[Download KONTAN Weekly Fenomena Sriracha]
oleh Jennie M. Xue
Sriracha adalah raja sambal internasional dengan produksi sebesar 20 juta botol di tahun 2012 dan growth per tahun mencapai 20 persen. Kapasitas produksi sambal ini per lini 18.000 botol per jam. Setiap tahun, 100 juta pon cabai merah besar digunakan sebagai bahan mentah yang disuplai oleh satu supplier saja.
Sambal botol plastik dengan tutup berwarna hijau dan berlogo ayam jago ini bermarkas di Irwindale, California di bawah naungan Huy Fong Foods, Inc sejak tahun 1980. Didirikan oleh mantan pengungsi manusia perahu dari Vietnam bernama David Tran yang mendarat di Hong Kong dan bermukim di Los Angeles.
Di Indonesia, sambal ini bisa ditemui di beberapa supermarket premium di Jakarta. Cukup mengejutkan bagi penulis, mengingat Indonesia sendiri merupakan tuan rumah berbagai sambal kelas nasional.
Tampaknya kekuatan suatu merek yang telah mendunia tetap mendapat tempat di dalam kultur yang tersaturasi oleh produk-produk substitusi serupa. Pelajaran bernilai bagi para pemasar.
“Sriracha” sendiri merupakan nama kota pesisir pantai Thailand Sri Racha (atau “Sriraja”). Sambal bawang putih ini pertama kali diciptakan oleh Thanom Chakkapak yang sampai saat ini masih memproduksi sambal asli sriracha dengan merek “Sriraja.” Bahkan telah ada modifikasi “Sriraja Mayo” alias mayonnaise sambal sriraja.
Kehebatan David Tran yang sangat sederhana ini tampak dari kemampuannya melihat peluang dalam dunia kuliner multikultur yang mendunia.
Sambal tradisional Thailand bernama “Sriraja” dimodifikasi menjadi “Sriracha” yang lebih kental dengan aroma bawang putih lebih terasa. Belum lagi “sambal oelek” asal Indonesia yang juga diproduksi dengan nama “Sambal Oelek.”
David sendiri adalah keturunan Tiongkok yang bermukim di Vietnam sebelum mengungsi ke Hong Kong dan AS. Dan anggota keluarganya terdiri dari berbagai kultur dan warna kulit. Ia merupakan contoh sukses imigran Vietnam di AS yang mempunyai entrepreneurship dan keberanian di atas rata-rata.
Bagaimana persaingan bisnis sambal di AS? Huy Fong Foods hampir tidak mempunyai saingan berarti. Apalagi merek-merek asal Indonesia seperti Indofood dan ABC yang cukup terbatas jangkauan distribusinya. Harga per botol yang hanya USD 2 sangat terjangkau untuk kualitas sebaik itu.
Hebatnya lagi, semua produk Huy Fong Foods tidak pernah diiklankan di media massa, namun para fan tampaknya “gatal” dan membuat iklan sendiri di YouTube yang cukup mengundang senyum. Bandingkan dengan produk-produk FMCG (fast moving consumer goods) di Indonesia yang mengandalkan iklan bertubi-tubi di televisi, radio, dan media massa.
Bahkan berbagai restoran dan franchise kenamaan seperti Applebee’s, P.F. Chang’s, Subway, White Castle, dan Gordon Biersch memasukkan masakan dengan bumbu sambal sriracha ke dalam menu mereka. Sriracha telah masuk ke dalam dunia kuliner mainstream (alur utama) di AS. Luar biasa!
Bakmi Vietnam bernama pho noodles, sushi Jepang tuna roll, bahkan sandwich Subway sedap dibumbui sambal Sriracha-nya David Tran. Bagi Thailand, sambal ini merupakan “brand ambassador” bagi kultur Muangthai yang tak ternilai. Indonesia juga cukup beruntung dengan “sambal oelek” produksi David yang cukup digemari.
Kekuatan kultur kuliner dunia merupakan kesempatan emas bagi Indonesia. Mudah dipromosikan dengan sarana yang tepat. Murah dalam penyajian, sepanjang bahan-bahan lokal digunakan.
Di mancanegara, kuliner Indonesia belum begitu mendapat tempat. Restoran Indonesia kegemaran saya di downtown San Francisco bernama Restoran Borobudur dan di downtown Berkeley bernama Jayakarta. Biaya pengolahan kuliner Indonesia cukup tinggi sehingga harga termasuk di atas rata-rata.
Duta besar kuliner Indonesia sudah waktunya diproduksi oleh para entrepreneur asal Indonesia, sepanjang faktor price, promotion, dan product mudah diadaptasi di manca negara.[]
KONTAN Weekly, 2-8 Februari 2015