Select Page


[Download PDF KONTAN DAILY Gagalnya Fastfood di Vietnam]

oleh Jennie M. Xue

Burger King punya 16,000 gerai di 100 negara dan McDonald’s punya 36,000 gerai di 100 negara juga. Bahkan McD punya gerai di Vatikan.

Namun ada satu negara di mana keduanya gatot alias “gagal total.” Negara itu adalah Vietnam. Kok bisa? Mari kita simak.

Makanan cepat saji sendiri punya market size USD 651 miliar. Angka fantastis.

Rencana McD membuka 100 gerai dalam 10 tahun. Rencana BK membuka 60 gerai dalam 5 tahun. Namun rencana tinggal rencana. Fakta berbicara lain.

Hingga akhir 2018, hanya ada 17 gerai McD di Vietnam sejak launching pertama di tahun 2014. Dan BK hanya punya 13 gerai. Kondisi ini sangat unik, mengingat McD dan BK sangat sukses di China dan Jepang yang memiliki gerai gabungan sampai ribuan.

KFC membuka pintu di Vietnam tahun 1997 dan dalam 7 tahun, mereka hanya punya 10 gerai. Jadilah mereka beradaptasi dengan menu-menu lokal seperti nasi ayam dan burger udang, hanya agar dapat bersaing. Akhirnya, mereka berhasil membuka 130 gerai di 21 kota.

Ada beberapa alasan mengapa Vietnam bukan ladang yang subur untuk fast food restaurant.

Satu, secara kultur, para konsumen Vietnam mengeluarkan 78 persen dari penghasilan untuk makanan. Namun hanya 1 persen untuk makanan cepat saji. Alasan selera yang sangat erat hubungannya dengan kultur kuliner kekeluargaan merupakan intinya.

Dua, kultur pedagang asongan dan banh mi sandwich telah menginternalisasi kondisi di mana konsumen telah sangat terbiasa dengan makanan cepat saji berharga super murah. Bayangkan, dengan harga seperempat harga McD dan BK, sandwich dengan konten segar telah tersedia dalam sekejap.

Jadilah McD dan BK bukan cepat saji dan bukan makanan terjangkau di Vietnam.

Tiga, kultur kuliner di Vietnam sangat dahsyat. Gerai makanan lokal mencapai jumlah 540.000 gerai, termasuk 430.000 pedagang asongan dan kios-kios kecil. Dengan 80.000 restoran dan 22.000 kafe di seantero Vietnam, yang masing-masing punya penggemar tetap sendiri, jadilah McD dan BK “makhluk asing.”

Empat, hubungan diplomatik antara AS dan Vietnam pernah beku hingga 1995. Ini menyebabkan publik Vietnam kurang punya apresiasi terhadap kultur AS karena ekspose yang terbatas. Internalisasi budaya AS belum mendarah daging seperti di negara-negara lain.

Lima, pengalaman kuliner Vietnam lebih menekankan makanan yang dapat di-share. Sedangkan burger dan ayam goreng merupakan makanan yang dinikmati per individu.

Ini dapat dilihat dari apresiasi konsumen Vietnam kepada makanan Italia, seperti pizza dan spaghetti, yang lebih shareable. Jadi KFC dan Pizza Hut lebih sesuai dengan gaya hidup dan kultur kuliner Vietnam. Pizza Hut malah mencakup 21 persen market share makanan cepat saji.

Enam, waktu tunggu makanan cepat saji yang “terlalu lama.”
Ya. Menunggu 10 menit untuk burger fast food sudah terlalu lama bagi konsumen Vietnam yang telah terbiasa dengan sajian dalam hitungan detik hingga 5 menit.

Berbagai jajanan bakmi beras bernama pho dan sandwich berisi daging dan sayuran bernama banh mi hanya perlu diambilkan oleh penjaja. Keduanya telah dimasak terlebih dahulu dan disiapkan, jadi tidak ada waktu tunggu berarti.

Relevansi budaya dan proses penyajian makanan merupakan unsur-unsur penting penentu keberhasilan. Di Indonesia, fast food asal luar negeri masih mempunyai tempat yang baik mengingat kultur apresiasi terhadap produk-produk impor yang tinggi dan keleluasaan terhadap waktu tunggu yang lebih besar.

Jadi, jika Anda punya ide untuk menjual makanan, perhatikan unsur-unsur perilaku konsumen, selain riset lokasi strategis dan menu-menu artistik. Selamat berinovasi dalam kreasi dan bisnis makanan.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 3 Mei 2019

Pin It on Pinterest

Share This