akhir kata, seorang pemimpin yang baik terlepas dari perempuan atau pria, perlu terus-menerus mengingatkan diri akan misi yang lebih tinggi daripada sekedar mencapai obyektif. Membuat dunia menjadi lebih baik. Meningkatkan profit sambil memperbaiki kualitas hidup konsumen.[]

KONTAN Daily, Jumat 28 Agustus 2015

Pin It on Pinterest

Share This