Select Page


Image Source: Somerset Collection


[Download PDF KONTAN DAILY Forever 21 Mulai Tenggelam]

oleh Jennie M. Xue

Di puncak kejayaan tahun 2015, Forever 21 mencetak omzet global sebesar USD 4,4 miliar. Angka ini cukup fantastis mengingat dua founder mereka adalah imigran miskin AS asal Korea Selatan. Produk awal mereka berasal dari merchandise closeout fashion retailer.

Gol Forever 21 sebenarnya ingin mencapai USD 8 miliar dalam tiga tahun, termasuk dengan membuka 600 outlet baru. Namun ekspansi besar-besaran ternyata merupakan titik awal sunsetting mereka.

Bagaimana ceritanya, mari kita simak.

Satu, fokus ke desain yang unik dan tetap kelihatan eksklusif mulai sirna. Fokus ke ekspansi ternyata membuat energi perusahaan mengurangi fokus ke desain.

Padahal, desain-desain fast fashion mereka itulah yang membuat mereka sukses besar. Di masa jayanya, 400 desain baru per hari dihasilkan.

Di antara retailer konvensional, Forever 21 mulai digeser oleh H&M dan Zara. Idealnya, velositas siklus produk bisnis jangan sampai kalah penting dari velositas bisnis yang dipengaruhi oleh kondisi makro. Desain dan diversitas produk tetap merupakan salah dua kunci keberhasilan bisnis.

Dua, kebangkitan e-commerce. Dengan low barrier of entry, siapapun yang punya skill coding dan sourcing produk, pasti bisa membuka olshop (online shop). Salah satu pemain fast fashion online yang diperhitungkan adalah Fashion Nova yang digemari oleh para online influencer.

Fashion Nova super aktif di sosmed, sedangkan Forever 21 cukup aktif namun tidak memberi kesan “sensasional.” Padahal, 60 persen kaum muda Milenial berbelanja online.

Mengingat kaum Milenial kini termasuk angkatan kerja terbesar, habit berbelanja mereka inilah yang perlu diperhatikan. Anehnya, hingga 2016, Forever 21 masih saja ekspansi ke mal-mal yang sudah mulai sepi pengunjungnya.

Jadilah Forever 21 merugi hingga 25 persen setiap tahunnya. Hutang mereka kini mencapai USD 500 juta dan nett worth para founder Do Won Chang dan Jin Sook menurun hingga USD 4 miliar.

Berita terkini, Forever 21 sedang gencar menutup outlet-outlet mereka di seluruh dunia. Jadilah mereka bagian dari “retail apocalypse” alias “kiamat retail” yang kini sedang bergulir di seantero jagad.

Di USA sendiri, 15.000 outlet retail telah ditutup. Sekitar 75.000 toko lagi menyusul ditutup.

Mal-mal pun sepi dan mulai ditinggalkan sebagai “mal hantu.” Silakan di-search di Youtube untuk melihat sendiri seperti apa mal-mal hantu tersebut.

Tiga, pelanggaran HAKI likeness di mana seorang impersonator Ariana Grande digunakan dalam iklan Forever 21 menunjukkan insensitivitas perusahaan yang punya dampak negatif terhadap pool konsumen. Grande sendiri menuntut perdata sebesar USD 10 juta, yang sampai saat tulisan ini ditulis masih belum diketahui endingnya.

Strategi kampanye pemasaran mereka juga tampaknya mengalami kesendatan dan kurang perhitungan matang. Otentisitas dalam era Internet ini sangatlah penting dan tidak tergantikan. Sedangkan kultur Forever 21 masih cenderung offline bak di tahun 1980an dan 1990an.

Akhir kata, Forever 21 kini dalam fase restrukturisasi menjelang bankruptcy. Dengan berbagai strategi baru dan networking internasional dan nastional, semestinya Forever 21 mempunyai kans untuk bangkit kembali.

Intinya, dengan bala tentara e-commerce dan sosmed yang kuat dan mengikuti best practices, niscaya Forever 21 dapat berkembang forever. Namun ingat, lawan juga semakin cepat dengan model bisnis mereka yang terus mengikuti perkembangan Internet, sosmed, dan aplikasi smartphone.

Relevansi bisnis, model bisnis, produk, dan velositas umum merupakan kunci keberhasilan berbisnis di era Revolusi Industri 4.0.[]

KONTAN DAILY, Jumat, 11 October 2019

Pin It on Pinterest

Share This