(Image Source: Corporate Walmart)
[Download PDF KONTAN DAILY Gagalnya Walmart di Asia]
oleh Jennie M. Xue
Di Amerika Serikat, Walmart merajai retail dengan 95 persen penduduknya sebagai customer. Uniknya, di Jepang, dengan subsidiari bernama Seiyu, Walmart tidak berhasil. Dalam artikel ini, kita bahas penyebab kegagalan, rencana berikutnya, dan apa yang dapat kita pelajari darinya.
Di tahun 2008, Walmart menguasai Seiyu seluruhnya. Padahal Seiyu memang telah kembang kempis sebalum Walmart mengambil alih. Setahun sebelumnya, Seiyu telah merugi USD 195 juta.
Walmart tidak melaporkan profit and loss subsidiari mereka di luar AS, maka situasi di Jepang kurang dipahami oleh publik. Padahal, sejak 2014, Walmart telah menutup 100 gerai Seiyu.
Jadilah Seiyu hanya memegang 12 persen market share di Negeri Sakura ini. Sedangkan Aeon menguasai 45 persen. Ito Yokado 14 persen.
Fenomena merek-merek besar dari belahan Barat dunia yang hengkang atau gagal di Jepang telah lama terjadi. Setelah 9 tahun, di 2012, Tesco retailer besar asal Inggris Raya telah meninggalkan Jepang dengan kekalahan serupa Seiyu. Tesco menjual 117 gerainya ke Aeon. Carrefour menjual 8 gerainya pula kepada Aeon.
Bagaimana dengan Costco yang juga asal AS? Hebatnya, sejak 1999 raksasa retail ala gudang ini bertahan dengan baik. Dengan hanya menjalankan 26 gerai, revenue Costco mencapai USD 3,1 miliar. Bandingkan dengan Seiyu dengan 331 gerainya hanya mengantongi USD 7,1 miliar.
Lantas, apa akar masalah Walmart alias Seiyu di Jepang?
Satu, tidak memahami kemauan dan preferensi produk para konsumen Jepang. Di AS, konsumen tidak mempermasalahkan asal dari produk-produk segar karena harga lebih menjadi faktor utama pemilihan. Sedangkan di Jepang, konsumen lebih mengutamakan produk-produk lokal yang segar dan homemade.
Dua, pricing diskon setiap hari tidak kena.
Unik memang konsumen Jepang karena mereka lebih suka mencari bargain khusus dan sales, bukan “harga diskon setiap hari” ala Walmart. Strategi ini kena di AS yang konsumennya super sibuk untuk tawar-menawar dan mencari-cari tempat belanja terbaik. Sedangkan konsumen Jepang punya “seni berbelanja” tersendiri yang telah mendarah daging.
Tiga, tidak memberikan pengalaman berbelanja unik yang “lain dari yang lain.”
Costco yang juga asal AS, kok bisa sukses di Jepang yang konsumennya terkenal picky? Karena Costco super unik dan memberi pengalaman baru yang menyenangkan bagi para konsumen Jepang yang telah mengakar tradisinya. Mereka “merasakan” bagaimana berbelanja ala konsumen AS yang senang membeli produk dalam jumlah bulk.
Seiyu yang juga merupakan subsidiari dari Walmart asal AS, ternyata tidak memberi “pengalaman unik” ini. Mereka tampak dan dirasakan sebagaimana pasar swalayan di Jepang umumnya, namun malah “kurang” lokal. Kondisi hybrid AS-Jepang ini membingungkan dan memberi rasa kurang nyaman pagi para konsumen Jepang.
Kegagalan Walmart di Jepang bukan sesuatu yang baru. Mereka juga gagal di Brazil, sehingga 80 persen saham telah diakuisisi oleh private equity Advent International. Kondisi di Brazil agak berbeda dan lebih disebabkan oleh kondisi makro, seperti resesi, masalah operasional, dan lower growth market.
Untuk mengatasi masalah revenue rendah, Seiyu telah bekerja sama dengan Rakuten untuk memberikan servis deliveri. Bagaimana hasilnya, sekarang masih terlalu dini untuk dapat kita analisa.
Kegagalan Walmart di Jepang hanya salah satu dari kegagalan-kegagalannya di Asia. India, Korea, and Indonesia termasuk.
Di Eropa, Jerman dan Inggris Raya juga sulit ditaklukkannya. Walmart gagal di Jerman di tahun 2006 setelah 9 tahun bertahan. Delapan puluh lima gerainya diakuisisi oleh Metro Group dengan kerugian USD 1 miliar. Jadilah Walmart juga hengkang dari Eropa.
Menggurita di dunia internasional itu tidak mudah. Banyak faktor kultur dan perilaku konsumen yang berbicara, selain kondisi makro ekonomi dan politik yang mempengaruhi keputusan-keputusan berbelanja publik. Kenali ini sebelum go overseas. Salam hangat dari California.[]
KONTAN DAILY, Jumat, 9 November 2018